Pandawa Mengamuk Karena Kematian Gatotkaca

Waktu pihak Astina mengetahui bahwa Gatotkaca tewas mereka bersorak bergembira. Sebaliknya pihak Pandawa berkabung. Hampir semua prajurit Pandawa menangis. Semangat tempur mereka hampir lumpuh.

Kemudian secara mendadak dan serentak seluruh Pandawa mengamuk. Prabu Puntadewa sendiri dan Arjuna mengamuk seperti orang mabuk. Ayah Gatotkaca ialah Bima juga mengamuk sambil tangannya sesekali mengusap air mata. Teringat-ingat kembali saat ia dan Gatotkaca kecil bercengkerama di Hutan amarta bersama isterinya Dewi Arimbi.

Puntadewa dan Arjuna juga berpikir tentang hal yang hampir sama, penderitaan mereka di hutan Amarta sempat terhibur dengan kehadiran Gatotkaca kecil, sehingga mereka sudah menganggap Gatotkaca seperti anaknya sendiri.

Gada Bima diputar-putar dengan sangat bertenaga dengan tenaga kemarahan dan kesedihan hatinya, banyak sekali korban di pihak Kurawa bahkan korban tewas dikalangan raja-raja yang berpihak pada Kurawa, adipati serta satria-satria yang berperang di pihak Kurawa.

Pendeta Durna memerintahkan kepada Kurawa agar memperbaiki gelar perang. Satu malam suntuk peperangan berlangsung dengan dahsyatnya dan menguras tenaga, dan baru berhenti ketika mereka sama sama kabur karena kelelahan dan mengantuk.

Dewi Arimbi bakar diri

Tiba-tiba munculah di medan perang yang masih banyak prajurit membereskan senjata yang masih bisa digunakan, Dewi Arimbi istri Bima, ibu dari Gatotkaca. Ia menyatakan ingin mati bakar diri bersama jenasah putranya di medan perang. Arimbi meminta ijin dan berpamitan kepada suaminya Bima, Bima memeluk istrinya dan tak mampu melarang karena dia tahu begitu cintanya Isterinya kepada anaknya Gatotkaca. Setelah itu Dewi Arimbi berpamitan juga dengan Dewi Kunti dan Pendawa lainnya. Begitu mengharukan peristiwa itu.

Setelah semua pandawa merelakan kepergiannya ia mendekati jenasah puteranya, sesampai disitu dia berbaring dan minta segera dibakar bersama puteranya. Bima tak mampu menyaksikan pemandangan itu dan tertunduk sambil berdoa kepada Dewa agar Jiwa mereka diperbolehkan bersemayam dalam damai di Suralaya.

Pendeta Durna menjadi Senapati Kurawa

Keesokan harinya perang dimulai lagi dan kedua belah pihak telah mempersiapkan gelar perang masing-masing. Genderang perang sudah ditabuh dan gelar perang telah dibentuk. Yang menjadi senapati Astina adalah Pendeta Durna. Adapun yang menjadi senapati di pihak Pandawa adalah Raden Drustajumena, putra dari Prabu Drupada, adik Srikandi dan Drupadi, Adik Ipar Puntadewa dan Arjuna. Kedua pihak pasukan telah diperintahkan untuk bergerak untuk maju.

Para prajurit Pendawa diperintahkan oleh Drustajumena agar menyerang Pendeta Durna selaku pimpinan perangnya sehingga apabila mereka berhasil maka Kurawa akan kehilangan semangat dan pada akhirnya akan dapat dengan mudah dikalahkan.

Drustajumena berpikir bahwa Pendeta Durna hanyalah guru yang melatih olah kanuragan dan olah senjata dari Pendawa dan Kurawa pada saat kecil, dan belum tentu sakti. Akan tetapi pikiran itu segera pupus saat dilihatnya Pendeta Durna yang dikeroyok oleh pasukan Pendawa dan dihujani oleh banyak anak panah ternyata tidak terluka sama sekali. “tubuhnya pasti kebal” Pikir Drustajumena.

Esti Aswatama mati

Prabu Kresna yang melihat dari jauh usaha prajurit Pendawa sia-sia untuk mengalahkan Pendeta Durna memanggil Bima untuk mendekat. Tidak jauh dari situ ada seorang raja dari Malawapati dipihak Kurawa yang sedang berperang naik gajah yang bernama Aswatama. Prabu Kresna membisikan perintah kepada Bima agar Bima membunuh gajah Raja itu dan apabila telah berhasil Bima harus berteriak dengan lantang “Aswatama mati! “

Bima yang tidak tahu apa maksud dari Prabu Kresna mengapa dia harus membunuh gajah itu, namun karena Bima percaya bahwa Prabu Kresna adalah pemimpin yang sangat bijaksana, rela menjalankan perintah itu dengan sempurna. Dengan gadanya Rujak Polo dihantamnya Gajah itu, kemudian dihantamnya juga Raja Malawapati yang terjatuh dari Gajah itu, keduanya tewas seketika.

Bima segera berteriak ” Aswatama mati!! “. Teriakan itu begitu nyaringnya sehingga semua prajurit mendengar dan berteriak-teriak satu dengan lainnya “Aswatama mati” sambung menyambung, persis ketika Gatotkaca tewas teriakan seperti itu terdengar begitu lantang di pihak Kurawa.

Pendeta Durna yang sedang menghadapi pengeroyoknya mendengar teriakan salah seorang prajurit Pendawa “Aswatama mati!” Sangat terkejut dan menangis. Dewa..! Anaknya yang semata wayang telah mati! Anak yang dibesarkanya sendiri tanpa ibu itu kini telah mati!

Durna mencoba mendekati Bima dan Arjuna dan menanyakan apakah benar anaknya Aswatama telah mati? . Bima dan Arjuna hanya terdiam dan mengangguk.
Pada saat itu Bima baru menyadari ide cemerlang dari Prabu Kresna.

Karena masih kurang percaya pada berita yang didengarnya Pendeta Durna datang ke Prabu Puntadewa, dia tahu bahwa Prabu Puntadewa adalah orang yang tidak pernah berbohong dan tidak akan mau berbohong selama hidupnya, jawabanya pasti dapat dipercaya.

Namun pada saat Bima bergerak akan membunuh Prabu Malawapati dan Gajah Aswatama, Prabu Kresna telah menjelaskan rencananya dan meminta kepada Puntadewa agar berdusta kepada Pendeta Durna pada saat ia bertanya nanti.

Ternyata Prabu Puntadewa menolak untuk berbohong karena selama hidupnya dia tidak pernah berdusta. Akhirnya Prabu Kresna meminta kepada Prabu Puntadewa agar tidak berbohong nanti menjawab dengan kalimat “Esti Aswatama mati” yang artinnya ‘Gajah Aswatama mati’. Kemudian Prabu Kresna bersemadi untuk memohon kepada Dewa agar rencananya berhasil.

Pendeta Durna yang terlihat bersedih itu mendatangi Prabu Puntadewa dan bertanya dengan sedihnya apakah benar Aswatama telah mati?. Kemudian Prabu Puntadewa menjawab dengan perlahan “Esti Aswatama mati”. Pendeta Durna yang percaya Puntadewa tidak pernah berbohong mendengar jawaban itu bagai disambar petir karena Puntadewa mengatakan “Mesti, Aswatama mati”. Pendeta Durna yang sangat sedih jatuh tersungkur pingsan di kereta perangnya. Para Dewa di angkasa bersorak sorai ramai dan mengatakan satu dengan yang lain bahwa Pendeta Durna telah mati.

Prabu Kresna yang melihat Pendeta Durna pingsan segera memberi tanda kepada Pendawa untuk menuntaskannya. Namun tidak satupun Pendawa yang bergerak melaksanakan perintah itu. Mereka masih menghormati Pendeta Durna sebagai guru mereka, sehingga tidak ada yang berani melakukannya.

Melihat Pandawa diam saja, Raden Drustajumena yang saat itu menjadi Senapati perang segera mengambil tindakan, tidak boleh kesempatan ini di sia-siakan. Dia melompat ke kereta perang Pendeta Durna kemudian dengan sekali tebas dipotongnya leher Pendeta Durna dan kepala Pendeta Durna dibuat mainan olehnya , ditendang tendang dan dilempar-lempar karena senangnya ia telah berhasil membunuh Pendeta Durna.

Raden Drustajumena benar-benar lupa bahwa Pendeta Durna atau Bambang Kumbayana adalah masih saudara dengan Ayahnya yaitu Prabu Drupada atau Sucitra. Para Pendawa tidak begitu senang dengan perlakuan Raden Drustajumena itu dan menegurnya. Raden Drustajumena yang ditegur itu merasa malu dan segera melemparkan Kepala Pendeta Durna ke pihak Kurawa.

Ternyata kepalanya jatuh tidak jauh dari Prabu Suyudana sedang duduk, ia sangat terkejut bukan kepalang, bagaimana mungkin guru Kurawa dan Pandawa yang sakti itu dapat dikalahkan??
Baca SelengkapnyaPandawa Mengamuk Karena Kematian Gatotkaca

Gatotkaca Gugur Menyelesaikan Baktinya Sebagai Satria

Hari sudah gelap, sang surya sudah lama meninggalkan jejak sinarannya di ladang Kurusetra. Harusnya perang dihentikan, masing – masing pihak beristirahat dan mengatur strategi untuk perang esok hari. Namun entah mengapa Kurawa mengirim senopati malam – malam begini. Adipati Awonggo ngamuk punggung menerabas dan menghancurkan perkemahan pasukan Pandawa di garda depan. Penjaga perkemahan kalang kabut tidak kuasa menandingi krida Sang Adipati Karno. Secepat kilat berita ini terdengar di perkemahan Pandawa Mandalayuda. Sri Kresna tahu apa yang harus dilakukan. Dipanggilnya Raja Pringgondani Raden Haryo Gatotkaca, putra kinasih Raden Brataseno dari Ibu Dewi Arimbi. Disamping Sri Kresna, Raden Brataseno berdiri layaknya Gunung memperhatikan dengan seksama dan waspada pembicaraan Sri Kresna dengan putranya.

”Anakku tersayang Gatotkaca….Saat ini Kurawa mengirimkan senopati nya di tengah malam seperti ini. Rasanya hanya kamu ngger yang bisa menandingi senopati Hastina di malam gelap gulita seperti ini”

”Waduh, wo prabu…..terimakasih Wo. Yang saya tunggu – tunggu akhirnya sampai juga kali ini. Wo prabu, sejak hari pertama perang baratayuda saya menunggu perintah wo prabu untuk maju ke medan perang. Wo prabu Kresna, hamba mohon do’a restu pamit perang. Wo hamba titipkan istri dan anak kami Danurwindo. Hamba berangkat wo, Rama Wrekudara mohon pamit….”

“Waaa………Gatot iya…..“

Sekejap Gatotkaca tidak terlihat. Sri Kresna merasakan bahwa inilah saatnya Gatotkaca mati sebagai pahlawan perang Pandawa. Dia tidak mau merusak suasana hati adik – adiknya Pandawa dengan mengutarakan apa yang dirasakannya dengan jujur. Namun perasaan wisnu nya mengatakan Wrekudara harus disiapkan untuk menerima kenyataan yang mungkin akan memilukannya nanti.

“Wrekudoro…“

“Kresna kakangku, iya ….“

“Aku kok agak merasa aneh dengan cara pamitan Gatotkaca, mengapa harus menitipkan istri anaknya ??“

“Wah…Kakang seperti anak kecil. Orang berperang itu kalau nggak hidup ya mati. Ya sudah itulah anakku Gatotkaca, dia mengerti tugas dan akibatnya selaku satria.“

“Oo..begitu ya, ya sudah kalau begitu. Kita sama – sama doakan mudah-2an yang terbaik yang akan diperoleh anakmu Gatotkaca.“. Sebenarnya Kresna hanya mengukur kedalaman hati dan kesiapan Wrekudara saja. Paling tidak untuk saat ini, Wrekudara terlihat sangat siap dengan apapun yang terjadi.

Malam gelap gulita, namun di angkasa ladang Kurusetra kilatan ribuan nyala obor menerangi bawana. Nyala obor dari ribuan prajurit dua belah pihak yang saling hantam gada, saling sabet pedang, saling lempar tombak, saling kelebat kelewang dan hujan anak panah. Gatotkaca mengerahkan semua kesaktian yang dimilikinya. Dikenakannya Kutang Antakusuma, dipasangnya terompah basunanda, dikeluarkan segala tenaga yang dimilikinya. Terbang mengangkasa layaknya burung nazar mengincar mangsa. Sesekali berkelebat menukik merendah menyambar buruannya. Sekali sambar pululan prajurit Hastina menggelepar tanpa daya disertai terpisahnya kepala – kepala mereka dari gembungnya.

Semenjak lahir, Gatotkaca sudah menunjukkan tanda-tanda kedidgyaannya. Ari – arinya berminggu – minggu tidak bisa diputus dengan senjata tajam apapun. Kuku pancanaka Wrekudara mental, Keris Pulanggeni Arjuna tiada arti, Semua senjata Amarta sudah pula dicobai. Namun ari – ari sang jabang bayi seperti bertambah alot seiring bertambahnya usia si jabang bayi. Para pinisepuh Amarta termasuk Sri Kresna pun kehabisan reka daya bagaimana menolong Sang jabang bayi Dewi Arimbi ini.

Maka lelaki kekasih Dewata – Sang Paman Raden Arjuna – menyingkirkan sejenak dari hiruk piruk dan kepanikan di Kesatrian Pringgondani. Atas saran Sri Kresna, Raden Arjuna menepi. Semedi memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kiranya memberikan kemurahannya untuk menolong Pandawa mengatasi kesulitan ini.

Di Kayangan Suralaya, permintaan Arjuna didengar oleh para dewa. Bethara Guru mengutus Bethara Narada untuk memberikan senjata pemotong ari – ari berupa keris Kunta Wijayandanu. Bethara Narada turun dengan membawa senjata Kunta bermaksud menemi Arjuna yang kala itu diiringi oleh para punakawan, abdi tersayang.

Sahdan di tempat lain, Adipati Karno sedang mengadu kepada Ayahnya Dewa Surya, dewanya Matahari. Adipati Karno, memohon welas asih kepada Sang Ayah untuk memberikan kepadanya senjata andalan guna menghadapi perang besar nanti. Dewa Surya menyarankan anaknya untuk merampok Senjata Kunta dari Bethara Narada. Karno dan Arjuna adalah saudara seibu yang wajah dan perawakkanya sangat mirip melebihi saudara kembar. Hanya suara saja yang membedakan keduanya. Maka ketika Adipati Karno dirias oleh Dewa Surya menyerupai Arjuna, Bathara Narada tidak akan mengenal Adipati Karno lagi melainkan Arjuna. Kelicikan Dewa Surya tidak cukup di situ. Siang yang terik dan terang benderang itu tiba – tiba meredup seolah menjelang malam. Dengan upaya dan rekayasanya, terjadilah gerhana surya. Narada, dewa yang sudah tuwa dengan wajah yang selalu mendongak ke atas itu, semakin rabun karena gerhana ini.

Adipati Karno mencegat Bethara Narada, tanpa perasaan curiga diberikannya senjata Kunta kepada ”Arjuna”. Merasa tugas selesai Narada berniat kembali ke Kahyangan. Ternyata masih ditemuinya Arjuna lagi yang kali ini tidak sendiri melainkan diiring para punakawan. Sadar Narada tertipu, diperintahkannya Arjuna untuk merebut senjata kunta dari Sang Adipati Karno. Perang tanding tak bisa dielakkan, namun hanya warangka senjata yang dapat direbut oleh Arjuna dari kakak tertuanya itu. Dengan warangka senjata itulah ari – ari jabang bayi arimbi yang kelak bernama Raden Gatotokaca dapat diputus. Keanehan terjadi ketika sesaat setelah ari – ari jabang bayi diputus, seketika warangka hilang dan menyatu ke badan si jabang bayi.

Sekarang, saat perang besar terjadi takdir itu sudah sampai waktunya. Senjata Kunta mencari warangkanya, di tubuh Raden Gatotkaca. Tidak berarti sesakti apapun Gatotkaca, setajam pisau cukur tangannya memancung leher musuhnya. Konon pula otot gatotkaca sekuat kawat tembaga, tulangnya sealot besi tempa. Kesaktiannya ditempa di Kawah Candradimuka. Namun garis tangan Gatotkaca hanyalah sampai di sini.

Di gerbang yang memisahkan antara alam fana dengan alam baka, sukma Kalabendono, paman yang sangat menyawangi Gatotkaca menunggu “sowan ke pengayunan yang Maha Pemberi Hidup”. Begitu sayangnya Kalabendono kepada keponakannya, sukmanya berjanji tidak akan kembali ke asal kehidupan jika tidak bersama sang keponakan.

Di sisi seberang ladang pertempuran, Karno telah siap dengan busur panahnya dengan anak panah Kunta Wijayandanu. Dalam hatinya berbisik “Anakku bocah bagus, belum pupus bekas ari – arimu….berani – beraninya kamu menghadapi uwakmu ini. Bukan kamu yang aku tungggu ngger…Arjuna mana? Ya ya ..sama – sama menjalani darma satria, ayo aku antarkan kepergian syahidmu dengan Kunta Wijayandanu”.

Gatotkaca, mata elangnya sangat tajam melihat gerak – gerik seekor tikus yang baru keluar dari sarangnya. Pun meski dia melihatnya dari jarak ribuan tombak diatas liang tikus itu. Begitu pula, dia tahu apa yang sedang dilakukan Sang Adipati Karno. Dia tahu riwayatnya, dia tahu bahwa warangka senjata Kunta ada di tubuhnya dan menyokong kekuatannya selama ini. Dicobanya mengulur takdir. Dia terbang diantara awan – awan yang gelap menggantung nun di atas sana. Dicobanya menyembunyikan tubuhnya diantara gelapnya awan yang berarak – arakan di birunya langit.

Namun takdir kematian sama sekali bukan di tangan makhluk fana seperti dia. Takdir itu sejengkal pun tidak mungkin dipercepat atau ditunda. Sudah waktunya Gatotkaca, sampai di sini pengabdian kesatriaanmu. Kunta Wijayandanu dilepaskan dari busurnya oleh Adipati Karno. Di jagad ini hanya Arjuna yang mampu menyamai keahlian dan ketepatan Basukarno dalam mengolah dan mengarahkan anak panah dari busurnya. Kuntawijandanu melesat secepat kilat ke angkasa, dari Kereta perang Basukarno seolah keluar komet bercahaya putih menyilaukan secepat kilat melesat. Di angkasa….Kalabendono yang sudah siaga menunggu tunggangan, dengan sigap menumpang ke senjata Kunta. Senjata kunta dan Kalabendono, menghujam ke dada Gatotkaca, membelah jantung Sang Satria Pringgandani. Dalam sekaratnya, Gatotkaca berucap ”Aku mau mati kalau dengan musuh ku….”. Seperti bintang jatuh yang mencari sasaran, jatuhnya badan Gatotkaca tidak lah tegak lurus ke bawah, namun mengarah dan menghujam ke kereta perang Basukarno. Basukarno bukanlah prajurit yang baru belajar olah kanuragan setahun dua tahun. Dengan keprigelan dan kegesitannya, sebelum jasad Gatotkaca menghujam keretanya dia melompat seperti belalang menghindar dari sergapan pemangsa. Jasad gatotkaca menimpa kereta, Keretapun hancur lebur, pun delapan kuda dengan kusirnya tewas dengan jasad tidak lagi bebentuk. Selesailah episode Gatotkaca dengan perantaraan Uwaknya, Adipati Karno Basuseno.

Gugurnya Gatotkaca menjadi berita gembira di kubu kurawa. Para prajurit bersorak sorai mengelu – elukan sang Adipati Karno. Kepercayaan diri mereka berlipat, semangat perang mereka meningkat. Keyakinan diri bertambah akan memenangi perang dunia besar yang ke empat ini.

Sebaliknya, kesedihan mendalam tergambar di kubu Pandawa. Wrekudara hampir – hampir tidak mampu menguasai diri ”Gatot…, jangan kamu yang mati biar aku saja bapakmu…Hmmm Karno…..!!! beranimu hanya dengan anak kemarin sore..Ayo lawanlah Bapaknya ini kalau kamu memang lelaki sejati…!”. Arimbi, sang ibu, tidak kuasa menahan emosi. Selagi para pandawa meratapi dan merawat jasad Gatotkaca, Arimbi menceburkan ke perapian membara yang rupanya telah disiapkannya. Sudah menjadi tekatnya jika nanti anak kesayangannya mati sebelum kepergiannya ke alam kelanggengan, dia akan nglayu membakar diri. Dan itu dilakukannya sekarang. Pandawa, dengan demikian kehilangan dua keluarga dekat sekaligus di malam menjelang fajar ini. Wrekudara kehilangan anak tersayang dan istri tercintanya. Namun keturunan tidaklah terputus, karena baik Antareja maupun Gatotkaca telah mempunyai anak laki – laki sebagai penerus generasi Wrekudara.

Fajar menjelang, jenazah Gatotkaca dan abu Arimbi telah selesai diupakarti sesuai dengan ageman dan keyakinan mereka. Sri Kresna sudah bisa menenangkan Wrekudara dan para pandawa yang lain. Sekarang saatnya mengatur strategi. Tugas harus dilanjutkan. Pekerjaan harus diselesaikan, perang harus dituntaskan. Dunia akan segera mengetahui, gunjingan dunia mengenai perang besar antar dua saudara kembar akan segera terjadi siang ini.
Baca SelengkapnyaGatotkaca Gugur Menyelesaikan Baktinya Sebagai Satria

Burisrawa Gugur

Prabu Matswapati Tanya kepada Raden Wrekudara bagaimana dalam menghadapi Prabu Partipa, Raden Wrekudara bilang bahwa Prabu Pratipa sudah gugur beserta gajahnya Kyai Jayamaruta. Belum nyampai selesai dalam berbicara, Patih Udakawara datang, melaporkan bahwa Ngastina sudah ada senopati lagi yaitu raden Harya Burisrawa dan Senopati Pendamping Raden Windandini.

Prabu Matswapati minta petunjuk kepada Prabu Kresna, siapa tandingannya, tiada lain adalah raden Harya Sencaki Romo Prabu. Sebetulnya Raden Harya Wrekudara tidak setuju bila Raden Harya Sencaki yang mnejadi tandingannya. Sebaiknya saya saja, karena yang sama-sama tingginya, perkasanya. Tetapi Bathara Kresna tetap menunjuk Raden Harya Sencaki, karena sebelumnya keduanya sudah ada perjanjian, bila Baratayuda terjadi akan saling ketemu sebagai tandingannya. Akhirnya Raden Wrekudara setuju tapi dengan satu syarat asalkan kuat menerima lemparan gada dari Raden Wrekudara.

Akhirnya antara Raden Wrekudara dengan Raden Harya Sencaki terjadi lempar-lemparan gada. Raden Harya Sencaki dinilai kuat menerima lemparan gada dari Harya Wrekudara dan kuat melempar, akhirnya Raden Harya Wrekudara setuju bila sebagai tandingannya Raden Burisrawa Raden Sencaki. Setelah minta do’a restu kepada Prabu Matswapati dan yang hadir, Raden Harya Sencaki segera berangkat ke medan perang.

Dari kejauhan sudah terdengar tantangan-tantangan dari prajurit-prajurit Ngastina, raden Janaka yang kadang masih lupa ingatannya karena masih sedih akibat kematian abimanyu, ketemu dengan Senopati Pendamping Raden Windandini, terjadi pertempuran, sama-sama kuatnya, tetapi Raden Janaka melepaskan Jemparing, gugurlah Raden Windandini.

Raden Sencaki sudah saling menyapa dengan Raden Harya Burisrawa. Sama-sama puasnya bisa ketemu untuk bertanding sesuai dengan janjinya.

Terjadi pertempuran sengit, Raden Sencaki semakin lama semakin menurun staminanya, kewalahan menghadapi keerkasaannya Raden Burisrawa.

Prabu Bathara Kresna melihat Adindan Raden Harya Sencaki kerepotan dalam menghadapi musuh, lalu memerintahkan kepada Raden Janaka supaya Njemparing rambut yang dipegangnya, tapi rambut yang dipegang sejajar dengan lehernya Raden Burisrawa.

Akhirnya Raden Janaka melepaskan jemparing pasopati, karena Raden Janaka kadang masih lupa ingatan, jemparing meleset kena pinggir tidak kena tengah-tengah, rambut tatas putus bablas mengenai bau Raden Burisrawa sampai timpal, maka tema ini juga disebut TIMPALAN.

Sesudah Raden Burisrawa kena pasopati, Raden Sencaki melepaskan jemparing kena lehernya Raden burisrawa sampai putus, akhirnya gugur di palagan Raden Burisrawa.

Raden Sencaki besar kepala karena bisa membunuh Raden Burisrawa akhirnya sombong tidak tahunya pada waktu Raden Sencaki kerepotan dalam perang telah dilepasi pasopati oleh Raden Janaka, yang membuat Raden Burisrawa lemah karena timpal baunya. Lalu Raden Sencaki mudah keluar dari cengkraman musuh akhirnya melepaskan jemparing sampai gugur Raden Burisrawa terkena lehernya. Padahal sebelumnya sudah mendapat perhatian dari Bathara Kresna, jangan sombong. Tetapi karena merasa menang dalam pertandingan melawan Raden Burisrawa, sampai tidak ingat kata welingnya Prabu Bathara Kresna jangan sombong.

Setelah tahu Raden Sencaki sombong Prabu Bathara Kresna mendekati dan menceritakan apa adanya tentang gugurnya Burisrawa. Raden Sencaki merasa malu, diam saja lalu pergi meninggalkan Prabu Bathara Kresna tanpa minta ijin.

Para prajurit dari Ngastina tahu yang tadinya Raden Burisrawa unggul dalam peperangan tapi baunya bisa timpal lalu pada bilang kalau Pandawa curang dalam peperangan.

Prabu Bathara Kresna mendengar berita bahwa pandawa curang dalam peperangan, akhirnya mendekati para Kurawa memberi keterangan bahwa timpalnya bau dari harya Burisrawa tidak ada unsur kesengajaan. Itu kena pasopati pada waktu Raden Janaka gladi melepas jemparing.

Prabu Salya marah akan membunuh para Pandawa, tetapi dihalang-halangi Patih Harya Sengkuni, supaya mundur melaporkan bahwa Raden Burisrawa gugur di medan perang.
Baca SelengkapnyaBurisrawa Gugur

Kematian Abimanyu

Pada hari ketiga belas Bharatayuddha, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi. Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka.

Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya.

Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut. Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari.

Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa. Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu.

“Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping- keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada.”

Bharatayuddha

Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya mendahului gugur, pada saat itu kesatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan menguasai strategi perang hanya tiga orang yakni Bima, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Bima dan Arjuna dipancing oleh kesatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu.

Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur formasi perang, dia maju sendiri ketengah barisan Korawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap, Korawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya arang kranjang = banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata di tubuhnya.

Konon tragedi itu merupakan risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Utari, bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha. Abimanyu berbohong karena ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari.

Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putera mahkota Hastinapura (Laksmanakumara putera Duryodana) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya. Pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu, mereka harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyu pun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling.
Baca SelengkapnyaKematian Abimanyu

Perang Baratayuda

Karna menjadi panglima perang, dan berhasil menewaskan musuh. Yudhisthira minta agar Arjuna menahan serangan Karna. Arjuna menyuruh Ghatotkaca untuk menahan dengan ilmu sihirnya, Ghatotkaca mengamuk, Korawa lari tunggang-langgang. Karna dengan berani melawan serangan Ghatotkaca. Namun Ghatotkaca terbang ke angkasa. Karna melayangkan panah, dan mengenai dada Ghatotkaca. Satria Pringgandani ini limbung dan jatuh menyambar kereta Karna, tetapi Karna dapat menghindar dan melompat dari kereta. Ghatotkaca mati di atas kereta Karna. Para Pandawa berdukacita. Hidimbi pamit kepada Dropadi untuk terjun ke perapian bersama jenasah anaknya.

Pertempuran terus berkobar, Drona berhasil membunuh tiga cucu Drupada, kemudian membunuh Drupada, dan raja Wirata. Maka Dhrtadyumna ingin membalas kematian Drupada.

Kresna mengadakan tipu muslihat. Disebarkannya berita, bahwa Aswatthama gugur. Yudhisthira dan Arjuna mencela sikap Kresna itu. Kemudian Bhima membunuh kuda bernama Aswatthama, kemudian disebarkan berita kematian kuda Aswatthama. Mendengar berita kematian Aswatthama, Drona menjadi gusar, lalu pingsan. Dhrtadyumna berhasil memenggal leher Drona. Aswatthama membela kematian ayahnya, lalu mengamuk dengan menghujamkan panah Narayana. Arjuna sedih atas kematian gurunya akibat perbuatan yang licik. Arjuna tidak bersedia melawan Aswatthama, tetapi Bhima tidak merasakan kematian Drona. Dhrtadymna dan Satyaki saling bertengkar mengenai usaha perlawanan terhadap Aswatthama. Kresna dan Yudhisthira menenangkan mereka. Pandawa diminta berhenti berperang. Tapi Bhima ingin melanjutkan pertempuran, dan maju ke medan perang mencari lawan, terutama ingin menghajar Aswatthama. Saudara-saudaranya berhasil menahan Bhima. Arjuna berhasil melumpuhkan senjata Aswatthama. Putra Drona ini lari dan sembunyi di sebuah pertapaan. Karna diangkat menjadi panglima perang. Banyak perwira Korawa yang memihak kepada Pandawa.

Pada waktu tengah malam, Yudhisthira meninggalkan kemah bersama saudara-saudaranya. Mereka khidmat menghormat kematian sang guru Drona, dan menghadap Bhisma yang belum meninggal dan masih terbaring di atas anak panah yang menopang tubuhnya. Bhisma memberi nasihat agar Pandawa melanjutkan pertempuran, dan memberi tahu bahwa Korawa telah ditakdirkan untuk kalah.

Pandawa melanjutkan pertempuran melawan Korawa yang dipimpin oleh Karna. Karna minta agar Salya mau mengusiri keretanya untuk menyerang Kresna dan Arjuna. Salya sebenarnya tidak bersedia, tetapi akhirnya mau asal Karna menuruti perintahnya.

Pertempuran berlangsung hebat, disertai caci maki dari kedua belah pihak. Bhima bergulat dengan Doryudana, kemudian menarik diri dari pertempuran. Dussasana dibunuh oleh Bhima, sebagai pembalasan sejak Dussasana menghina Drupadi. Darah Dussasana diminumnya.

Arjuna perang melawan Karna. Naga raksasa bernama Adrawalika musuh Arjuna, ingin membantu Karna dengan masuk ke anak panah Karna untuk menembus Arjuna. Ketika hendak disambar panah, kereta yang dikusiri Kresna dirundukkan, sehingga Arjuna hanya terserempet mahkota kepalanya. Naga Adrawalika itu ditewaskan oleh panah Arjuna. Ketika Karna mempersiapan anak panah yang luar biasa saktinya, Arjuna telah lebih dahulu meluncurkan panah saktinya. Tewaslah Karna oleh panah Arjuna.

Doryudhana menjadi cemas, lalu minta agar Sakuni melakukan tipu muslihat. Sakuni tidak bersedia karena waktu telah habis. Diusulkannya agar Salya jadi panglima tinggi. Sebenarnya Salya tidak bersedia. Ia mengusulkan agar mengadakan perundingan dengan Pandawa. Aswatthama menuduh Salya sebagai pengkhianat, dan menyebabkan kematian Karna. Tuduhan itu menyebabkan mereka berselisih, tetapi dilerai oleh saudara-saudaranya. Aswatthama tidak bersedia membantu perang lagi. Salya terpaksa mau menjadi panglima perang. Nakula disuruh Kresna untuk menemui Salya, dan minta agar Salya tidak ikut berperang. Nakula minta dibunuh daripada harus berperang melawan orang yang harus dihormatinya. Salya menjawab, bahwa ia harus menepati janji kepada Duryodhana, dan melakukan darma kesatria. Salya menyerahkan kematiannya kepada Nakula dan agar dibunuh dengan senjata Yudhisthira yang bernama Pustaka, agar dapat mencapai surga Rudra. Nakula kembali dengan sedih.

Salya menemui Satyawati, pamit maju ke medan perang. Isteri Salya amat sedih dan mengira bahwa suaminya akan gugur di medan perang. Satyawati ingin bunuh diri, ingin mati sebelum suaminya meninggal. Salya mencegahnya. Malam hari itu merupakan malam terakhir sebagai malam perpisahan. Pada waktu fajar Salya meninggalkan Satyawati tanpa pamit, dan dipotongnya kain alas tidur isterinya dengan keris. Salya memimpin pasukan Korawa. Amukan Bhima dan Arjuna sulit untuk dilawannya. Salya menghujankan anak panahnya yang bernama Rudrarosa. Kresna menyuruh agar Pandawa menyingkir. Yudhisthira disuruh menghadap Salya. Yudhisthira tidak bersedia harus melawan pamannya. Kresna menyadarkan dan menasihati Yudhisthira. Yudhisthira disuruh menggunakan Kalimahosadha, kitab sakti untuk menewaskan Salya. Salya mati oleh Kalimahosadha yang telah berubah menjadi pedang yang bernyala-nyala. Kematian Salya diikuti oleh kematian Sakuni oleh Bhima. Berita kematian Salya sampai kepada Satyawati. Satyawati menuju medan perang, mencari jenasah suaminya. Setelah ditemukan, Satyawati bunuh diri di atas bangkai suaminya.

Duryodhana melarikan diri dari medan perang, lalu bersembunyi di sebuah sungai. Bhima dapat menemukan Duryodhana yang sedang bertapa. Duryodhana dikatakan pengecut. Duryodhana sakit hati, lalu bangkit melawannya. Bhima diajak berperang dengan gada. Terjadilah perkelahian hebat. Baladewa yang sedang berziarah ke tempat-tempat suci diberi tahu oleh Narada tentang peristiwa peperangan di Hastina. Kresna menyuruh Arjuna agar Bhima diberi isyarat untuk memukul paha Duryodhana. Terbayarlah kaul Bhima ketika hendak menghancurkan Duryodhana dalam perang Bharatayudha. Baladewa yang menyaksikan pergulatan Bhima dengan Duryodhana menjadi marah, karena Pandawa dianggap tidak jujur, lalu akan membunuh Bhima. Tetapi maksud Baladewa dapat dicegah, dan redalah kemarahan Baladewa..
Baca SelengkapnyaPerang Baratayuda

Pandawa Muksa

Pandawa kembali ke perkemahan untuk merayakan hasil kemenangan perangnya. Kresna sedih memikirkan kutukan Duryodhana bahwa Pandawa akan tertindas sebelum kematiannya. Oleh karena itu para Pandawa disuruh segera menyelamatkan diri masuk dalam kemah, dan pada malam hari supaya menebus dosa-dosa dengan memuja ke tempat suci.

Pada malam hari Aswatthama berusaha membalas kematian ayah dan para Korawa. Dalam malam gelap itu Aswatthama berhail membunuh lima anak Dropadi yaitu Pancala dan beberapa laki-laki.

Para Pandawa yang datang ke kemah menemukan wanita yang dilanda kesedihan, Dropadi patah hati. Kresna datang menghiburnya. Demikian juga Wiyasa yang telah tiada muncul memberi nasihat kepadanya. Dropada akan membalas kejahatan Aswatthama. Ia meminta Pandawa membawa mutiara yang menghias di dahi Aswatthama. Para Pandawa mencari Aswatthama. Setelah bertemu, Aswatthama akan dibunuh dengan gada. Aswatthama mengangkat panah Brahmasirah yang amat sakti. Arjuna pun mengangkat panah saktinya. Namun Sang Hyang Siwa menyuruh agar mereka menarik panah saktinya. Arjuna menurut tetapi Aswatthama tidak dapat menahan panah saktinya. Anak panah Aswatthama lepas mengenai anak Utari yang masih dalam kandungan. Bayi dalam kandungan lalu dihidupkan oleh Kresna. Setelah dewasa bayi itu akan menjadi raja dengan nama Parikesit. Dropadi menerima mutiara, lalu diberikan kepada Yudhisthira. Yudhisthira lalu menjadi raja di Indraprastha. (Sumber cerita: Bharatayudha edisi Prof. Dr. R. M. Sutjipto Wirjosuparto)

Cerita Pandawa Muksa

Cerita tentang Pandawa sesudah perang Bharatayudha yang dimuat dalam Prasthanikaparwa, dilanjutkan kematian dan perlindungan mereka di surga. Isi pokok cerita itu sebagai berikut:

Para Pandawa akan meninggalkan kota Hastina menuju ke hutan. Parikesit diangkat menjadi raja Hastina. Yudhisthira, Bhima, Arjuna, Nakula, Sahadewada dan Dropadi meninggalkan istana. Seekor anjing mengikutinya. Atas perintah Dewi Agni, Arjuna membuang senjatanya di laut. Perjalanan mereka mendaki Gunung Himalaya, lalu melewati gurun pasir. Dropadi, Sahadewa, Nakula, Arjuna dan Bhima berturut-turut meningal dunia. Tinggal Yudhisthira dan anjing yang masih hidup. Dewa Indra dengan kereta membawa Yuhisthira dan anjingnya yang telah menjadi dewa Dharma menuju ke surga. Sesampainya di surga, Yudhisthira heran karena tidak menemukan saudara-saudaranya dan Dropadi. Yang ditemukan justru warga Korawa dan para pahlawannya. Yudhisthira melihat mereka, tetapi tidak mau berkumpul dengan mereka. Ia kecewa, merasa dewa berbuat tidak adil. Dewa Narada menjelaskan bahwa Korawa harus menerima anugerah sesuai dengan amal baiknya, Pandawa harus tinggal di neraka. Yudhisthira ingin mencari saudara-saudaranya, ia ingin suka dan duka bersama. Para dewa mengetahui sikap Yudhistira yang ingin tinggal bersama saudara-saudaranya. Para Pandawa harus menebus dosa-dosanya. Mereka harus turun ke Sungai Gangga untuk menyucikan diri. Sesudah menjadi suci, mereka naik ke surga menggantikan Korawa.

(Sumber cerita: Drie Boeken van het Oudjavaasnche Mahabharata. Edisi Hendrik Herman Juynboll, 1893)

Kitab Jawa Tengahan yang mengisahkan tokoh Pandawa
yaitu: Kitab Nawaruci

Kitab Nawaruci mengisahkan Wrkodara atau Bhima ketika mencari air suci. Isi ringkas cerita itu sebagai berikut:

Druyodana menginginkan kematian para Pandawa, lalu minta agar Dang Hyang Drona mengusahakannya. Wrkodara disuruh mencari banyu mahapawitra yang berada di sumur Dorangga. Wrkodara berangkat dari Gajahoya. Perjalanannya melalui tempat berbahaya, tebing dan jurang. Wrkodara sampai di sumur Dorangga, tetapi tidak menemukan air suci. Ular jantan dan betina tinggal di dalam sumur itu. Wrkodara digigit ular, segera ia menusuk ular itu dengan kukunya. Kepala ular dipotong, dibawa kembali ke Gajahoya. Sepasang ular naga berubah menjadi bidadara dan bidadari bernama Harsanandi dan Sarasambadha. Mereka mengucap terima kasih lalu kembali ke Suralaya..

Wrkodara tiba di Gajahoya, menghadap Drona dan menyerahkan dua kepala naga. Wrkodara memberi tahu bahwa di sumur Dorangga tidak berisi air suci. Drona berkata bahwa air suci berada di tegal Andawa. Wrkodara diminta segera berangkat ke tegal itu.

Di tegal Andawa Wrkodara disambut oleh raksasa Indrabahu. Indrabahu hendak makan Wrkodara, terjadilah perkelahian hebat. Indrabahu kalah, kepalanya dipenggal, dipikul oleh Gagakampuhan dan Twalen. Indrabahu berubah menjadi dewa Indra. Indra berterima kasih atas jasa Wrkodara, lalu kembali ke Suralaya.

Wrkodara kembali ke Gajahoya, kepala Indrabahu diserahkan kepada Sang Hyang Drona. Druyodana dan Drona lari ketakutan. Wrkodara mengejarnya. Drona berkata, bahwa air suci berada di dasar laut.

Wrkodara berangkat ke samodra. Setelah sampai di samodra segera akan mencebur di dalamnya. Gagakampuhan menasihati, Wrkodara diminta kembali ke Indraprastha, menghadap Dharmawangsa, Kunti, Dropadi, Arjuna, Nakula atau Sakula dan Sahadewa. Wrkodara berpamitan, kemudian mencari air suci. Kunti menghalang- halanginya. Ujung kain Wrkodara dipegang kuat-kuat, tetapi lepas dikebas Wrkodara. Warga Pandawa yang ditinggal pun menagisi kepergian Wrkodara.

R.S. Subalidinata
Baca SelengkapnyaPandawa Muksa

Parikesit Menjemput Mimpi

Alkisah dalam sebuah cerita pasca Bharatayudha berakhir, Aswatama yang pengecut dan karena itu juga menjadi kejam, memasuki tenda dimana kubu Pandawa sedang lelap. Ia menikam orang-orang yang sedang tidur. Drestajumena, Srikandi dan Pancawala tidak bisa melihat matahari esok paginya. Sementara Utari terbangun dan menyelamatkan diri beserta bayi dalam kandungannya.

Sang bayi ini lah yang dikenal dengan nama Parikesit nantinya, pewaris tahta Pandawa pengganti Pancawala yang mati. Tidak tanggung-tanggung, 2 kerajaan sekaligus hasil kemenangan Bharatayudha akan dipegang olehnya, Hastina dan Indraprastha.

Parikesit sebenarnya cucu dari Arjuna, bapaknya adalah Abimanyu, dengan asuhan kesaktian mahaguru Baladewa. Sebagai raja ala Pandawa yang adil dan budiman, segala kegelisahannya tentang rakyatnya selalu menjadi gundah hatinya. Goenawan Muhammad dalam Asmaradana menuliskan sebuah cerita renungan Parikesit terhadap rakyat-rakyatnya,

Jauh di bawah terpacak rakyatku menunggu. Mereka yang menyelamatkan dan juga menyiksa diriku. Mereka yang berdoa, sementara aku tiada berdoa. mereka yang punya angin-angin sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang sendiri. Mereka yang tahu kita tak bisa berbagi. Tapi siksa ini adalah siksa mereka, siksa mereka yang kuwakili di atas kelemahan tangan-tanganku

Mungkin itulah kenapa gelar Raja atau Sultan dalam berbagai kehidupan feodal zaman dahulu dianggap sangat tinggi, selain harus menjaga kestabilan, keamanan dan kenyamanan wilayah kekuasaannya, dia juga selalu dalam kondisi menanggung setiap derita rakyatnya.

Tapi tidak dipungkiri juga jika jabatan tersebut lahir karena warisan struktur sosial zaman dahulu, yang percaya Raja atau Sultan adalah perpanjangan tangan adikodrati penguasa Alam Semesta, seperti kata Arief Budiman dalam Teori Negara-nya.

Saya tidak pernah paham arti dari pemerintahan feodalisme seutuhnya. Karena sekian tahun hidup di Indonesia yang mengaku Presidensil, walau presidennya sendiri tidak bebas dari campur tangan legislatif aka partai politik. Tetapi selama berada di kota Yogya ini, saya berkesempatan menangkap sebuah kehidupan ala feodalisme dalam tatanan yang bisa saya terima dengan akal sehat dan nurani saya.

Tersebutlah seorang sultan di Yogyakarta ini. Dia bukan sembarang sultan dengan berbagai gelar keturunan membawa adikodrati leluhur-leluhurnya. Keberuntungan saya bertemu beliau langsung sebelum dengar gegap gempita tenar namanya seperti cerita gagahnya Sultan lain di Yogya ini. Dia cuma seorang sultan dengan “S” kecil buat saya, karena memang tidak ada rona kapital “S” dalam sudut pandang kacamatanya. Sebuah acara silaturahmi pertama saya dengan komunitas Yogya, justru langsung dihadiri sang sultan rendah hati ini.

Saat silaturahmi itu, penampilannya sama sekali membunuh kepecayaan saya tentang arti feodalisme selama ini. Selama ini saya melihat Sultan-Sultan di komunitas lain, selalu berwibawa, selalu menjaga bicara, selalu berusaha terlihat berada pada posisi di atas bawahannya. Tetapi sultan satu ini hadir di situ hanya bermodal baju kaos yang terlihat cukup bau, dengan celana gombrong berwarna kuning ngejreng. Biasanya segala sesuatu atribut di kepala seorang Sultan diletakkan proporsional nan wibawa. Lha ini ndak sama sekali. Topi jelek yang dipakai sultan satu ini cuma sekedar hinggap seenak nya saja, entah miring kiri atau kanan, tergantung seenaknya dia berpose kapan sempat di depan kamera.

Seorang punggawa memperkenalkannya (bukan dia yang memperkenalkan dirinya) sebagai sultan-nya komunitas Bloger kota Yogyakarta. Zam namanya.

Tidak ada yang istimewa sebenarnya tentang lelaki ini. Saya cuma merasakan kedekatan yang juga tidak bisa dibilang dekat. Dikata saya jauh, juga tidak. Tetapi melihat segala atensi-nya dan perjuangannya dalam mengelola sebuah negara kecil yang berisi bloger-bloger dengan berbagai kepala, idealisme dan ide cerita, justru membuat saya percaya beliau adalah orang yang paham akan kekuasaan sultan ala Parikesit. Dia menghormati orang tua, tetapi dia juga tidak melupakan kodratnya sebagai anak muda dengan muka tua, seperti candi-candi tua yang selalu berusaha dikenalkannya dalam blog dengan bahasa-bahasa berjiwa muda.

Zam sadar kalau bersikap sopan adalah mutlak, tetapi dia juga tahu kapan harus menjadi gila. Perpaduan yang unik bagi saya, tidak heran komunitas Cahandong yang dipimpinnya ini bisa tetap survive walau laju Andong dan Kuda semakin liar dan kencang ke depannya. Soal kuda dan andong yang semakin kencang jalannya ini, saya pernah mengungkapkan kepada beliau. Dan jawabnya sederhana “Kita harus siap mengikuti era keemasan ini, segala popularitas ini. Resiko yang harus dijawab Cahandong saat ini. Tetapi kita tidak bisa pungkiri, semua itu ada masanya. Pergunakan sebaik-baiknya masa yang gemilang ini”, kira-kira begitu sabdanya jika dibahasakan secara bijak. Karena bahasa aslinya sangat khas ala Zam yang penuh pisuhan, gaya ngeselin dan dagelan kere.

Mimpi adalah kejaran. Setiap kesempatan adalah pilihan yang bisa diambil atau tidak. Dan seorang sultan juga manusia biasa, demikian Zam menyadari takdir adikodrati versi dirinya. Tuntutan meraih kesempatan yang akhirnya membawanya harus melanglang buana tapabrata ngelmu di negeri tetangga. Tentunya saya yakin ngelmu untuk menjadi pribadi lebih baik, tidak suka misuh-misuh sembarangan lagi, rajin mandi dan belajar mengelola duit jutaan di rekeningnya nanti.

Lalu kenapa dia menjadi penting di Warung Kapucino saya? Karena saya cuma merasa dekat dengannya, saya senang berjalan-jalan ke berbagai candi dan heritage bersamanya. Dia semacam teman diskusi soal sejarah yang hebat bagi saya. Jelas saya kehilangan, seperti menemukan seorang teman baru yang ngesoul, tetapi keburu berpisah. Tetapi begitulah hidup bukan? Seperti yang selalu saya alami dengan sahabat-sahabat saya lainnya, kita tidak pernah tahu kapan mimpi malah menjemput kita.

Saya jadi teringat frame terakhir cerita Parikesit. Dia memang dikutuk mati dipatuk ular Taksaka karena sumpah anak pendeta Samiti. Dalam penungguan di ujung menara kekuasaan, dia menyadari belum sempat mengerti arti kekuasaan Raja atau Sultan sesungguhnya. Sayangnya dia hanya terdiam dalam renungan berujung kematian, kesepian dalam kursi kekuasaan tanpa pencapaian hidupnya sendiri,

Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan semua itu. Bukan siksa menunggu yang menyuruhku. Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan yang mengalahkan kecut hatiku. Karena memang kutakutkan selamat tinggal yang kekal. Seperti bila dari tingkap ini kuhembuskan nafasku dan tak kembali tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon tanpa musim..

(Pariksit – dalam Goenawan Muhammad, Asmaradana, jakarta: Grasindo, 1992, hal 18-21)
Baca SelengkapnyaParikesit Menjemput Mimpi

Popular Posts

Contact

Nama

Email *

Pesan *