Tokoh Mahabharata

Tokoh-tokoh Mahabharata dalam budaya pewayangan Jawa diambil dan diadaptasi dari Kitab asli Mahabarata yang merupakan kitab peradaban Hindu.

Namun, sebagian tokoh merupakan asli tokoh kreasi pujangga Jawa. Pada era Mahabharata dimulai dari leluhur Pandawa dan Korawa, sampai dengan putra-putranya.

Abimanyu

Abyasa (Resi Abyasa)

Adirata

Agrariyin

Agrasara

Ajibarang

Amba

Ambalika

Ambika

Antakadewa (Caranggana)

Antakawulan

Antareja (Anantareja)

Antasena (Anantasena)

Aribawa (gagrak solo)

Aribawono **

Arimba

Arimbaka

Arimbi

Arjuna (Janaka)

Aswatama

Badrahini

Bagaspati (Begawan Bagaspati)

Baladewa

Balandari **

Banowati (Banuwati)

Basupati

Basudewa

Basukesti

Basukiswara

Basukunti

Bima (Werkudara)

Bima Andaka **

Bimandari **

Bimaratha

Bimasuwala

Bimawan **

Bisma (Resi Bisma)

Bogadenta

Bomantara

Bomawikata

Bratalaras (Branlataras)

Brajadenta

Brajalamatan

Brajamusti

Brajawikalpa

Burisrawa

Cakil

Carucitra

Cedhakapuspa

Citrabaya

Citraboma

Citradharma

Citradirgantara

Citrakala

Citraksa

Citraksi

Citrakunda

Citrakundala

Citramarma (Citrawarma)

Citrasanda

Citrasena

Citrasurti

Citrawicitra

Citrayuda

Damayanti

Danurdara

Darmagosa

Darmajahi

Darmayuda

Dewayani

Dirgabahu

Dirgacitra

Dirgasura

Drona (Resi Dorna)

Dredawarma

Drestajumna

Dretarastra

Drupada

Drupadi

Druwasa

Durasa

Durdara (Duradara)

Durgahamong

Durganda

Durgandasena

Durgandini (Setyawati)

Durgangsa

Durganta

Durgantara

Durgapati

Durgempo

Durjaya

Durkaruno

Durmagati

Durmanggala

Durmuka

Durnetra

Durpakempa

Dursaha

Dursahesa

Dursasana

Dursaya

Dursilawati

Durwimocana

Duryuda

Duryudana (Suyudana)

Dusadara

Dusprajaya

Dyah Sarimaya

Ekalaya (Palgunadi)

Gagarmayang

Gatotkaca

Gandabayu

Gandamana

Gandari (Gendari)

Gandawati

Ganggapranawa

Gardapati

Gardapura

Giyanti (hanya ada di Gagrak Banyumasan)

Gunadewa

Hadimba

Hanudara

Irawan (Gambiranom)

Jalasaha

Janamejaya

Jarasanda

Jayaboma

Jayadarma

Jayadrata

Jayapermeya

Jayasakti

Jayasusena

Jayasuwirya

Jayawikata

Jembawati

Jimambang

Juwitaningrat

Kalabendana

Kangsadewa

Karna

Kartadenda

Kartamarma (Kertawarma)

Kawati

Kayapasena **

Kencakarupa

Kertipeya

Kratana

Krepa

Kresna

Kumaladewa

Kumalasekti

Kuntiboja

Kuntitalibrata

Kurandageni

Larasati (Rarasati)

Lesmana Mandrakumara

Lesmanawati

Madrim

Maerah

Maeswara

Manuhara

Manumayasa (Resi Manumayasa)

Matswapati (Durgandana)

Mumpuni

Mustakaweni

Nagagini

Nagatatmala

Nakula (Pinten)

Naranurwenda

Nilawara

Nilawati

Nirbita (Arya Nirbita)

Niwatakawaca

Pancasena (hanya ada di Gagrag Banyumasan)

Pancawala

Pandhudewanata

Pandikunda

Parasara (Palasara)

Parikesit

Partawijaya

Perdapa

Permeya

Prabakesana

Prabakusuma (Priyambada)

Prada (Dewi Prada)

Pragota

Pramusinta (Bambang Pramusinta)

Pramuwati (Dewi Pramuwati)

Pregiwa

Pregiwati

Pujawati

Rajamala

Ratri

Retnokasimpar

Rekatawati

Rudrakarman (Rodrakarma)

Rukma (Harya Prabu Rukma)

Rukmini

Rupacitra

Rupakenca

Sahadewa (Tangsen)

Sakri

Sakutrem (Sekutrem)

Salya (Narasoma)

Sanga Sanga

Sangkuni

Samba

Sanjaya

Santanu (Sentanu)

Sarmista

Satrunjaya (100)

Satrusaha (100)

Sembadra (Subadra)

Sena Pideksa **

Setiati (Setyati)

Sidik Wacana

Supreti

Sempani (Begawan Sempani)

Senacitra

Seta (Sweta)

Setatama

Setija (Boma Narakasura)

Setyaboma

Setyajid

Setyaka

Setyaki

Setyawati

'"Siti Sundari

Srengganawati

Srenggini (hanya ada di Gagrak Banyumasan)

Srengginiwati

Sritanjung

Sudarga

Sudirga

Sugatawati

Sulacana

Supala

Sumbada

Sumitra (putra Arjuna)

Sungganawati **)

Supraba

Supreti

Suradurma

Surasudirga

Surata (Arya Surata)

Surtayu (100)

Surtayuda

Surtayuni

Suryaasmara

Surtikanti

Susena

Susenawati **

Swaradenta

Swikandini

Swikerna

Tambakganggeng

Tambapetra

Tokayo (100)

Udawa

Ugrasena (nama muda dari Setyajid)

Ulupi (Palupi)

Upacitra

Urangayu

Utara

Utari

Wahkawaca

Walmuka

Wasukunteya *))

Wicitrawirya

Widandini

Widapaksa (Sidapaksa)

Widura (Yamawidura)

Wijanarka

Wikarpa

Wikataboma

Wilawuk

Wilugangga

Wirata (Arya Wirata)

Wiryajaya

Wisata

Wisanggeni

Wiwingsati

Wratsangka

Wresaya

Yudakarti

Yudhistira (Puntadewa)

Yuyutsu (Wiwitsu)

Baca SelengkapnyaTokoh Mahabharata

Tokoh Ramayana

Tokoh-tokoh Ramayana dalam budaya pewayangan Jawa diambil dan diadaptasi dari mitologi Hindu di India. Di antara nya sebagai berikut :

Anggada

Anila

Anjani

Arjunasasra Bahu

Aswanikumba

Bharata

Bukbis

Citradarma

Citraresmi

Citrawati

Danapati (Danaraja)

Dasarata

Hanoman

Hiranyakasipu

Indrajit (Megananda)

Jatayu

Jamadagni

Jembawan

Kosalya

Kumbakarna

Lesmana (Laksmana Widagda)

Parasurama

Prahasta

Purwati

Purwaganti

Rama Wijaya

Rahwana

Saksadewa

Sarpakenaka

Satrugna

Sinta

Subali

Sugriwa

Sukesi

Sukrasana

Sumali

Sumantri (Suwanda)

Sumitra

Suwandagni

Trigangga (Trihangga)

Trikaya

Trijata

Trinetra

Trisirah

Urangayung

Wibisana

Wilkataksini

Windradi

Wisrawa

Baca SelengkapnyaTokoh Ramayana

Ringkasan cerita Mahabharata

Di dalam naskah berbahasa Sanskerta, Mahabharata disajikan sebagai cerita berbingkai (cerita di dalam cerita), dengan tiga narator: Ugrasrawa, Wesampayana, dan Sanjaya. Dari narasi Ugrasrawa disampaikan bahwa kisah Mahabharata pernah dituturkan oleh Wesampayana kepada Maharaja Janamejaya dari Hastinapura. Pada awalnya, sang maharaja gagal mengadakan upacara pengorbanan ular. Untuk melipur duka sang maharaja, murid Byasa yang bernama Wesampayana diminta untuk menuturkan kisah kejayaan leluhur sang maharaja, yaitu raja-raja India Kuno yang berada dalam satu garis keturunan, di antaranya: Pururawa, Yayati, Puru, Bharata, dan Kuru.

Cerita utama Mahabharata berpusat pada riwayat seratus Korawa dan lima Pandawa yang merupakan keturunan raja-raja tersebut di atas, dengan konflik utama yaitu perang saudara di Kurukshetra. Baik Korawa maupun Pandawa merupakan dua kelompok pangeran dari Dinasti Kuru yang tinggal di keraton Hastinapura, India Utara. 

Korawa merupakan putra-putra Dretarastra, sedangkan Pandawa merupakan putra-putra Pandu, adik Dretarastra. Meskipun Korawa merupakan putra-putra keturunan Kuru yang lebih tua, tetapi usia mereka semua termasuk Duryodana, Korawa sulung lebih muda daripada Yudistira, Pandawa sulung. Baik Duryodana maupun Yudistira mengeklaim sebagai pewaris takhta yang pertama. Pertikaian memuncak menjadi sebuah perang di Kurukshetra, yang dimenangkan oleh pihak Pandawa.

Kisah Mahabharata diakhiri dengan wafatnya Kresna, kehancuran klan-klan Yadawa, dan diangkatnya para Pandawa ke surga. Peristiwa tersebut juga diyakini dalam kepercayaan Hindu sebagai permulaan zaman Kaliyuga, yaitu zaman peradaban manusia yang keempat sekaligus terakhir; zaman ketika nilai-nilai yang mulia dan berharga mulai luntur, dan orang-orang cenderung berlaku dengan mengabaikan kebenaran, moralitas, dan kejujuran. 

Baca SelengkapnyaRingkasan cerita Mahabharata

Astadasaparwa Mahabharata

Astadasaparwa adalah 18 kitab yang meceritakan kilas balik para tokoh utama mahabharata, Kemudian cerita utama tersusun secara kronologis, mulai dari kelahiran Pandawa dan Korawa (Adiparwa), sampai kisah diterimanya mereka di surga (Swargarohanaparwa).

Kitab Adiparwa

Kitab Adiparwa berisi sejumlah cerita sisipan (interpolasi) yang mengandung mitologi Hindu. Beberapa di antaranya meliputi: kisah pemutaran Mandaragiri (Samudramantana), kisah Bagawan Domya yang menguji ketiga muridnya, kisah Kaca dan Dewayani, serta kisah Jaratkaru dan Manasa. Kisah sisipan yang berkaitan dengan plot utama meliputi: cerita tentang para leluhur Pandawa dan Korawa (Yayati, Puru, Pratipa), kisah kelahiran Resi Byasa, serta kisah Santanu dan kedua istrinya (Gangga dan Satyawati). Cerita utama dimulai dengan kisah kelahiran Dretarastra (ayah para Korawa), Pandu (ayah lima Pandawa), dan Widura (perdana menteri), yang berlanjut dengan kelahiran para Pandawa dan Korawa, kisah masa kanak-kanak dan pendidikan mereka, kisah percobaan pembunuhan kepada Pandawa, kisah pernikahan Pandawa dengan Dropadi, kisah petualangan Arjuna (Pandawa ketiga), dan kisah pembakaran hutan Kandawa.

Kitab Sabhaparwa

Kitab Sabhaparwa berisi kisah utama tentang pertemuan para Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk bermain judi, yang digagas oleh Duryodana (Korawa sulung) dan Sangkuni (paman para Korawa). Perjudian tersebut dilakukan agar harta dan istana Yudistira (Pandawa sulung) jatuh ke tangan Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan oleh Korawa, tetapi Dretarastra membatalkan seluruh taruhan. Atas desakan Duryodana, permainan diselenggarakan lagi dengan taruhan menjalani pengasingan selama 12 tahun, disusul masa penyamaran selama setahun. Apabila penyamaran terbongkar sebelum genap setahun, maka masa pengasingan diulangi lagi. Sebagaimana permainan sebelumnya, Pandawa pun kalah.

Kitab Wanaparwa

Kitab Wanaparwa berisi kisah utama tentang bagaimana para Pandawa menjalani kehidupan di hutan selama masa 12 tahun. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti pasupati dari Dewa Siwa. Kisah tersebut menjadi bahan cerita Kakawin Arjunawiwaha dalam kesusastraan Indonesia.

Kitab Wirataparwa

Kitab Wirataparwa berisi kisah utama tentang penyamaran Pandawa selama satu tahun di keraton Wirata, Kerajaan Matsya setelah selesai menjalani pengasingan di hutan selama 12 tahun. Adapun rincian penyamaran para Pandawa sebagai berikut: Yudistira menyamar sebagai ahli agama bernama Kangka, Bima menyamar sebagai juru masak bernama Balawa, Arjuna menyamar sebagai guru tari bernama Wrehanala, Nakula menyamar sebagai pegurus kuda bernama Grantika, Sadewa menyamar sebagai penggembala sapi bernama Aristanemi atau Tantripala. Sementara itu, istri mereka yaitu Dropadi menyamar sebagai pelayan (sairandri) bernama Malini.

Kitab Udyogaparwa

Kitab Udyogaparwa berisi kisah utama tentang upaya untuk mendamaikan para Pandawa dengan Korawa. Setelah menjalani penyamaran selama setahun, para Pandawa kembali ke Hastinapura, dan Yudistira sebagai putra sulung menuntut haknya sebagai pewaris takhta. Tuntutan Yudistira ditolak oleh Duryodana. Kresna yang bertindak sebagai juru damai gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Sebelumnya, para Pandawa dan Korawa telah mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha ("Tanah India"), dan hampir seluruh kerajaan pada zaman India kuno terbagi menjadi dua kelompok.

Kitab Bhismaparwa

Kitab Bhismaparwa merupakan kitab yang menceritakan tentang bermulanya pertempuran di Kurukshetra akibat kegagalan perundingan damai antara Pandawa dan Korawa. Pada beberapa bagian awalnya terselip suatu interpolasi tentang percakapan antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung. Oleh umat Hindu, percakapan tersebut dirangkum menjadi sebuah kitab tersendiri, yang dikenal sebagai kitab Bhagawadgita ("Bhagavad-Gītā"). Cerita dalam kitab Bhismaparwa diakhiri dengan tumbangnya Bisma pada pertempuran di hari kesepuluh, karena serangan bertubi-tubi dari Arjuna yang dibantu oleh Srikandi.

Kitab Dronaparwa

Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang tentara Korawa. Diceritakan bahwa untuk mengakhiri perang secepat mungkin, maka Drona berusaha menangkap Yudistira selaku pemimpin tertinggi laskar Pandawa, tetapi usahanya selalu gagal. Akhirnya Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna, ketika sedang tertunduk lemas setelah mendengar berita palsu tentang kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya dua kesatria unggulan pihak Pandawa: Abimanyu dan Gatotkaca.

Kitab Karnaparwa

Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang setelah gugurnya Drona. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana di tangan Bima. Saat menjabat sebagai panglima, Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran di antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna—dengan menggunakan senjata Pasupati—pada pertempuran di hari ke-17.

Kitab Salyaparwa

Kitab Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18, menggantikan Karna yang telah gugur. Pada hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana kalah sehingga perang pun berakhir. Namun ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima untuk membalaskan dendamnya.

Kitab Sauptikaparwa

Kitab Sauptikaparwa berisi kisah utama tentang pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Krepa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa yang sedang tidak berada di sana. Setelah itu Aswatama melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Kresna mengutuk Aswatama.

Kitab Striparwa

Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula, Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya. Diceritakan pula bahwa Gandari mengutuk keluarga Kresna (bangsa Yadawa) agar binasa dalam perang saudara.

Kitab Santiparwa

Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Byasa dan Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai raja. Kitab ini merupakan salah satu kitab Mahabharata yang mengalami banyak interpolasi sehingga sloka (ayat-ayat) yang terkandung di dalamnya sangat banyak. Berbagai ajaran India Kuno terkandung dalam interpolasi tersebut, mulai dari ilmu sosial, ritual, ekonomi, hingga politik.

Kitab Anusasanaparwa

Kitab Anusasanaparwa berisi kisah utama tentang penyerahan diri Yudistira kepada Bisma untuk menerima ajarannya (anusasana). Bisma mengajarkan tentang ajaran darma, arta, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang. Sebagaimana Santiparwa, kitab ini juga mengandung banyak interpolasi dan merupakan salah satu kitab Mahabharata yang jumlah slokanya sangat banyak.

Kitab Aswamedhikaparwa

Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah utama tentang pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Yudistira yang telah menjabat sebagai raja. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para raja di dunia, selama ia menuntun jalannya kuda yang dipakai sebagai sarana upacara tersebut. Dalam kitab ini dikisahkan pula kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, tetapi dihidupkan kembali oleh Sri Kresna. Kemudian terdapat pula kisah pertemuan Arjuna dengan Babruwahana, putranya dengan Citrānggadā dari Manipur.

Kitab Asramawasikaparwa

Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Dretarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan untuk menjalani masa pensiun mereka. Bertahun-tahun setelah menjalani kehidupan di hutan, Resi Narada datang ke istana Hastinapura untuk membawa kabar bahwa Dretarastra dan yang lainnya telah pergi ke surga tewas terbakar oleh api ritual yang melalap asrama mereka.

Kitab Mosalaparwa

Kitab Mosalaparwa menceritakan perang saudara yang terjadi di antara klan-klan bangsa Yadawa, yaitu keluarga besar Kresna. Setelah keluarganya binasa, Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwaraka, kediaman Kresna dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup sebagai "sanyasin", atau menjalani pensiun dengan meninggalkan kesibukan duniawi.

Kitab Prasthanikaparwa

Kitab Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya sebagai tujuan akhir kehidupan mereka, sementara takhta kerajaan telah diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.

Kitab Swargarohanaparwa

Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang telah mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput oleh Dewa Indra untuk memasuki surga. Sebelum memasuki surga, sang dewa menguji Yudistira, dan akhirnya ia mampu melewati ujian tersebut. Kisah diakhiri dengan berkumpulnya kembali para tokoh utama di surga.

Baca SelengkapnyaAstadasaparwa Mahabharata

Kutipan Kakawin Ramayana

 Ada seorang Raja besar, dengarkanlah. Terkenal di dunia, musuh baginda semua tunduk. Cukup mahir akan segala filsafat agama, Prabu Dasarata gelar Sri Baginda, tiada bandingannya


Dia ayah Sang Triwikrama, maksudnya ayah Bhatara Wisnu yang sedang menjelma akan menyelamatkan dunia seluruhnya. Demikian tujuan Sang Hyang Wisnu menjelma menjadi manusia.


Ada sebuah istana bagaikan surga, dipenuhi oleh orang-orang bijak serta luhur perbuatan, di Ayodhya-lah yang cukup terkenal di dunia, itulah istana Sri Baginda Prabu Dasarata


Sudah lama Sri Baginda menikah, saling mencintai dengan para permaisurinya, kenikmatan rasa pertemuan itu telah dapat dirasakan, bercumbu rayu dan sejenisnya


Timbullah niat Sri Baginda agar berputra, agar berputra karena sudah puas bercinta, tetapi lama nian dia tidak berputra, lalu dia berniat mengadakan ritual


Semua perlengkapan upacara sudah dikerjakan, alat upacara pengundang serta tempat para Dewa sudah tersedia, Bhatara Çiwa yang dipuja-Pūja, agar berstana pd api suci itu


Sisa sesaji yang dihaturkan oleh Sang Maha Pendeta, sesajen yang sempurna, santapan yang nikmat rasa serta baunya, itulah yang disantap oleh dia, permaisuri Sri Baginda Raja


Demikianlah tidak diceritakan lagi selang waktu itu, para permaisuri kesayangan Prabu Dasarata melahirkan putera, Sang Rama putera yang sulung, dari permaisuri Dewi Kosalya


Adapun putera Dewi Kekayi, Sang Bharata yang terkenal sakti mandraguna, sedangkan Dewi Sumitra, berputra Sang Lakshmana dan Sang Satrugna


Sang Rama diberi pelajaran tentang panah memanah oleh Bagawan Wasista dalam waktu tidak lama, beserta ketiga adik-adiknya, semuanya pintar cekatan tentang ilmu memanah

Baca SelengkapnyaKutipan Kakawin Ramayana

Saptakandha Ramayana

Saptakandha adalah Wiracarita Ramayana yang terdiri dari tujuh kitab adapunn urutan kitab menunjukkan kronologi peristiwa yang terjadi dalam Wiracarita Ramayana.

Di antara nya adalah sebagai berikut :


Kitab Balakanda

Kitab Balakanda merupakan awal dari kisah Ramayana. Kitab Balakanda menceritakan Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Prabu Dasarata berputra empat orang, yaitu: Rama, Bharata, Lakshmana dan Satrughna. Kitab Balakanda juga menceritakan kisah Sang Rama yang berhasil memenangkan sayembara dan memperistri Sita, puteri Prabu Janaka.

Kitab Ayodhyakanda

Kitab Ayodhyakanda berisi kisah dibuangnya Rama ke hutan bersama Dewi Sita dan Lakshmana karena permohonan Dewi Kekayi. Setelah itu, Prabu Dasarata yang sudah tua wafat. Bharata tidak ingin dinobatkan menjadi Raja, kemudian ia menyusul Rama. Rama menolak untuk kembali ke kerajaan. Akhirnya Bharata memerintah kerajaan atas nama Sang Rama.

Kitab Aranyakanda

Kitab Aranyakakanda menceritakan kisah Rama, Sita, dan Lakshmana di tengah hutan selama masa pengasingan. Di tengah hutan, Rama sering membantu para pertapa yang diganggu oleh para rakshasa. Kitab Aranyakakanda juga menceritakan kisah Sita diculik Rawana dan pertarungan antara Jatayu dengan Rawana.

Kitab Kiskindhakanda

Kitab Kiskindhakanda menceritakan kisah pertemuan Sang Rama dengan Raja kera Sugriwa. Sang Rama membantu Sugriwa merebut kerajaannya dari Subali, kakaknya. Dalam pertempuran, Subali terbunuh. Sugriwa menjadi Raja di Kiskindha. Kemudian Sang Rama dan Sugriwa bersekutu untuk menggempur Kerajaan Alengka.

Kitab Sundarakanda

Kitab Sundarakanda menceritakan kisah tentara Kiskindha yang membangun jembatan Situbanda yang menghubungkan India dengan Alengka. Hanuman yang menjadi duta Sang Rama pergi ke Alengka dan menghadap Dewi Sita. Di sana ia ditangkap namun dapat meloloskan diri dan membakar ibu kota Alengka.

Kitab Yuddhakanda

Kitab Yuddhakanda menceritakan kisah pertempuran antara laskar kera Sang Rama dengan pasukan rakshasa Sang Rawana. Cerita diawali dengan usaha pasukan Sang Rama yang berhasil menyeberangi lautan dan mencapai Alengka. Sementara itu Wibisana diusir oleh Rawana karena terlalu banyak memberi nasihat. Dalam pertempuran, Rawana gugur di tangan Rama oleh senjata panah sakti. Sang Rama pulang dengan selamat ke Ayodhya bersama Dewi Sita.

Kitab Uttarakanda

Kitab Uttarakanda menceritakan kisah pembuangan Dewi Sita karena Sang Rama mendengar desas-desus dari rakyat yang sangsi dengan kesucian Dewi Sita. Kemudian Dewi Sita tinggal di pertapaan Rsi Walmiki dan melahirkan Kusa dan Lawa. Kusa dan Lawa datang ke istana Sang Rama pada saat upacara Aswamedha. Pada saat itulah mereka menyanyikan Ramayana yang digubah oleh Rsi Walmiki.

Baca SelengkapnyaSaptakandha Ramayana

Sejarah Wayang Kulit

Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In¬donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem¬perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

Ada dua pendapat mengenai asal – usul wayang. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.

Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe¬wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo¬nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur¬nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In¬dia, Walmiki.

Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In¬dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis¬toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone¬sia halaman 987.

Kata `wayang’ diduga berasal dari kata `wewa¬yangan’, yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga masih belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata.

Sejak saat itulah cerita , cerita Panji, yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman 

Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawa¬yang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.


Baca SelengkapnyaSejarah Wayang Kulit

Popular Posts

Contact

Nama

Email *

Pesan *