Karna Tak Tergoyah Rayuan Ibunya

Namanya Cukup dikenal sebagai seorang Adipati yang gagah perkasa dari negeri Awangga bawahan kerajaan Astinapura. Ia memiliki sebuah senjata tumbak yang sangat ampuh bernama Konta. Karena ampuhnya senjata ini hanya dapat digunakan sekali saja, kemudian akan kmbali kepada pemiliknya yakni Batara Indra.

Ketika bayi ia diketemukan oleh Rada, istri Adirata kusir kereta serta diakui sebagai anaknya dan diberi nama Karna Radea, artinya Karna anak Rada.

Setelah dewasa Karna sering menonton Kurawa dan Pandawa berlatih menggunakan senjata panah dibawah asuhan gurunya, Dorna. Ia sangat tertarik dengan pelajaran ilmu menggunakan senjata panah dan sangat ingin menjadi siswa perguruan itu. Tetapi ia sadar bahwa itu tidak mungkin, karena ia hanya anak seorang kusir kereta, sedang Kurawa dan Pandawa adalah keluarga kerajaan.

Karena keinginan untuk menjadi seorang pemanah yang mahir tetap menggelora di dalam jiwanya, maka secara iam-diam ia menonton sambil mempelajari cara-cara melepas anak panah seperti diajarkan Dorna kepada siwa-siswanya. Berkat kemauan yang keras ditunjang kecerdasan yang luar biasa, akhirnya karna mahir menggunakan senjata, bahkan melebihi kepandaian kaum Kurawa atau sejajar dengan Arjuan yang merupakan siswa terbaik dalam perguruan itu.

Suatu hari perguruan mengadakan ujian praktik bagi siswa-siswanya, di mana kedua golongan yang masih bersaudara itu harus mengadu kemahiran menggunakan senjata panah. Ternyata dalam adu kemahiran itu, Pandawa tampak lebih unggul dari kaum Kurawa.

Waktu itu Sakuni adik Gandari ibunda Kurawa tengah berusaha menanamkan benih-benih kebencian kaum Kurawa kepada Pandawa mengenai hak pemilikan tahta kerajaan Astina agar tidak jatuh ke tangan Pandawa. Sedangkan udhistira telah ditetapkan oleh Dewa sesepuh kerajaan sebagai calon raja Astina. Karena itu kebencian Kurawa semakin menjadi manakala setiap adu kemahiran anak-anak Gendari itu selalu dikalahkan oleh anak-anak Kunti.

Karna yang waktu itu turut menonton sudah tidak tahan lagi ingin turut dalam pertandingan. Maka tanpa pikir panjang lagi, ia nyelonong masuk gelanggang minta kepada Dorna supaya diperkenankan ikut bertanding dan sanggup mengalahkan Arjuna. mendengar kata-kata sombong itu, Bima naik pitam dan mencaci maki karna: "Hei, kau anak yang tidak diketahu ibu bapaknya, tidak pantas ikut bertanding. Kau hanya anak pungut kusir kereta lebih pantas pgang cambuk dan memandikan kuda," bentaknya. Caci maki itu sangat menyakitkan hatinya, hampir-hampir ia jatuh pingsan karena malu dicaci di hadapan orang banyak.

Karena itu Duryudana melihat potensi dan keberanian si anak kusir demikian hebat lalu dibelanya dan ketika itu juga Karna diangkat menjadi Adipati di negeri Awangga. Pengangkatan itu beresifat politis, karena potensi Karna dapat dijadikan andalan dalam menghadapi Pandawa, sekaligus menambah kekuatan dalam kampanye merebut tahta kerajaan Astina. Tentu saja si anak kusir itu sangat gembira dan dengan spontan di hadapan Duryudana ia bersumpah akan membela Kurawa samapi tetes darah yang penghabisan.

Sementara itu Dewi Kunti yang hadir mnyaksikan pertandingan hatinya senang bercampur seih melihat anak yang dulu dihanyutkan di sungai masih hidup dan telah menjadi seorang ksatria yang gagah dan tampan. Sedih karena tidak dapat menemui karena takut rahasianya diketahui. Yang lebih merisaukan hatinya, Kunti mendengar sumpah karna akan memebela Kurawa. Timbul kekhawatiran bahwa kedua anak kandungnya akan saling bermusuhan. Kekhawatiran itu menjadi kenyataan dengan akan terjadinya pertumpahan darah antara Pandawa dan Kurawa dalam perang Baratayudha. Segera Kunti berunding dengan Kresna untuk mencegah Karna terlibat memerangi saudara kandungnya sendiri. Satu-satunya jalan Kunti harus membuka rahasia kepada Karna, bahwa dialah ibunya dan Pandawa adalah saudara kandungnya. Maka bergegaslah Kunti menemui Karna, di mana sebelumnya Kresna pun telah menemui Adipati Karna.

Kunti : "Raden, engkau adalah anakku, darah dagingku yang ketika bayi ibu hanyutkan di sungai, hingga ibu menemukannya kembali, tatkala engkau masuk gelanggang pertandingan menantang Arjuna."

Karna : "Hamba sudah mendengar dari kanda Kresna, bahwa ada seorang anak bernasib buruk dibuang oleh ibunya untuk menghindari malu."

Kunti : "Maafkan ibu nak. Ketika itu tak ada jalan lain. Tetap ibu pun tidak mengerti mengapa harus melahirkan engkau. Semua itu rahasia Dewa," kilahnya.

Karna : "Lho, mengapa ibu harus minta maaf kepada hamba? Antara kita tak ada hubungan sama sekali dengan peristiwa dibuangnya si bayi itu. Hama anak ibu Rada dan ayahanda Adira kusir kereta desa."

Kunti : "Ibu memang tak ada hak atas dirimu. Tapi bagaimanapun engkau adalah darah dagingku, raden. Dan Pandawa adalah adik-adikmu sekandung. Hati ibu akan hancur menyaksikan anak-anak kandungku saling membunuh," katanya dengan suara sendu.

Karna : "Andaikan benar hamba putra kandung ibu, mengapa ibu begitu tega membuang hamba bagai sampah tak berharga. Itu berarti ibu telah menyerahkan hamba kepada masa lalu dan tiadak hak memiliki hamba. Karena itu janganlah berharap keinginan ibu akan terpenuhi. Hamba telah bersumpah di hadapan Duryudana, bahwa hamba akan membela Kurawa hingga tetes darah yang penghabisan. Seorang satria harus memegang teguh kata-katanya."

Kunti menangsi tersedu dengan penyesalan yang tiada hingga. Tetapi air mata tak mampu meluluhkan hati Karna. Dia seorang ksatria yang teguh memeggang janji dan sumpah. Sementara itu Karna pun tak kurang sedihnya melihat Kunti terluka hatinya. Kemudian dia berkata:

Karna : "Terlepas engkau ibu kandungku atau bukan, yang pasti hamba berterima kasih bila ibu mengakui hamba sebagai putra kandung ibu. Akan halnya hamba dibuang ketika masih bayi, itu adalah sudah kehendak Dewata semata-mata. Bukankah tadi ibu mengatakan tidak mengerti mengapa melahirkan hamba? Tetapi kini ibu masih dapat bertemu dengan hamba."

Kunti : "Oh Raden, ibu gembira mendengar pengkauanmu dan harus dengan cara apa, ibu harus berterima kasih kepada ibu Rada dan bapak Adiratam hanya Dewatalah yang mampu membalas kebaikan mereka. Tapi satu hal yang masih mengusik hati ibu, ialah kau akan berperang dengan adik-adikmu Raden."

Karna : "Apabila hamba harus lari dari kenyataan meninggalkan Duryudana yang telah berbaik hati kepada hamba, makan hamba akan tercatat sebagai orang yang berprilaku buruk , karena tidak menepati janji dan sumpahnya. Hamba mengakui bahwa hamba berada di pihak yang berwatak angkara, tetapi akan lebih buruk lagi diri hamba apabila ingkar janji, Dalam perang nanti, hamba akan merasa bahagia apabila mati di tangan adik-adik hamba sendiri. Pertarungan yang akan terjadi nanti, bukan pertarungan karena soal pribadi, melainkan kesemua itu telah diatur oleh pihak yang berkuasa yang tidak mungkin dapat ditarik kembali," tukas Karna.

Ringkas cerita pertemuan itu berakhir dengan tidak tercapainya keinginan Kunti. Tetapi setidaknya Kunti merasa lega dengan pengakuan si anak yang hilang itu. Menurut Mahabharata baik Karna maupun Pandawa tidak saling mengetahui mereka masih saudara sekandung. Tapi setelah usai perang, barulah Pandawa mengetahui, bahwa karna adalah saudara kandungnya sendiri. Dalam perang itu, Karna gugur di tangan adiknya sendiri, Arjuna.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Contact

Nama

Email *

Pesan *