Abimanyu Gugur

Terkadang disebut Angkawijaya Gugur, yang tergolong lakon pakem, adalah bagian dari serial lakon-lakon Baratayuda. Dalam lakon itu diceritakan tentang kegundahan Abimanyu karena ia tidak diijinkan turun ke gelanggang Baratayuda. Baru pada hari ke tigabelas, Abimanyu diperkenankan ikut berperang. Pada hari itu, Arjuna dan Bima terpancing mengejar lawan-lawannya sampai keluar gelanggang. Dengan demikian di tengah gelanggang, 

Abimanyu menjadi pusat sasaran musuh. Abimanyu akhirnya tewas dengan tubuh penuh luka. Namun gugurnya Abimanya berhasil membunuh Lesmana Mandrakumara, alias Sarojakusuma, putra mahkota Astina. Putra Mahkota Astina itu mati ketika hendak mencoba menjadi pahlawan dengan membunuh Abimanyu yang telah terkepung.

Abimanyu akhirnya gugur setelah dikeroyok para Kurawa, dan kepalanya dihantam gada Kyai Glinggang milik Jayadrata. Sebelumnya, dari pihak Pandawa, telah gugur tiga orang ksatria putra Arjuna lainnya, yakni Brantalaras, Bambang Sumitra, dan Wilugangga. Ketiganya gugur terkena panah Begawan Drona. Inilah yang terutama membuat Abimanyu mengamuk, kehilangan kewaspadaan, dan akhirnya terjebak dalam perangkap siasat perang Kurawa.

Baca SelengkapnyaAbimanyu Gugur

Abimanyu Grogol

Terkadang disebut Angkawijaya Gugur, yang tergolong lakon pakem, adalah bagian dari serial lakon-lakon Baratayuda. Dalam lakon itu diceritakan tentang kegundahan Abimanyu karena ia tidak diijinkan turun ke gelanggang Baratayuda. Baru pada hari ke tigabelas, Abimanyu diperkenankan ikut berperang. Pada hari itu, Arjuna dan Bima terpancing mengejar lawan-lawannya sampai keluar gelanggang. Dengan demikian di tengah gelanggang, Abimanyu menjadi pusat sasaran musuh. Abimanyu akhirnya tewas dengan tubuh penuh luka.

 Namun gugurnya Abimanya berhasil membunuh Lesmana Mandrakumara, alias Sarojakusuma, putra mahkota Astina. Putra Mahkota Astina itu mati ketika hendak mencoba menjadi pahlawan dengan membunuh Abimanyu yang telah terkepung. Abimanyu akhirnya gugur setelah dikeroyok para Kurawa, dan kepalanya dihantam gada Kyai Glinggang milik Jayadrata.  

Sebelumnya, dari pihak Pandawa, telah gugur tiga orang ksatria putra Arjuna lainnya, yakni Brantalaras, Bambang Sumitra, dan Wilugangga. Ketiganya gugur terkena panah Begawan Drona. Inilah yang terutama membuat Abimanyu mengamuk, kehilangan kewaspadaan, dan akhirnya terjebak dalam perangkap siasat perang Kurawa.

Baca SelengkapnyaAbimanyu Grogol

Manikmaya Jadi Raja

Alkisah di istana Jonggring Salaka, Kahyangan Suralaya. Sang Hyang Tunggal yang didampingi kedua permaisurinya memanggil ketiga putranya, Sang Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Ia bermaksud ingin menyerahkan tahta Suralaya kepada salah putranya, namun sebelumnya Sang Hyang Tunggal mengisahkan perihal kelahiran mereka yang berasal dari sebutir telur hingga tercipta menjadi sosok manusia dewa. Dan yang membuat Sang Hyang Tunggal belum bisa menentukan siapa diantara putranya yang berhak mewarisi Kahyangan Suralaya, adalah karena dulu Sang Hyang Tunggal menyirami tiga bagian pecahan telur itu secara bersamaan sehingga tidak ada yang tercipta lebih dahulu dari bagian lainnya, tidak ada istilah ter-tua diantara yang lainnya, besarnya pun bersamaan,

Sebelum Sang Hyang Tunggal selesai bersabda, tiba-tiba Sang Hyang Antaga berkata kepada Sang Hyang Tunggal. Ia mengatakan bahwa kulit telur tentunya lebih awal dilahirkan, sebab kulit berada diluar isi dan telah ditakdirkan menjadi pelindung, yaitu melindungi isi telur yang lemah. Maka menurut Sang Hyang Antaga, kulit telurlah yang dianggap lebih tua dibandingkan dengan isinya.

 Sang Hyang Ismaya menepis perkataan Sang Hyang Antaga. Menurutnya, bahwa kulit dan isi telur adalah satu kesatuan yang terlahir bersamaan. Tanpa adanya putih dan merah telur yang menjadi isi, maka kulit telur pun tidak akan ada. Tidaklah mungkin telur terlahir hanya kulitnya saja tanpa ada isi yang telah ikut menyempurnakan keadaannya. Dan Sang Hyang Ismaya mengingatkan kepada Sang Hyang Antaga, bahwa putih dan merah telur yang menjadi isi adalah cikal bakal yang menjadi adanya tanda-tanda kehidupan. Kulit hanya ragangannya saja, tetapi isilah yang menjadi sumber dan keutamanya.

Sang Hyang Antaga tersinggung mendengar kata-kata Sang Hyang Ismaya. Ia yang tercipta dari kulit telur merasa dihina, tidak dianggap memiliki keutamaan, hanya ragangan yang berarti benda kosong yang tidak memiliki arti. Sang Hyang Antaga pun berjumawa, ia menganggap kulit telur adalah yang terkuat dengan wujud keras dibandingkan isi. Sang Hyang Ismaya membantah, bagaimana bisa disebut kuat kalau kulit telur bisa retak dan pecah. Adu mulut antara Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya kian memanas, mereka berdua sama-sama telah terbakar amarah.
Kita adu kesaktian! Siapa yang kuat diantara kita!

Adigang, adigung, adiguna. Sang Hyang Antaga menunjukan perwatakannya yang secara lahir tercipta dari kulit telur, keras, jumawa dan selalu merasa dirinya yang paling hebat.
Sang Hyang Ismaya yang sudah merasa jengah dengan segala perkataan dan sikap saudaranya, menanggapi tantangan. Bagi Sang Hyang Ismaya menolak tantangan adalah tindakan seorang pengecut. Sekaligus akan memberi pelajaran kepada Hyang Antaga bahwa “girilusi jalmo tan keno ing ngino” di atas langit masih ada langit, jangan menganggap diri paling sakti di atas muka bumi.

Melihat perselisihan yang kian memanas diantara kedua putranya, Sang Hyang Tunggal segera melerai. Ia menasehati putra-putranya agar bisa lebih berpikir secara jernih dan terbuka, sebab semua masalah akan ada jalan keluarnya bila tanggapi dengan jiwa yang bersih. Tapi sudah terlanjur, keduanya sudah merasa saling dihinakan satu sama lainnya, maka keduanya pun sudah tidak menghiraukan lagi nasehat ayahandanya.
Bertikai dengan saudara sendiri, apakah kalian tidak akan menyesal nantinya?

Guntur menggelegar dan kilat menyambar. Awan hitam berarak berkejaran menutupi langit, bumi pun bergetar. Candradimuka bergolak menyemburkan lahar api yang sangat panas. Sabda Sang Hyang Tunggal telah menjadi kutukan bagi mereka, namun karena keduanya sudah sama dirasuki nafsu angkara murka, maka keduanya sudah tidak mampu berfikir dengan hati nuraninya. Hyang Antaga segera melesat meninggalkan Jonggring Salaka, dan kemudian disusul oleh Sang Hyang Ismaya.

Dilain pihak Sang Hyang Manikmaya hanya diam membisu. Dia tidak mau melibatkan diri dalam pertikaian kedua saudaranya, terkesan tidak ingin ikut campur. Akan tetapi ‘diam’ yang dilakukan Sang Hyang Manikmaya bukanlah sebab halus budi pekertinya. Disinilah perbedaan perwatakan diantara mereka. Sang Hyang Manikmaya lebih cerdik dibandingkan kedua saudaranya, ia licik dan otaknya mampu bekerja dengan baik dibandingkan nafsunya. Sang Hyang Manikmaya akan membiarkan kedua saudaranya yang bertikai. Ia tahu bahwa diantara mereka mempunyai kesaktian yang berimbang, jadi untuk apa harus membuang tenaga ikut mengadu kesaktian dengan mereka. Yang terlintas dalam pikirannya adalah, ini kesempatan baik untuk bisa merebut hati ayahandanya dan mengincar singgasana Suralaya.

Sementara itu, jauh di luar gerbang gaib Selamatangkep, dua kesatria dewa telah saling beradu kesaktian. Masing-masing dari keduanya menunjukan keluhuran ilmunya. Saling mengeluarkan aji jaya kawijaya dan saling menghunus pusaka kadewatan. Mereka saling serang, saling pukul, saling tusuk dan saling banting hingga mengakibatkan guncangan hebat bagi bumi tempat mereka bertarung. Gunung longsor, bukit rug-rug. Candradimuka tidak henti-hentinya mengeluarkan semburan api panas yang menyala, asap hitamnya menggumpal melingkupi puncak Himalaya (Kahyangan Suralaya).
Tidak disangsikan lagi kehebatan dari kedua putra Sang Hyang Tunggal itu, keduanya sama-sama sakti, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Palagan yuda tempat bertarung mereka tidak hanya di atas lapisan bumi, tapi juga masuk ke dalam perut bumi, bertarung di dasar samudera dan bahkan berdirgantara di angkasa.
Pertempuran dua kesatria dewa yang berlangsung dahsyat ini mengundang rasa keprihatinan bagi kakek-kakek mereka, baik Sang Hyang Wenang yang bersemayam di alam ‘sunyaruri’, ataupun Sah Hyang Rekatama (Sang Hyang Yuyut) yang bersemayam di Samudralaya. Telah banyak yang menjadi korban karena dampak dari pertarungan kedua cucunya. Rusaknya gunung, hutan dan lautan, juga mahluk-mahluk lain baik yang berada di alam maya ataupun di alam nyata.

Pertarungan antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga telah memakan waktu yang cukup lama, tanpa berhenti dan tanpa mengenal rasa lelah. Dan saat pertarungan menginjak waktu yang ke-empat puluh hari, Sang Hyang Tunggal memutuskan untuk menyelesaikan pertarungan dengan mengajukan syarat sayembara kepada kedua putranya. Barang siapa yang mampu menelan gunung Jamurdipa dan lalu memuntahkannya kembali, maka dialah yang akan diakui sebagai yang tertua dan dinobatkan sebagai Raja Tribuana, mewarisi seluruh Kahyangan Suralaya.

Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya menyanggupi sayembara tersebut. Keduanya lalu mempersiapkan diri. Didahului oleh Sang Hyang Antaga, ia bertiwikrama menjadi berhala sewu yang besarnya melebihi gunung. Dan lalu gunung Jamurdipa dicabut dan dimasukan ke dalam mulutnya. Ia memaksa untuk menelan, namun ia merasa sangat kesusahan untuk menelannya, Gunung Jamurdipa itu masih berukuran lebih besar dari mulutnya, tapi karena nafsunya yang besar, maka ia terus mencoba memasukan gunung itu ke dalam mulutnya hingga mulutnya robek besar. ‘Kegedhen empyak kurang cagak’, besar keinginannya namun kurang mempunyai perhitungan.

Melihat Sang Hayang Antaga yang sedang bersusah payah ingin menelan gunung, Sang Hyang Ismaya segera melakukan tiwikrama. Tubuhnya seketika meninggi dan membesar, wujudnya seketika itu juga berubah menjadi berhala sewu. Akan tetapi wujud reksa denawa Sang Hyang Ismaya lebih tinggi besar dibandingkan dengan wujud raksasa jelmaan Sang Hyang Antaga. Tingginya melebihi tujuh kali puncak Himalaya. Kemudian Berhala Sewu perwujudan dari Sang Hyang Ismaya dengan cepat merebut gunung yang hendak ditelan oleh Sang Hyang Antaga. Dalam keadaan seperti itu Sang Hyang Antaga menjadi limbung, pandangan matanyapun dengan serta merta menjadi gelap, tidak sadarkan diri. Tubuhnya sekejap berubah kembali menjadi kecil dan luruh ambruk di atas bumi.

Kini gilliran Sang Hyang Ismaya, dengan kekuatan luar biasa Sang Hyang Ismaya memaksakan gunung Jamurdipa masuk ke dalam mulutnya. Oleh sebab tubuhnya lebih besar dari reksa denawa jelmaan Sang Hyang Antaga, maka dengan kekuatannya Sang Hyang Ismaya berhasil memasukan gunung Jamurdipa ke dalam mulutnya, dan lalu ditelan. Sang Hyang Ismaya sempat tercekat, ia merasa seperti tercekik dan sulit bernafas saat gunung Jamurdipa tertelan masuk di kerongkongannya. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan kesaktiannya hingga gunung itu pun langsung amblas ke dalam perutnya.

Seperi juga Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya sudah kehabisan seluruh tenaganya, ia merasa sudah tidak mampu lagi untuk mencoba memuntahkan kembali gunung Jamurdipa. Tubuhnya dingin dan lunglai, lalu seketika berubah kembali menjadi kecil, jatuh terkapar tidak sadarkan diri.

Sementara di Jonggring Salaka, Sang Hyang Tunggal yang sudah mengetahui peristiwa yang telah dialami kedua putranya hanya merenung. Ia pun menyesali atas kesalahannya waktu dulu, saat menyempurnakan wujud telur yang menjadi asal muasal mereka. Seharusnya mereka tidak disempurnakan secara bersamaan, sehingga bisa dibedakan mana yang lebih awal tercipta dan untuk dituakan. Namun yang lebih disesalkan lagi adalah mereka sudah tidak mau mendengarkan nasehatnya sebagai orang tua, apa mau dikata, semuanya sudah terlanjur, dan mereka telah memilih jalannya masing-masing.

Alam kembali menjadi tenang, burung-burung berkicau dikegelapan pagi, dan angin berhembus semilir meniupkan nafasnya yang gemulai. Diantara basahnya embun pagi di atas dedaunan, dua sosok mahluk yang terkapar di atas tanah kini mulai bergerak hidup, menunjukan bahwa keberadaan mereka masih memiliki nafas.

Mereka yang tidak lain adalah Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya yang telah tidak sadarkan diri untuk beberapa saat lamanya, dan kini mulai terbangun dari sadarnya. Keduanya masih terlihat bingung dan seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Baik Sang Hyang Antaga maunpun Sang Hyang Ismaya belum pulih total kesadarannya, mereka sama terkejutnya saat saling berhadapan. Dan Salah satu dari mereka lalu bertanya.

Siapa andika?

Yang ditanya menjawab sebagai Sang Hyang Antaga. Yang bertanya sontak terkejut seperti mendengar petir disiang bolong.Betapa tidak, yang mengaku sebagai Sang Hyang Antaga itu berpenampilan buruk rupa. Penampilan dan mukanya sangat jauh dari Sang Hyang Antaga yang sangat ia kenal. Sang Hyang Antaga yang sangat ia kenali adalah sosok kesatria perkasa, sedangkan yang dihadapinya bisa dibilang lebih mirip dengan mahluk jadi-jadian sebangsa Jin atau Dedemit. Tubuhnya pendek buncit, mukanya tidak seimbang dengan mulutnya yang sangat lebar menyerupai mulut angsa. Belum lagi habis rasa herannya, yang tadi mengaku bernama Sang Hyang Antaga balik bertanya.

Lah! Andika sendiri siapa?

Kini giliran dia menjawab dan mengaku bernama Sang Hyang Ismaya. Seperti juga Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Antaga pun terkejut bukan kepalang. Sang Hyang Ismaya seharusnya berwajah elok dan bersinar seperti matahari, tapi yang mengaku Ismaya ini bertubuh gemuk berpantat besar, wajahnya pun sama sekali tidak mirip, sangat lebih tua.

Mereka berdua saling meyakinkan siapa mereka, dan baru tersadar saat mereka mencoba untuk mengenali bentuk tubuh masing-masing, merabai seluruh wajah dan tubuhnya. Mereka sama-sama terkejut dan menjadi sadar bahwa mereka berdua telah terkena kutukan orang tua mereka, Sang Hyang Tunggal. Lalu mereka berdua menangis sejadi-jadinya sambil berangkulan seperti anak kecil. Dan kemudian memutuskan untuk kembali pulang ke Kahyangan Suralaya, menghadap Sang Hyang Tunggal.

Di Jonggring Salaka, di hadapan Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga masih terus menangis memohon ampunan, mereka memohon ayahandanya untuk merubah kembali wujud mereka seperti semula. Namun Sang Hyang Tunggal tidak dapat mengabulkan permohonan mereka. Menurutnya ini sudah takdir dan kehendak Yang Maha Kuasa.

Sang Hyang Tunggal bersabda kepada para putranya bahwa dirinya akan segera mokswa ke alam sunyaruri, namun sebelumnya ia akan menunjuk salah satu dari putranya untuk menggantikannya menjadi Raja Tribuana di Kahyangan Suralaya. Lalu Sang Hyang Tunggal menunjuk dan menobatkan Sang Hyang Manikmaya menjadi Raja Tribuana, dan kepada Sang Hyang Antaga juga Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Tunggal menyarankan mereka untuk turun ke marcapada apabila Sang Hyang Manikmaya kelak menurunkan keturunannya di Marcapada.

Sebagai Raja Tribuana, Sang Hyang Manikmaya diberi tugas untuk menentramkan marcapada. Sedangkan Sang Hyang Antaga bila saatnya nanti turun ke marcapada harus merubah namanya menjadi Togog (Togog Wijomantri). Ia ditugaskan untuk mengasuh, mendidik dan memberi nasehat budi pekerti yang baik kepada para raja keturunan Sang Hyang Manikmaya yang berwujud raksasa. Kelak dikehidupannya nanti Togog akan menghamba dan ikut kepada para raja raksasa seperti raja-raja Lokapala hingga Alengka yang berasal dari keturunan Batara Sambu, putra sulung Sang Hyang Manikmaya.
Dan kepada Sang Hyang Ismaya, bila saatnya turun ke marcapada harus berganti nama menjadi Semar (Semar Badranaya). Ia ditugaskan untuk mengasuh para raja, brahmana, dan kesatria yang masih keturunan Sang Hyang Manikmaya.

Sebenarnya yang paling berat adalah tugas Sang Hyang Antaga, sebab ia disuruh memberi pelajaran budi pekerti, menasehati serta meluruskan para raja raksasa yang kebanyakan sifat dan perwatakannya penuh dengan angkara murka.
Baca SelengkapnyaManikmaya Jadi Raja

Nagari Purwa Carita

Setelah sekian lama melangkahkan kaki tak tentu arah, masuk hutan keluar hutan, naik gunung turun gunung, sampailah Togog di tengah perjalanan bertemu dengan sekelompok raksasa yang tengah berjalan beriringan, berbaris-baris bersenjata lengkap. Togog segera sadar bahwa dirinya tengah berhadapan dengan selaksa pasukan bala tentara raksasa yang sepertinya tengah melakukan perjalanan menuju medan tempur. Terlanjur untuk menghindar, Togog sudah lebih dulu dipanggil dengan bentakan suara yang kasar dan garang oleh salah satu raksasa yang berdiri paling depan diantara raksasa lainnya. Dari busana yang disandangnya, Togog sudah bisa menebak bahwa yang memanggilnya pastilah pimpinan laskar balatentara raksasa tersebut. Tidak salah, Togog memang sedang berhadapan dengan Prabu Bubaksangkala.

Raja raksasa yang buruk muka, kasar dan beringas itu bertanya kepada Togog. Ia menanyakan arah menuju negara Purwa Carita. Togog yang juga memang sudah tahu bahwa Srigati putra Wisnu telah mendirikan kerajaan Purwa Carita di bumi Medang memberi tahukan, tapi ia juga bertanya kepada Prabu Bubaksangkala yang menjadi tujuannya ingin menuju Purwa Carita dengan membawa laskar perang yang begitu banyak. Dengan jumawanya Bubaksangkala sesumbar bahwa ia akan melakukan begal pati, merampok dan menjarah seluruh kekayaan negeri Medang.

Togog menasehati agar Prabu Bubaksangkala mengurungkan niatnya memerangi negeri Medang, sebab negeri tersebut dipimpin oleh seorang raja yang menjadi keturunan dewata.

Prabu Bubaksangkala tidak peduli dengan nasehat Togog. Ia memaksa Togog untuk ikut bersama dengan rombongannya menjadi penunjuk jalan menuju arah negeri Medang. Mau tidak mau Togog menuruti perintah Bubaksangkala mengikuti rombongan mereka ke negeri Medang.

Iring-iringan pasukan Prabu Bubaksangkala segera menuju negeri Medang. Namun di tengah perjalanan, di dalam rimba belantara, barisan laskar raksasa itu terhenti. Di tengah jalan yang akan dilalui mereka terbujur sosok tinggi besar yang tengah tertidur menghalangi jalan. Sosoknya luar biasa sangat besar, melebihi besarnya tubuh Prabu Bubaksangkala sendiri.

Prabu Bubaksangkala menggeram marah, ia merasa perjalanannya telah dirintangi, maka ia segera memberi perintah kepada pasukannya untuk menyeret paksa menyingkirkan sosok raksasa tersebut. Togog kembali mencoba menghalangi niat Prabu Bubaksangkala, ia yang sudah tahu siapa yang sedang tertidur pulas itu menjelaskan kepada Bubaksangkala. Togog sendiri sebenarnya merasa terkejut. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Batara Kala di tengah rimba belantara yang akan dilaluinya bersama pasukan Bubaksangkala.

Togog sudah memberi peringatan bahaya jika mereka menggangu ketenangan tidur Batara Kala. Namun untuk kedua kalinya Bubaksangkala tidak menghiraukan nasehat Togog. Acungan pedang sebagai tanda serang telah dikumandangkan. Pasukan bala tentara raksasa segera mengepung, melompat siaga menyergap sasarannya. Togog cari selamat melarikan diri. Ia tidak ingin jati dirinya diketahui oleh Batara Kala. Ia sembunyi disemak belukar menyaksikan apa yang bakal terjadi.

Batara Kala tergugah dari tidurnya, ia menggembor marah karena tidurnya merasa terganggu. Perang tanding pun tidak terelakan. Pertempuran yang tidak seimbang. Bubaksangkala mengeroyok Batara Kala dari segala penjuru. Mereka menerkam bagaikan sekumpulan singa lapar yang siap mengoyak daging buruannya.

Yang dilawan bukan sembarang raksasa, tetapi putra sanghyang pramesti. Walau dikepung dari segala penjuru, Batara Kala mampu menandingi serangan Bubaksangkala dan seluruh pasukannya.

Dengan kesaktiannya, akhirnya Batara Kala dapat memenangkan pertempuran. Bubaksangkala bertekuk lutut dihadapan Batara Kala. Ia meratap memelas memohon ampun dan berjanji untuk mengabdi. Batara Kala mengampuni musuhnya.

Namun dengan sangat licik Bubaksangkala mempengaruhi Batara Kala untuk bergabung menyerang negeri Medang, dengan iming-iming Batara Kala akan dijadikan raja di negara tersebut. Tanpa berpikir panjang Batara Kala menyetujui gagasan Bubaksangkala, maka mereka pun lalu bersekutu melanjutkan perjalanan menyerbu Medang Kemulan.

Togog mengikuti arah langkah kaki mereka dari jauh.

Dalam perjalanan menuju Medang Kemulan, balatentara raksasa yang dipimpin oleh Batara Kala dikejutkan dengan penampakan sosok tubuh yang melayang-layang di udara, Sosok itu berkilauan tertimpa sinar matahari. Lamat-lamat sosok tersebut terlihat menyerupai sosok seorang wanita. Ya! seorang wanita yang sedang kebingungan, seperti sedang mencari-cari sesuatu.

Bubaksangkala kembali menghasut Batara Kala untuk segera mengejar sosok wanita tersebut. Ia membisikan kepada Batara Kala bahwa wanita yang sedang melayang-layang diudara itu tidak lain adalah seorang dewi dari kahyangan. Sangat pantas jika bersanding dengan Batara Kala nanti saat menjadi raja di Medang Kemulan.

Mendengar kata-kata Bubaksangkala, Batara Kala segera mengejar.

Sang dewi adalah dewi Srinadi putri Batara Wisnu yang keluar dari istana Untarasegara karena ingin sekali bertemu dengan kakaknya, Sri Mahapunggung di marcapada. Namun sang dewi merasa tersasar sehingga dia kebingungan kemana arah negeri Medang Kemulan.

Saat masih dalam kebingungan, dewi Srinadi terkejut melihat sosok raksasa tinggi besar tengah mengejar dirinya. Srinadi segera terbang secepat-cepatnya, menghindari si raksasa. Ia sangat ketakutan dengan kehadiran Batara Kala. Kejar-kejaran pun terjadi diangkasa raya.

Kini Bubaksangkala tidak peduli lagi dengan Batara Kala yang sedang mengejar-ngejar dewi Srinadi. Justru ia merasa bebas dari perbudakan Batara Kala, dan segera memimpin kembali pasukannya untuk menyerang Medang Kemulan.

Dewi Srinadi terus dikejar oleh Batara Kala. Tanpa disadari keduanya sudah berada dalam wilayah negeri Medang Kemulan. Dewi Srinadi segera menukik ke bumi mencari perlindungan. Dengan bersembunyi di daratan tentu lebih aman tidak mudah terlihat, pikir Srinadi. Secepat kilat Srinadi menukik dan lenyap diantara sekumpulan tanaman padi.

Batara Kala celingukan mencari buruannya, tetapi ia sangat yakin bahwa buruannya telah bersembunyi diantara tanaman padi, maka ia pun menukik ke bumi bersembunyi diantara tanaman padi. Batara Kala merubah wujudnya menjadi seekor belalang besar berwarna coklat yang hinggap di tanaman padi. Penyamaran tersebut dimaksudkan agar tidak dapat terlihat. Matanya terus mencari-cari persembunyian dewi Srinadi.

Bubaksangkala dan pasukannya sampai juga di Medang Kemulan. Dalam penyerangan Bubaksangkala ke negeri Medang menggunakan taktik membuat kerusuhan dengan jalan merubah diri mereka menjadi hama dan binatang2 perusak padi. Bubaksangkala dan pasukannya merubah wujud masing2, mereka berpencar merusaki tanaman padi agar para petani di Medang Kemulan mengalami gagal panen, hingga akhirnya nanti semua rakyat dan prajurit Medang Kemulan menjadi kelaparan, saat itulah musuh akan menjadi lemah dan mudah dikalahkan.

Batara Kala yang sedang merubah wujud dan mengintai buruannya jadi merasa heran, sebab banyak sekali hama sawah yang terbang berseliweran merusaki tanaman padi.

Rakyat Medang merasa resah dengan adanya ribuan hama sawah yang merusaki tanaman mereka. Khawatir akan gagal panen, maka mereka mengadu kepada Sri Mahapunggung.

Dihadapan Sri Mahapunggung mereka menceritakan peristiwa yang sedang dialami.

Semar menganjurkan agar Prabu Sri Mahapunggung membuka bathin meminta petunjuk, karena menurut Semar kejadian tersebut sepertinya bukan hal yang sewajarnya. Sri Mahapunggung menuruti anjuran Semar, ia lalu mengheningkan cipta. Dan beberapa saat kemudian munculah Batara Wisnu dihadapan Sri Mahapunggung. Kepada sang putra, Wisnu memberi tahu bahwa negeri Medang sedang diserang oleh sekelompok pasukan raksasa yang dipimpin oleh Bubaksangkala.

Setelah mendapat petunjuk dari ayahandanya, Prabu Sri Mahapunggung segera memerintahkan Mahapatih Sadana dan Senopati Puring Gading untuk menyiapkan pasukan yang akan dipimpinnya secara langsung.

Sebelum meninggalkan negeri Medang, Batara Wisnu terlebih dahulu mendatangi daerah pesawahan yang sedang dijajah bangsa hama. Ia mendatangi salah satu tanaman padi, lalu mengeluarkan kesaktian yang dapat menghembuskan angin kencang di sekitar tanaman tersebut. Seketika dari salah satu tanaman padi munculah Batara Kala.

Batara Kala yang sudah pernah bertemu dengan Wisnu dalam penyamaran dalang Kandhabuana merasa heran bisa bertemu lagi dengan Ki dalang. Sebelum rasa heran Batara Kala terjawab, Batara Wisnu memerintahkan Batara Kala untuk menghadap Sanghyang Jagatnata.

Batara Kala kembali menuruti perintah Ki dalang yang tidak lain adalah Batara Wisnu. Ia segera terbang ke udara menuju Suralaya. Dalam pertemuan itu kelak Sanghyang Jagatnata menjodohkan Batara Kala dengan Permoni.

Pasukan Medang Kemulan selain bersenjata lengkap mereka juga membawa berbagai macam peralatan untuk mengusir hama dan bintang perusak tanaman padi. Dipimpin langsung oleh Sri Mahapunggung, seluruh prajurit Medang terjun ke gelanggang pesawahan. Mereka mengibas-kibaskan tangkai aren dan peralatan pengusir hama lainnya.

Riuh hama berterbangan di udara. Jumlahnya yang sangat banyak mengotori pandangan mata.

Sri Mahapunggung segera mengeluarkan kesaktiannya. Hama-hama yang berterbangan, tikus2 sawah yang berlarian semuanya berubah wujud menjadi bala tentara raksasa.

Pertempuran terjadi antara pasukan Medang dengan pasukan raksasa yang dimpin oleh Bubaksangkala.

Hiruk pikuk suara pertempuran terdengar. Bergemelentrangannya suara adu senjata, jeritan-jeritan kesakitan dan pekikan-pekikan membunuh terdengar bersahutan. Sadana, Puring Gading, Bagong, Petruk dan Gareng tidak ketinggalan, mereka bahu membahu menerjang ke medan perang menghalau musuh. Sementara, Prabu Bubaksangkala berhadapan langsung dengan Prabu Sri Mahapunggung. Keduanya bertempur sangat sengit, sama-sama mengeluarkan kesaktian dan kedigjayaan. Dan pada akhirnya Bubaksangkala palastra diujung pusaka Sri Mahapunggung. Semua balatentaranya pun binasa. Medang Kemulan mendapat kemenangan. Seluruh rakyat Medang bersorak menyambut kemenangan.

Diakhir pertempuran munculah Togog dari rerimbunan semak menghampiri Semar. Badranaya terkejut melihat Togog, mereka lalu berpelukan melepaskan rindu karena telah lama tidak saling bertemu.

Semar menasehati Togog agar tetap sabar dalam menghadapi ujian, karena sepanjang apapun sebuah perjalanan, tetap saja akan menemui titik akhir.

Baca SelengkapnyaNagari Purwa Carita

Pandawa Dadu

Sasampunipun pendhawa saged medal saking bale Sigala-gala, wusana saget medal mbangun praja wonten ing tlatah Endraprastha utawi Amarta. Sedaya wiwit ikhtiyar nyusun kekiyayatan kanthi tumindak ingkang sae lan jujur.

Kosok wangsulipun para tokoh Kurawa ningali para satriya pandawa sami gumugah tuwuh sedaya bala kurawa sansaya sanget anggenipun dendam. Kurawa Ngastina nglajengaken niat jahatipun, ngangge siasat licik lan jahat. Prajurit kurawa sansaya sombong, jalaran rumaos nggadhahi kekiyatan ageng. Ningali pandhawa namung nggadhai kekiyatan tokoh/cacahipun 5.

Kurawa Ngastina wiwit ngacakaken siyasat licik: ndhatengaken pandawa dipuntantang main dhadhu.

 Kanthi tumindak licik lan licin, Arya sangkuni saget ngawonaken pandhawa. Padhawa dipunpeksa supados masrahaken negari, kraton, para pribadhi saha semahanipun minangka totohanipun(sebagai taruhan).

Pandhawa kawon, kedah nindhakaken Ukuman nyingkir dhateng wana, 13 taun laminipun.

Sasampunipun ndungkap, ukaman wekdal 13 taun, pendhawa kedah nyamar ngantosboten saged dipunngerosi wonten pundi panggenanipun.


Pranyata ndungkap wekdal ukuman 13 taun, pendhawa nyamar wonten negari wiratha, sami ngawula (menjadi hamba) dhateng prabu Matswapati/ Gurgandana. Ing pungkasaning taun 13, kawontenanipun Pandhawa boten sagetd dipun mangertosi dening kurawa ngastina klebet mata-matanipun.

Cathetan ingkang ndamel nggrantesing manah, ing salebetipun main dadu, Dewi drupadi dipun ruda paripeksa(penghinaan) ingkang sakalangkung jahat saking arya Dursasana. Ngantos rikmanipun Dewi Drupadi ngore(terurai).

Dewi drupadi sumpah ora bakal nyanggul rikmanipun sak derenge kramas kalian getihe Arya Dursasana.
Baca SelengkapnyaPandawa Dadu

Gugurnya Pandu dan Tremboko

Prabu Pandudewanata yang mempunyai istri Dewi Kunti dan Dewi Madrim, pada suatu ketika Dewi Madrim berkeinginan pesiar naik lembu Nandi kendaraan Sang Hyang Manikmaya.Prabu Pandudewanata karena cinta kasihnya kepada istrinya, lalu berangkat ke kahyangan untuk meminjam lembu Nandi kendaraan Sang Hyang Manikmaya.

Mengingat jasa-jasa Pandu, Batara Guru terpaksa mengabulkan permintaan Prabu Pandu, walaupun sesungguhnya kelakuan/tindakan Prabu tersebut menyimpang dari tata kesopanan seorang titah terhadap dewa. Batara Guru amat murka pada Pandudewanata yang secara lancang berani meminjam Lembu Nandi (Andini) demi menuruti permintaan istri yang sedang ngidam. Batara Guru yang dengan terpaksa menyerahkan Lembu Nandi kepada Prabu Pandu, tetapi kutukan, bahwa Pandu akan mati bila anakya lahir.


Ternyata Dewi Madrim melahirkan bayi kembar, Nakula dan Sadewa yang membuat seluruh keluarga istana bergembira dan negara Astina pun tenggelam dalam pesta. Dalam suasana yang menggembirakan itu, tiba-tiba datang utusan dari Pringgondani, Harimba dan Brajadenta mengundang Prabu Pandu ingin syukuran karena tapa bratanya selesai.

Rupanya kedua belah pihak saling salah paham, hingga terjadi peperangan yang kemudian membesar melibatkan antar negara. Dalam peperangan ini Prabu Pandudewanata dan Raja Pringgondani Prabu Arimbaka / Trembaka gugur dan keduanya muksa.

Dewi Madrim yang mengetahui suaminya telah tewas, ikut bela pati dengan jalan bunuh diri dengan meninggalkan bayi kembar yang selanjutnya diasuh oleh Dewi Kunti.

Baca SelengkapnyaGugurnya Pandu dan Tremboko

Berdirinya Negara Astina

Di istana negara Gilingwesi, Prabu Resapada sedang dihadap oleh Patih Gentayasa atau Gentawiyasa, beserta para punggawa sedang membahas adik Prabu Respada yang bernama Dewi Resweni yang dianggap sebagai perawan tua, meskipun banyak yang melamar tetapi belum mau berumah tangga. Selain itu, mereka membicarakan kedua anak Prabu Respada yang bernama Dewi Reswati, dan Dewi Resawulan yang sudah berangkat dewasa serta telah banyak yang melamar, tetapi kedua putri itu belum juga mau dikawinkan sehingga membuat sedih Prabu Respada. Belum selesai berbicara tiba-tiba ada tamu bernama Raden Kuswanalendra yang berniat meminta-minta kursi singgasana yang sedang diduduki Prabu Respada. Raden Kuswanalendra keluar dan Prabu Respada menyuruh Patih Genthayasa untuk mengusir Kuswanalendra karena meminta kursi yang di dudukinya di negara Gilingwesi. Patih Gethayasa keluar istana diikuti oleh para wadyabala.

Sesampai di Alun-alun, Patih Genthayasa menemui Kuswanalendra dan menghimbau agar segera meninggalkan negara Gilingwesi supaya tidak menimbulkan keributan.

Raden Kuswanalendra tidak bersedia pergi, bahkan berterus terang bahwa kedatangannya ini ingin menjadi raja di Negara Gilingwesi.

Mendengar jawaban Raden Kuswanalendra, Patih Genthayasa sangat marah, sehingga terjadi pertempuran antara Patih Genthayasa melawan Raden Kuswanalendra. Patih Genthayasa kewalahan meladeni kesaktian Raden Kuswanalendra, segera ia menyiapkan wadyabala. Raden Kuswanalendra dibantu oleh Raden Berjanggapati, semar dan bagong. Raden Berjanggapati melepaskan pusaka neraca bala, sehingga terjadi hujan anak panah di alun-alun Negara Gilingwesi menghujani dan menyerang para wadyabala Negara Gilingwesi. Akibatnya, banyak wadyabala yang tewas dan terluka.

Wadyabala Negara Gilingwesi mundur, namun terus diburu oleh Raden Kuswanalendra beserta Raden Berjanggapati sampai ke dalam istana.
 
 Di dalam istana Negara Gilingwesi, Prabu Respada mendapat laporan Patih Genthayasa, bahwa para wadyabala Negara Gilingwesi tidak mampu menghadapi Raden Kuswanalendra dan Raden Berjanggapati. Prabu Respada merasa kawatir, lalu beliau memerintahkan Patih Genthayasa untuk menyelamatkan dan mengungsikan dewi Reswani dan segera meninggalkan istana Negara Gilingwesi. Segeralah mereka melarikan diri dari pintu rahasia.

Setelah Patih Genthayasa dan dewi reswani meninggalkan istana, Raden Kuswanalendra datang beserta Raden Berjanggapati, Semar dan Bagong. Prabu Respada di tangkap Raden Kuswanalendra hendak dibunuhnya tetapi segera dicegah oleh Raden Berjanggapati Semar dan Bagong. Raden Kuswanalendra tetap pada pendiriannya, ingin menguasai kerajaan Negara Gilingwesi. Sebelum melaksanakan niatnya membunuh Prabu Respada, tiba-tiba datanglah dewi Resawati dan Resawulan, memohon kepada Raden Kuswanalendra agar sudi melepaskan Prabu Respada, mereka berdua sanggup menggantikan hukuman ayahnya. Melihat kecantikan kedua gadis tersebut, Raden Kuswanalendra mengurungkan niatnya untuk membunuh Prabu Respada. Sebagai gantinya dewi Resawati dan Resawulan akan dikawinkan dengan Raden Kuswanalendra dan Raden Berjanggapati. Kedua putri itu menyanggupinya. Akhirnya Prabu Respada diampuni, tetapi tidak berkuasa lagi di Negara Gilingwesi, Prabu Respada juga sanggup. Selanjutnya Raden Kuswanalendra menikah dengan dewi Resawati, dewi Resawulan menjadi istri Raden Berjanggapati. Raden Kuswanalendra menggantikan kedudukan Prabu Respada sebagai raja Negara Gilingwesi bergelar Prabu Kuswanalendra.

Melihat kajadian itu, Semar dan Bagong tidak berkenan dengan apa yang telah dilakukan oleh Raden Kuswanalendra karena telah meninggalkan watak satriya, maka Semar dan Bagong meninggalkan Negara Gilingwesi, mencari kerabat keturunan kasutapan.
Diceritakan, Patih Genthayasa yang mendapat perintah mengungsikan Dewi Resweni telah sampai di tengah hutan, mereka beristirahat karena kelelahan berlari. Setelah hilang rasa lelahnya Patih Genthayasa mendekati Dewi Resweni dan menyatakan cintanya kepada Dewi Resweni. Mendengar pernyataan Patih Genthayasa Dewi Resweni terkejut dan merasa risih jika berdekatan dengan Patih Genthayasa, maka Dewi Resweni melarikan diri menghindar dari Patih Genthayasa. Patih Genthayasa berusaha mengejarnya.

Dalam pelarian itu, Dewi Resweni memasuki wilayah Pertapaan Tejageni. Di Pertapaan Tejageni, Begawan Bahusena sedang mengasuh putranya yang bernama Raden Bahusancana atau Raden Mandrabahu. Diceritakan, setelah Begawan Sekutrem dan Begawan Sakri meninggal dengan keadaan hilang bersama raganya (Mekrat), Pertapaan Tejageni menjadi kosong. Oleh karena itu, Batara Narada menurunkan putra Prabu Harjuna Wijaya yang bernama Raden Bahusena.

Semasa hancurnya negara Mahespati, Bahusena masih kecil. Saat ini Bahusena diserahi tugas untuk membangun Pertapaan Tejageni dan bergelar Begawan Bahusena. Sebagai upah Bahusena dinikahkan dengan bidadari yang sangat cantik bernama Dewi Mandrawati putri Batara Sukra. Sudah menjadi kehendak Batara Agung, bahwa dewi Mandrawati meninggal dunia ketika malahirkan Raden Mandrabahu. Dengan perasaan sedih Begawan Bahusena berusaha membesarkan Raden Mandrabahu sendirian tanpa istrinya. Saat termenung memikirkan nasibnya, Begawan Bahusena di kejutkan oleh suara orang bersendau gurau. Begawan Bahusena sambil menggend Mandrabahu mendekati suara itu. Kiranya setelah meninggalkan negara Gilingwesi Semar dan Bagong tersesat sampai di Pertapaan Tejageni. Mereka berkenalan, Begawan Bahusena menyatakan, bahwa ia sebetulnya putra raja Mahespati, putra Prabu Harjuna Wijaya yang dilahirkan oleh dewi Srinadi. Mendengar keterangan Begawan Bahusena, Semar dan Bagong merangkul Begawan Bahusena sambil menangis. Setelah reda tangisnya, Semar bercerita, bahwa ia dulu bekas Abdi Prabu Harjuna Wijaya. Sebetulnya Prabu Harjuna Wijaya mempunyai dua putra yang dilahirkan oleh kedua istrinya.

Dewi Citrawati malahirkan Raden Kusumacitra yang sewaktu kerusuhan terjadi di selamatkan Semar dan Bagong, dan yang satu lagi Raden Bahusena yang dilahirkan oleh Dewi Srinadi, yang pada waktu terjadi kerusuhan masih bayi dan diberitakan hilang. Kiranya hilangnya Raden Bahusena pada waktu itu diambil oleh dewata. Begawan Bahusena membenarkan cerita Semar itu setelah jelas persoalanya. Semar dan Bagong bersedia mengikuti Begawan Bahusena bertempat tinggal di Pertapaan Tejageni. Semar dan Bagong membantu mengasuh Raden Mandrabahu.

Setelah beberapa hari di Pertapan Tejageni, Semar dan Bagong dipanggil Begawan Bahusena untuk diajak berunding. Berhubung Raden Mandrabahu sudah besar, maka Begawan Bahusena ingin menebang hutan dan membangun suatu negara yang nantinya akan diberikan kepada Raden Mandrabahu. Semar dan Bagong sangat setuju dengan rencana Begawan Bahusena itu, maka mereka segera mengadakan persiapan untuk mencari hutan mana yang hendak di tebang.

Belum sampai berangkat, tiba-tiba mereka mendengar suara jeritan minta tolong. Begawan Bahusena mencari suara itu, tampak dari kejauhan Dewi Resweni sedang berlari dikejar Patih Genthayasa.
Sesampai di hadapan Begawan Bahusena Dewi Resweni menangis minta pertolongan, dijelaskan bahwa ia dipaksa Patih Genthayasa hendak diperistri, maka bila Begawan Bahusena sanggup menolong, Dewi Resweni bersedia menjadi istri Begawan Bahusena.

Dewi Resweni lalu diajak masuk ke dalam pertapaan. Melihat Dewi Resweni ada yang menolong, Patih Genthayasa menjadi marah, sehingga terjadi pertempuran antara Begawan Bahusena melawan Patih Genthayasa. Patih Genthayasa kalah, lalu menyerah dan minta ampun kepada Begawan Bahusena. Begawan Bahusena memaafkan Patih Genthayasa dengan sarat Patih Genthayasa tidak boleh mengganggu Dewi Resweni, sebab Dewi Resweni akan menjadi istri Begawan Bahusena. Patih Genthayasa sanggup, lalu diampuni dan dipersilahkan tinggal di Pertapaan Tejageni. Patih Genthayasa diserahi menjaga keselamatan Dewi Resweni dan Raden Mandrabahu, sebab Begawan Bahusena akan menebang hutan.

Begawan Bahusena meneruskan niatnya menebang hutan dibantu Semar dan Bagong. Begawan Bahusena berjalan sampai di tempat yang banyak ditumbuhi tanaman ubi (uwi) semacam ubi jalar yang pohonya melilit ke atas dan ubinya di dalam tanah. Setelah dirasa cocok maka dimulailah pekerjaan mebabati tumbuhan uwi itu.

Diceritakan, saat tengah bekerja menebang hutan, Begawan Bahusena melihat dari kejauhan Dewi Resweni menggendong Raden Mandrabahu sambil menangis lalu mengadu bahwa ia diganggu Patih Genthayasa. Mendengar aduan istrinya, Begawan Bahusena bangkit amarahnya. Begawan Bahusena meninggalkan hutan menuju Pertapaan Tejageni. Patih Genthayasa yang melihat kedatangan Begawan Bahusena sambil marah itu menjadi sangat ketakutan, lalu menyembah meminta maaf. Begawan Bahusena merasa kasihan melihat Patih Genthayasa seperti itu, kemudian Dewi Resweni dipanggil dan diajak masuk ke dalam sanggar pamujan. Sesampai didalam sanggar, Begawan Bahusena bersemedi mohon petunjuk dewata lalu mengambil Daki Dewi Resweni seketika itu, munculah seorang putri menyerupai Dewi Resweni, putri tersebut diberi nama Dewi Reswati. Selanjutnya Dewi Reswati di ajak keluar untuk menemui Patih Genthayasa. Dewi Reswati diberikan kepada Patih Genthayasa sebagai istrinya, sehingga Patih Genthayasa sangat gembira. Begawan Bahusena memerintahkan Patih Genthayasa dan istrinya meninggalkan Pertapaan Tejageni, disuruh menebang hutan gambir, kelak jika sudah menjadi negara, seyogyanya dinamakan negara Gambir Anom.

Dengan senang hati Patih Genthayasa dan Reswati meninggalkan Pertapaan Tejageni. Setelah sampai di hutan gambir, hutan ditebang hingga akhirnya dijadikan sebuah negara, sesuai dengan pesan Begawan Bahusena, negara itu diberi nama negara Gambir Anom. Patih Genthayasa menjadi raja pertama bergelar Prabu Genthayasa.

Diceritakan setelah kepergian Patih Genthayasa dan istrinya, Begawan Bahusena meneruskan menebang hutan hingga selesai, serta mengubah menjadi sebuah negara yang dinamakan negara Wiratha. Raja pertama negara Wiratha adalah Raden Mandrabahu bergelar Prabu Anom Bahusancana.

Perkawinan Begawan Bahusena dengan Dewi Resweni juga membuahkan seorang putra yang bernama Raden Swandana.

Untuk menjaga jangan sampai kedua anaknya berebut negara, maka Begawan Bahusena menebang hutan lagi yang di tebang adalah hutan pohon ingas, setelah selesai di tebang, dibangun sebuah negara, dinamai negara Ngastina atau Hastina. Raja pertama di negara Ngastina adalah Raden Swandana bergelar Prabu Anom Sentanu Dewa.

Diceritakan, setelah berdirinya negara Wiratha dan Ngastina, kedua negara tersebut berkembang dengan pesat, rakyatnya semakin banyak karena tanahnya subur, banyak masyarakat di sekitar kedua negara itu berdagang ke negara Ngastina dan menetap di sana serta tak kembali lagi ke negaranya termasuk para kawula di Negara Gilingwesi. Banyak yang maninggalkan Negara Gilingwesi karena tidak senang dengan peraturan Raden Kuswanalendra yang sangat sombong. Melihat rakytnya banyak pindah ke negara Ngastina dan Wiratha, Prabu Kuswanalendra menyiapkan pasukannya untuk menyerang Wiratha. Sesampai di alun-alun Wiratha, Prabu Kuswanalendra dan pasukannya dihadang oleh Begawan Bahusena dan wadyabala negara Wiratha. Terjadilah perang yang sangat seru di alun-alun negara Wiratha, Begawan Bahusena dike-royok oleh Prabu Kuswa-nalendradan raden Berjanggapati, akan tetapi keduanya dapat ditangkap dan di ikat oleh Begawan Bahusena. Melihat raja nya ditawan Begawan Bahusena, wadyabala negara Gilingwesi melarikan diri ke negaranya.

Setelah Prabu Kuswanalendra dan Raden Bejanggapati ditawan mereka mengaku salah dan merasa bersalah kepada Begawan Bahusena, akhirnya mereka berdua meminta pengampunan kepada Begawan Bahusena. Begawan Bahusena merasa kasihan kepada mereka berdua, keduanya diampuni tetapi tidak diperbolehkan kembali ke Negara Gilingwesi. Prabu Kuswanalendra diperintahkan menebang hutan pohon Cangkring, yang banyak terdapat tawon gung. Prabu Kuswanalendra menebang pohon cangkring akibatnya banyak lebah (tawon) yang mati tertimpa pohon, disana ada raja tawon yang bernama raja Galenggung, melihat kawulanya banyak yang mati timbul amarahnya. Dia keluar dari sarangnya dan menyerang Prabu Kuswanalendra. Prabu Kuswanalendra mengambil panah sakti lalu dilepaskan mengenai raja Galenggung dan seketika itu mati. Prabu Kuswanalendra marah tempat raja Galenggung dihujani panah sehingga di sekitar tempat itu banjir madu. Begawan Bahusena membantu Prabu Kuswanalendra, tempat itu di sabda menjadi kerajaan di beri nama negara Madura (Mandura), Prabu Kuswanalendra menjadi raja pertama bergelar Prabu Kuswanalendra atau Prabu Basukiswara. Raden Berjanggapati diperintahkan menebang hutan yang dihuni oleh burung rako (semacam burung bangau), setelah menjadi rata disabda oleh Begawan Bahusena menjadi kerajaan, diberi nama negara Mandaraka. Raden Berjanggapati menjadi raja pertama ber-gelar Prabu Berjanggapati atau Prabu Indraspati.
Baca SelengkapnyaBerdirinya Negara Astina

Popular Posts

Contact

Nama

Email *

Pesan *