Tekad Durna Menegakkan Kembali Harga Diri

Kembali kepada padang Kurusetra bergejolak, atas kehendak Adipati Karna dalam menjalankan perang di waktu malam. Kita beralih ke tempat yang lain namun dalam waktu yang bersamaan, di hutan Minangsraya. Ditempat ini terlihat bentangan suasana alam nan luas. Suasana yang tergelar samar dan muram, seperti halnya cahaya kunang kunang. 

Tak berdaya sinarnya, kalah tertelan oleh cahaya bulan purnama di awang awang. Ketika itu pranata mangsa telah menunjuk pada musim kemarau dan awan tipis berarak di kaki langit, menjadikan terpesona yang melihatnya. Bahkan juga mahluk seisi hutanpun ikut terpana, batang pohon kayu besar-pun terbakar. Gambaran suasana yang ada di hutan Minangsraya ini, saat Pandita Durna yang terlunta lunta dan sakit hati, dijatuhi murka sang Duryudana. 

Duduk bersila dibawah pohon baniyan, resi Durna mengheningkan cipta. Semua pancaindriya dimatikan, hanya rasa jati yang dimunculkan. Terseret sukma sang begawan kedalam alam layap leyep, alam samar. Dan pesatlah laju suksma sang Pandita melesat keharibaan sang gurunadi, guru sejati, Ramaparasu. Kaget sang Ramaparasu melihat datangnya Kumbayana yang menampakkan wajah murung. Sembah bakti telah dihaturkan ke haribaan Ramaparasu atau Ramabargawa. 

Kemudian Kumbayana menyampaikan segala isi hatinya. “Guru, hamba telah kehilangan harta yang tak bernilai harganya. Bahkan seluruh raga ini telah terasa bagai terseret runtuhan gunung Mahameru. Luluh lantak sudah tak berujud lagi” “Apa sebab kamu merasa demikian, segala kesaktian, guna kawijayan kanuragan, kasantikan telah kau terima dariku waktu lalu, bagaikan telah tertuang habis mengalir kepadamu. 

Dan bila kamu merasa telah kehilangan harta yang tak ternilai seperti yang kau sebutkan tadi, segera jelaskan apa maksudnya.” Rama Bargawa menanyakan, namun dalam hatinya ia tidak syak lagi, bahwa didepan telah menjelang peristiwa besar yang menanti garis perjalanan Kumbayana muridnya. “Bapa Guru, hamba telah kehilangan kepercayaan dari junjungan hamba Prabu Duryudana dalam mengemban tugas sebagai seorang senapati. Inilah yang hamba anggap kehilangan yang terbesar dalam hidup. Kehilangan kepercayaan yang berturut turut terjadi, setelah putra kesayangan hamba satu satunya Aswatama, telah diusir jauh dari pandangan mata junjungannya. 

Dan kini kehilangan kepercayaan dari seorang raja mengenai kegagalan hamba dalam melakukan tugas, adalah, bagai runtuh dan leburnya harga diri. Sekali telah runtuh, banyak waktu dan usaha yang teramat sulit untuk mendirikannya kembali, malah mungkin tak kan pernah lagi terbangun kepercayaan itu lagi” sedih Kumbayana memuntahkan isi hatinya, mukanya tertunduk dalam, menanti jawab sang guru yang apapun ucapannya nanti, dalam niatnya ia akan menjalankan sepenuh hati. 

“Jadi apa maksudmu sekarang ? Apalagikah yang harus aku berikan untuk mengatasi masalahmu ?” sang guru sebenarnya berwatak keras sepanjang hidupnya, namun sekarang tersentuh hatinya menanyakan maksud Kumbayana. “Berilah hamba pencerahan. Krisis kepercayaan yang terjadi pada diri hamba sekarang, telah menutup nalar hamba terhadap segala pertimbangan dan keputusan yang harus hamba ambil. Sekali lagi mohon pencerahannya bapa guru.

” Memohon dengan seribu hormat Kumbayana kepada sang guru. “Sekarang kamu sedang menimbang perkara apa ?” Kembali Ramaparasu menegaskan pertanyaannya. “Haruskah hamba meneruskan peran yang sedang hamba pikul dipundak ini, apakah cukup disini riwayat Kumbayana, dan kemudian beban itu kami letakkan ? Kemudian hamba minta kerelaan paduka guru, agar hamba dapat menjadi abdi paduka guru selama lamanya !” Kumbayana mengakhiri kalimat itu dengan kesan mendalam bagi sang guru bahwa ia benar benar ada dalam keputus asaan yang berat.

 “Kumbayana, pantang bagi manusia sepertimu yang walaupun pada kenyataanya kamu adalah seorang pandita, namun dalam jiwamu masih bersemayam jiwa satria yang kuat. Seharusnya kamu tidaklah meletakkan beban yang disandangkan ke punggungmu, bila belum memperoleh kata perintah berhenti dari yang memberi beban. Apalagi menyerah kemudian memilih pergi ke alam kesejatian”. Sejenak Rama Parasu berhenti berbicara, ia mengamati perubahan air muka Kumbayana. 

Lanjutnya “Bila alam kesejatian yang hendak kau raih, jalan kearah itu janganlah dilalui melewati keputus asaan. Segeralah kembali ke medan Kurusetra. Tak perlulah kamu kembali kehadapan Duryudana, tapi segeralah kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Menang atau kalah itu adalah darma satria. Menang kamu harus meneruskan darmamu, dan bila kalah, jalan kesejatianlah itulah benar yang seharusnya kau lalui menuju tepet suci. Itu adalah seharusnya jalan utama bagi seorang kesatria yang harus dilalui ”

 “Baik, hamba akan menuruti segala sabda paduka Guru.” Mengangguk Kumbayana, mengerti yang dimaksudkan oleh gurunya. “Terimalah bekal sarana sakti dalam menuntaskan tugas itu. Bulu merak ini mampu membuatmu tak kan terlihat dengan mata telanjang. Syaratnya adalah kamu tidak boleh bicara ketika menggunakannya. 

Tetapi bila anak anakmu Pandawa kuasa untuk mengantarmu kealam abadi nanti, itu pertanda bahwa merekalah yang sebenarnya berlaku benar dan pantas memenangi perang, atau sebaliknya.” Kembali ke raga, sukma sang Kumbayana, setelah mendapatkan pembekalan dari sang gurunadi. Langkah ringan Pandita Durna diayun kembali ke Kurusetra. 

Ia telah menimbang nimbang tentang hal dihadapannya. Mukti dan mati sekarang terlihat bagai hanya tersekat oleh lembaran setipis kulit bawang. Ketidak percayaan akan kemampuannya sebagai senapati, akan ia balikkan menjadi keberhasilan bagi negara tempat ia mengayom, bagi dirinya sendiri dan terpenting bagi anak turunnya Aswatama. 

Itulah tekad yang menguat di hatinya. Apapun kejadiannya nanti, telah tidak menjadi beban lagi baginya. Malam tinggal sepotong. Malam yang ditempat lain, di padang Kurusetra baru saja terhenti persabungan nyawa, prajurit Pringgandani melawan prajurit dari negara Awangga dan segenap jajahannya. Malam dengan pemandangan dan peristiwa yang mengerikan. Namun ditempat ini, langkah Pandita Durna seakan diberkati alam semesta. 

Pemandangan alam yang dilalui menampakkan asrinya hamparan keindahan bagai sebuah tamasya. Bulan lepas purnama mengambang dilangit, sinarnya terbias oleh air telaga bening bagai bayangan seekor kura kura yang mengambang. Sementara sisa gelap malam masih mengelipkan bintang bintang yang menyebar bagai terpencarnya sari bunga tertiup angin. Ayam hutan berkokok merdu dari arah ladang pegagan, ketika sang Pendita telah sampai dipinggir hutan menjelang terang fajar.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Contact

Nama

Email *

Pesan *