Kijing Wahana

Lakon ini dikisahkan terjadi sesudah Baratayuda. Prabu Sudarsono dari Kerajan Yawastina menuduh permaisurinya berlaku serong. Permaisurinya itu, Dewi Sutiknawati namanya, dikembalikan kepada abangnya, Patih Sutikna. Sang Patih lalu minta berhenti dari jabatannya.

Setelah Patih Sutikna pulang, Patih Danurdara diperintahkan oleh Prabu Su-darsono, untuk membujuk Patih Sutikna agar kembali menjadi patih. Namun bujukan itu tak berhasil, bahkan mereka berperang tanding. Patih Danurdara kalah, dan kembali ke istana.

Tak lama kemudian, Prabu Sudarsono pergi menghadap Begawan Anoman untuk memohon buah mangga Pratangga Jiwa untuk istri mudanya, Dewi Honi.

Mangga sakti itu lalu diberikan kepada Dewi Hoyi, tetapi Hoyi tidak memakannya sampai habis. Baru separuh, mangga sakti itu dibuang.

Ki Lurah Semar memungut sisa mangga itu lalu diberikan pada Dewi Sutiknawati, dan dimakan habis. Beberapa bulan kemudian Dewi Hoyi melahirkan seorang putri, sedangkan Dewi Sutiknawati melahirkan berbentuk kijing, semacam kerang air tawar yang dapat dimakan.

Sementara itu datang serangan dari Kerajaan Trajutrisna, dipimpin oleh Prabu Sarwaka, cucu Boma Narakasura. Setelah para senapati Yawastina kalah, kijing anak Dewi Sutiknawati maju ke gelanggang perang dan mengalahkan semua musuh dari Tra-jutrisna.

Setelah itu, kelopak kijing itu membuka, dan dari dalamnya keluar seorang ksatria muda. Anak muda yang keluar dari kijing itu lalu diaku anak oleh Prabu Sudarsana, dan diberi nama Kijing Wahana.
Baca SelengkapnyaKijing Wahana

Bambang Sakri Rabi

Syahdan, raja di negara Trebelasuket, prabu Partawijaya, menerima sasmita dewa, pulihnya keadaan negaranya yang terserang bencana hanya bisa tercapai apabila Prabu Partawijaya berguru ke Gunung Saptaarga. Sang prabu juga menerima permintaan putrinya Dewi Sati, untuk menemukan arti mimpinya, ialah menemukan teja yang bercahaya.

Tak lain ialah Bambang Sakri, yang meninggalkan Saptaarga, karena diusir oleh ayahandanya sebab menolak perintahnya untuk dikimpoikan. Semula Bambang Sakri menolak permintaan Prabu Partawijaya untuk dijodohkan dengan putranya Dewi Sati. Setelah melalui peperangan, akhirnya menurutlah ia, dan pergilah mereka menuju ke Negara Trebelasuket. Bambang Sakri kemudian dijodohkan dengan Dewi Sati. Prabu Partawijaya berpesan kepada putra menantunya, hendaknya menjaga Negara Trabelasuket. Sang prabu sendiri akan pergi ke Saptaarga, dan pergilah Prabu Partawijaya.

Dalam perjalanannya ke Sabtaarga., sang prabu telah tersesat, sehingga bertemulah beliau dengan Resi Dupara, musuh Resi Manumayasa dari Saptaarga. Semula Prabu Partawijaya tidak akan berguru kepada Resi Dupara tetapi karena kepadanya telah dipertunjukan kemujijadan, diakuilah Resi Dupara, sebagai gurunya. Setelah dianggap cukup akan kesetiaan dan kepandaiannya, oleh Resi Dupara ditugaskan untuk membunuh Resi Manumayasa. Berangkatlah Prabu Partawijaya ke Saptaarga. Di pertapaan Saptaarga, Begawan Sekutrem ditugaskan oleh Resi Manumayasa untuk mencari Bambang Sakri. Berangkatlah Bambang Sekutrem.

Di tengah-tengah hutan beliau bertemu dengan Prabu Partawirya. Setelah berbincang-bincang tentang maksud dan tujuan masing-masing, Begawan Sekutrem menyarankan Prabu Partawijaya agar tidak memusuhi Resi Manumayasa, sebab beliau itu sangat arif dan bijaksana, lagi pula hatinya sangat suci. Terjadilah peperangan antara Prabu Partawijaya dan Resi Sekutrem.

Prabu Partawijaya tak kuasa menandingi Sekutrem, apalagi setelah prabu Partawijaya berkali-kali disabdakan oleh Sakutrem. Semula wajah berubah menjadi seorang raksasa, dan yang terakhir menjadi seekor babi hutan. Tatkala prabu Partawirya menyadari dirinya berubah menjadi binatang, menangislah prabu Partawirya, dengan menyebut-nyebut putera menantunya, Bambang Sakri. Terkejutlah resi Sekutrem, mendengar puteranya ditangisi oleh Prabu Partawirya. Setelah ditanyai, jelaslah bahwa prabu Partawirya adalah ayah mertua puteranya sendiri, Sakri.

Dengan kesepakatan, prabu Partawirya berjanji akan membawa Bambang Sakri ke Saptaarga, dan memohon dirilah prabu Partawirya untuk menyelesaikan urusan dengan gurunya, resi Dupara di Atasangin.

Resi Dupara menerima kedatangan prabu Partawirya keheran-heranan, karena bukan selesainya tugas yang dilaporkan melainkan umpatan, cacimaki dari parabu Partawirya kepada Resi Dupara. Peperangan tak dapat dihindari lagi. Setelah puas prabu Partawirya melampiaskan kemarahannya kepada resi Dupara dan semua pengikut-pngikutnya, terbanglah prabu Partawirya menuju pertapaan Saptaarga.

Di Pertapaan Saptaarga, Resi Manumayasa menerima kedatangan resi Sakutrem. Segala hal ihwal telah dilaporkannya, tak lama datanglah Bambang Sakri bersama istrinya, kemudian prabu Partawirya. Bersukacitalah seluruh isi pertapaan Saptaarga.
Baca SelengkapnyaBambang Sakri Rabi

Prabu Salya Terjebak

Prabu Salya, adalah saudara Dewi Madrim, ibu dari Nakula dan Sadewa. Ia mendengar berita bahwa Pandawa berkemah di Upaplawya dan sedang sibuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan perang yang akan datang. Prabu Salya lalu mempersiapkan balatentaranya dalam jumlah yang amat besar dan mengirim mereka ke tempat berkumpulnya pasukan perang Pandawa.

Berita keberangkatan Prabu Salya bersama balatentaranya sampai ke telinga Duryodhana. Ia memerintahkan sejumlah perwiranya untuk menyambut Prabu Salya dan memerintahkan pasukannya untuk membangun beratus-ratus tempat peristirahatan di sepanjang jalan yang akan dilalui balatentara Prabu Salya. Tempat peristirahatan itu dihias dengan sangat indah. Waktu beristirahat, balatentara Prabu Salya dijamu dengan aneka macam makanan dan minuman yang berlimpah dan dihibur dengan berbagai pertunjukkan kesenian yang memikat.
Seluruh balatentara Prabu Salya merasa senang dan puas menerima sambutan Duryodhana. Prabu Salya sendiri menemui salah seorang perwira tinggi pasukan Duryodhana dan berkata, “Aku ingin memberi hadiah kepadamu dan kepada mereka yang telah menyambut kami dengan ramah. Katakan kepada Duryodhana bahwa aku sangat berterima kasih kepadanya”.

Perwira itu lalu menyampaikan pesan Prabu Salya kepada Duryodhana. Mendengar hal itu, Duryodhana yang memang menunggu saat paling tepat untuk menemui Prabu Salya, segera menemui Raja tersebut. Dihadapan Prabu Salya, ia mengatakan betapa besarnya kehormatan yang diperolehnya karena Raja Salya merasa senang oleh sambutan pasukan Duryodhana. Tutur kata Duryodhana yang ramah benar-benar menyenangkan hati Prabu Salya yang sama sekali tidak punya prasangka apapun. Ia mengira semua itu merupakan ungkapan ketulusan Kurawa. “Alangkah hormat dan baik hatinya engkau kepada kami”, kata Prabu Salya yang terbuai oleh sambutan luar biasa dan keramahan pasukan Duryodhana. “Bagaimana aku bisa membalas budi baikmu ?” tanya Salya.
Duryodhana lalu menjawab, “Sebaiknya kau dan balatentaramu bertempur di pihak kami. Itulah yang kuharapkan sebagai balas budimu”.
Prabu Salya sangat kaget mendengarnya. Ia terdiam, terpaku. Maka sadarlah ia dengan siapa sebenarnya ia berhadapan.
Duryodhana melanjutkan, “Engkau sama berartinya bagi kami berdua. Kami adalah keponakanmu juga. Engkau harus penuhi permintaanku dan berikan bantuanmu kepadaku”.
Karena telah menerima pelayanan yang sangat baik dari anak buah Duryodhana selama beristirahat, dengan singkat Prabu Salya menjawab, “Kalau memang demikian keinginanmu, baiklah !”.
Duryodhana yang belum merasa yakin akan jawaban itu, mendesak Prabu Salya sekali lagi sebelum raja itu pergi.
Prabu Salya memandang Duryodhana dengan tajam sambil berkata, “Duryodhana, percayalah kepadaku. Aku berikan kehormatan ucapanku kepadamu. Tetapi aku harus menemui Yudhistira untuk menyampaikan keputusanku”.
Akhirnya Duryodhana berkata, “Pergilah menemui Yudhistira, tetapi kembalilah segera. Jangan ingkari janjimu”.
Salya hanya berkata, “Kembalilah ke istanamu dan peganglah kata-kataku. Aku tidak akan mengkhianatimu”.
Setelah berkata demikian, ia meneruskan perjalanannya menuju Upaplawya, tempat perkemahan Pandawa.

Pandawa menyambut paman mereka dengan gembira. Nakula dan Sadewa langsung menceritakan pengalaman pahit yang mereka alami selama hidup di pengasingan. Tetapi, ketika mereka mengharapkan bantuan Prabu Salya dalam peperangan yang akan datang, dengan sedih Raja itu berkata bahwa ia telah menjanjikan dukungannya kepada Duryodhana.

Yudhistira sangat terkejut dan menyesali dirinya sendiri karena sejak awal yakin bahwa Prabu Salya akan berpihak kepada Pandawa. Ia mencoba menutupi kekecewaannya dengan berkata, “Pamanku yang perkasa, engkau mempunyai kewajiban untuk memenuhi janjimu kepada Duryodhana. Kedudukanmu akan sama dengan Kresna dalam pertempuran nanti. Karna pasti akan mengharapkan Paman untuk menjadi sais keretanya waktu ia berhadapan dengan Arjuna. Apakah Paman akan menyebabkan kematian Arjuna atau Paman akan menghindarkannya dari maut ? Tentu saja aku tidak bisa memintamu untuk menjatuhkan pilihan. Aku hanya mengungkapkan isi hatiku dan keputusan terletak di tangan Paman”.

Prabu Salya menjawab, “Anak-anakku, aku telah dijebak oleh Duryodhana. Aku telah berjanji akan membela dia. Ini berarti aku harus berhadapan dengan kalian. Tetapi, seandainya Karna memintaku menjadi sais keretanya dalam pertarungan melawan Arjuna, ia pasti gentar menghadapinya. Arjuna pasti menang. Segala penghinaan yang kalian terima dan diderita oleh Drupadi akan berubah menjadi kenangan indah bagi kalian. Kelak kalian akan hidup bahagia. Ingatlah, tak seorangpun dapat menghindari atau menghapus suratan nasib. Aku telah berbuat salah. Sepantasnyalah aku memikul akibatnya”.
Baca SelengkapnyaPrabu Salya Terjebak

Penderitaan Bima-2

“Ayolah Ananda Bima, kita makan segera, semua orang juga sudah makan” Kata Arya Sakuni memulai percakapan setelah mereka duduk di kursi menghadap meja di bawah pohon di tepi sungai Gangga.

“Ya paman memang nikmat sekali makan di tempat seperti ini” Sahut Bima

Citraksa dan Citraksi segera mengambil tempat, dan mulai mengambil makanan seolah semua makanan disitu layak untuk di makan.

“Ah makanan ini nikmat sekali, cobalah kakang Bima” Kata Citraksi mengulurkan makanan yang dimakannya. Bima mengambil makanan itu dan mencobanya..

“Ah betul memang enak sekali Dinda ” Bima menimpali. Selanjutnya mereka makan dengan lahap. Namun ketiga orang itu makan dengan memilih makanan dari piring yang tidak diberi tanda. Sedangkan Bima telah mencoba semua makanan yang dihidangkan.

Sesaat dirasakannya ada rasa agak pahit dan aneh pada salah satu makanan yang sedang dikunyahnya. Namun untuk menghormati tuan rumah yang menyediakan makanan, dia menelannya semua. Arya Sakuni melirik kepada Kedua keponakannya, mereka saling memandang sesaat, namun segera berpura-pura melanjutkan makannya.

Beberapa saat kemudian Bima merasa pandangannya berkunang-kunang “Hoooy apa yang terjadi dengan kepalaku paman? kenapa aku tiba-tiba pusing? ”

Ada Apa Bima, kamu kenapa ? Arya Sakuni berpura-pura datang menolong. Namun kalimat itu tidak dijawab oleh Bima karena dia telah terkulai di kursi makannya. Arya Sakuni memberi tanda kepada Citraksa dan Citraksi untuk berjaga jaga di sekitar meja itu jangan sampai ada yang melihatnya. Memang letak meja makan mereka agak terpisah dari meja lainnya.

Suyudana yang dari kejauhan menatap meja dimana Bima makan telah melihat bahwa Bima telah pingsan. Maka dia segera meminta diri kepada Puntadewa, bahwa dia mau menemui seseorang sebentar. Puntadewa yang tidak pernah mencurigai seseorang mengangguk. “Silahkan saudaraku” Jawab Puntadewa.

Suyudana bergegas menuju ke tempat dimana Arya Sakuni, Citraksa dan Citraksi berkumpul di tepi sungai Gangga. Datang kemudian Dursasana dan segera dia berbisik-bisik sebentar kepada saudara-saudaranya mencari akar-akar pohon yang liat namun kuat.

Setelah terkumpul Suyudana segera mengikat tubuh Bima yang kekar tapi sedang lemas tak berdaya itu dengan akar-akar hingga melilit tubuhnya dari bahu hingga kaki.

Suyudana dan Dursasana berdua mengangkat tubuh Bima namun masih kurang kuat juga akhirnya Citraksa dan Citraksi ikut membantu mengangkat tubuh Bima yang berat itu. Setelah diayun-ayun mereka berempat melemparkan tubuh Bima hampir ketengah sungai Gangga yang sedang deras mengalir.

Bima yang sesaat tersadar dari pingsannya pada saat terbawa arus mengalir melihat sekelompok orang, Kurawa!, nampak Suyudana tersenyum menyeringai dan Dursasana yang tertawa-tawa. Kemudian didengarnya suara-suara arus deras sungai Gangga, sesaat kemudian kepalanya terasa terbentur sesuatu yang keras. Kemudian semua menjadi gelap lagi. … Ah Duhai Para Dewa lindungilah aku … Jiwa Bima berbisik……

Suyudana yang merasa rencananya telah berhasil, berjalan kembali ke Meja Puntadewa. Sesaat Puntadewa melihat raut muka puas pada Suyudana, namun dia tidak tahu apa sebabnya. Dari tadi tidak dilihatnya si Bima adiknya……

Dari jauh Suyudana melihat ayahnya sedang bercakap-cakap dengan para punggawa istana. Sedang para undangan lain juga sudah selesai dengan santapan mereka masing-masing. Nakula dan Sadewa sedang berjalan-jalan melihat sekitar Istana. Tidak lama setelah itu para undangan dan kerabat istana telah mulai meminta diri kepada Prabu Suyudana ayahnya.

Bagai disambar petir, Suyudana terkaget-kaget ketika ibunya Dewi Gendari bertanya: “Anakku Suyudana apakah kamu melihat Bima saudaramu?”
“Ah aku tadi melihatnya sedang makan dengan Paman Sakuni” jawab Suyudana
“Dari tadi ibunya menanyakan dan mencarinya, karena Pandawa dan Ibunya sudah mau berpamitan untuk kembali kerumah”.

“Cobalah tanya pada Paman Arya Sakuni ibu.” jawab Suyudana.

Sesaat kemudian Ibunya Dewi Gendari menemui Dewi Kunti Ibu Bima dan berbincang-bincang, kemudia mereka berjalan menuju tempat yang sama. “..Ah pasti mereka mencari Paman Arya Sakuni ” pikir Suyudana.

Ditengah jalan Dewi Kunti dan Dewi Gendari berpapasan dengan Puntadewa. ” Anakku Puntadewa, apakah kamu melihat adikmu Bima?” tanya Dewi Kunti

” Tidak Ibu, bahkan aku juga sedang mencarinya..” Jawab Puntadewa.

” Kalau begitu lanjutkanlah mencari, Ibu juga akan menanyakannya pada Paman Arya Sakuni ” Lanjut dewi Kunti

Dalam keadaan pesta yang baru usai, para undangan yang berpamitan, Dewi Kunti semakin gelisah.., Teringat lagi dia dengan penglihatannya yang melihat Citraksa yang memegang tempat wadah itu …. Apakah ada hubungannya ? Memang Pandawa dan Kurawa itu bersaudara, namun dia telah paham sifat-sifat anak Dastarata yang rata-rata tidak baik, pengiri, pendendam, usil dan jahat.

Sampai hampir sore Bima tidak diketemukan juga. Dewi Kunti mulai merasakan kebenaran perasaannya. Pasti telah terjadi sesuatu dengan Bima anaknya. Aku ibunya bisa merasakan apa saja yang terjadi dengan anak-anak ku. Desahnya dalam hati. Si Sakuni yang ditanya tadi hanya menjawab bahwa ia melihat Bima tertidur di bangku setelah kekenyangan makan. Selanjutnya dia tidak tahu apa-apa.

Puntadewa, Arjuna, Nakula dan Sadewa telah berkumpul dan akhirnya si Sulung Puntadewa menghibur Ibunya dan berkata
“Ibu, mungkin adik Bima telah mendahului kita pulang ke rumah, dia tadi berangkat tidak bersama-sama dengan kita, dia berlari sampai ke tempat ini, sedang kita semua naik kereta. Barangkali dia telah bosan dengan suasana pesta dan ingin pulang lebih dahulu.”

“Ya ibu, sebaiknya marilah kita pulang dan memastikan hal itu” sambung Arjuna.

Dewi Kunti hanya bisa mengangguk. Kemudian mereka segera meminta diri kepada Dastarata yang berjanji untuk membantu mencari Bima. Sambil menenangkan Dewi Kunti.

” Kakanda Mbakyu Kunti, dia kan sudah besar, pasti sudah bisa menjaga diri, dan dapat pulang ke rumah sendiri” Hibur Dastarata.

“….Ya semoga para Dewa melindunginya …” pikir Dewi Kunti dalam hati.

Selanjutnya mereka menaiki kereta yang akan membawa mereka pulang. Kereta itu berjalan pelan meninggalkan istana kerajaan Astina. Dari kejauhan nampak beberapa pasang mata yang mengawasi kepergian mereka dengan was-was dan puas.

Dalam keadaan terapung dan terseret serta pingsan, Bima terbawa oleh arus sungai sampai pada suatu daerah yang tidak berpenghuni, semakin-lama semakin sunyi. Hampir semalaman Bima Pingsan dan terseret-seret, terbentur bentur, pingsan, sadar, pingsan lagi,sadar lagi namun hari telah gelap, hujan juga turun dengan derasnya dan tubuhnya terikat kuat.

Lama-kelamaan gesekan-gesekan akar dengan batu-batu kali sungai gangga sedikit melepaskan ikatannya.

Pengkhianatan Di Balai Sagala-gala
Pandawa mengetahui bahwa Suyudana telah diangkat menjadi raja.
Pandawa tenang dan sabar.
Kurawa khawatir kalau Pandawa kelak akan menuntut haknya.
Suyudana dan para kurawa dan merencanakan untuk membinasakan Pandawa
Prabu kurupati duduk dipaseban dihadap oleh Patih Arya Sakuni, Dursasana, Durmagati, Kartamarma, Citraksa dan Citraksi. Mereka membuat rencana jahat dengan mengundang Pandawa ke pesanggrahan batas kota yang disebut Balai Sagala-gala.

Pandawa diundang hadir ke Balai Sagala-gala untuk membicarakan pembagian negara Astina. Pesanggrahan tersebut dibuat seluruhnya dari bambu yang didalamnya diisi dengan obat sandawa. Dengan rencana bahwa bila Pandawa dalam keadaan berpesta dan mabuk-mabukan akan pesanggrahan itu akan di bakar.

Pandawa, terutama Puntadewa yang tidak menaruh curiga menghadiri acara itu.
Dewi Kunti was-was sejak terjadinya peristiwa Bima yang diceburkan di Sungai Gangga, dia tidak percaya lagi pada Kurawa, oleh karenannya dia merasa perlu ikut.

Didalam Pesanggrahan itu berlangsung pesta besar-besaran. Ada yang bermain Kartu adan yang bermain dadu ada yang mabuk-mabukan.

Hanya Bima atau Bratasena yang tetap waspada. Semenjak peristiwa dirinya diracun, dia tidak pernah percaya lagi pada Kurawa terutama pada Suyudana.
Bima yang waspada berpura-pura buang air, untuk menyelidiki rencana jahat apa yang akan dilakukan Kurawa.

Ditempat sepi Bima didatangi oleh Batara Narada secara diam-diam yang menyatakan kalau nanti ada seekor binatang garangan putih, agar diikuti saja kemana perginya, agar keluarga pendawa selamat.

Pandawa ditantang main Dadu oleh Kurawa. Prabu Kurupati melawan Suyudana
Taruhan judi adalah kalau Kurupati kalah ia akan memberikan negeri Astina, sedangkan kalau Puntadewa kalah ia harus menyerahkan nyawa.
Dalam permainan itu Prabu Kurupati berkali-kali kalah.

Patih Sakuni yang tahu keaadaan Suyudana rajanya dalam keadaan terdesak secara curang memutar dadu, hal ini diketahui oleh Dewi Kunti.
Dewi Kunti marah, Sakuni dikatakannya Setan.
Patih Sakuni mundur, marah dan dendam sekali.
Patih Sakuni melihat bahwa para Pendawa hampir semuanya dalam keadaan mabuk.
Patih Sakuni segera memerintahkan para kurawa untuk segera membakar uceng-uceng. Pesanggrahan Balai Sagalagala terbakar.

Setelah api menjalar para Kurawa yang bertugas menyelamatkan Prabu Suyudana segera bertindak mengamankan Prabu ketempat yang telah dipersiapkan.

Melihat pesanggrahan terbakar hebat Bratasena segera masuk dan memeluk ibunya, kakaknya dan adiknya untuk menyelamatkan diri dari amukan api. Arjuna dan Puntadewa dalam keadaan mabuk dan pusing.

Pandawa diselamatkan dari Balai Sagala oleh Batara Narada. Tiba-tiba Bratasena melihat ada binatang garangan putih. Sesuai dengan pesan Hyang Narada, Bratasena mengajak ibu dan saudara-saudaranya untuk mengikuti kemana perginya binatang itu. Binatang itu ternyata memasuki lobang tanah. Bratasena membawa ibu dan saudara-saudaranya memasuki lobang tersebut. Mereka selamat.

Pesanggrahan itu setelah terbakar hebat, maka roboh. Prabu Suyudana pura-pura menangis dan mengira semua Pendawa dan Ibunya telah tumpas, termasuk bibinya Dewi Kunti.
Baca SelengkapnyaPenderitaan Bima-2

Penderitaan Bima-1

Suatu ketika para Kurawa mengadakan suatu acara selamatan di tepi sungai Gangga. Pihak Pendawa sebagai saudara diundang untuk hadir. Semua keluarga pedawa termasuk Dewi Kunti ibu pendawa datang juga.

Namun sebenarnya dibalik acara selamatan itu Suyudana telah mempunyai sebuah rencana yang jahat. Dia ingin membinasakan Bima. Hmmm bagaimana cara terbaik untuk mengalahkan si Bima itu. Kalau dengan adu kekuatan mungkin akan kalah.

Suyudana memanggil adiknya Dursasana, Citraksa dan Citraksi, serta adik-adiknya yang lain berkumpul. Saat itu Prabu Destarata sedang tidur. Dengan berbisik bisik Suyudana mengungkapkan rasa iri dihatinya. Tentang rencana ayah mereka yang akan memberikan tahta kerajaan kepada Puntadewa, tentang keinginannya menjadi raja, yang saat itu juga langsung di dukung oleh adik-adiknya.

Selain itu Suyudana memaparkan tentang peta kekuatan Pandawa dan Kurawa. Tentang kekuatan Bima yang tiada tandingnya. Akhirnya dia menanyakan kepada mereka adik-adiknya apa yang sebaiknya dilakukan.

“Ah Kakang, sebagaimana kakang ketahui bahwa ayah telah mengundang mereka untuk datang ke acara selamatan kita para Kurawa di tepi sungai Gangga” Dursasana mulai angkat bicara.

“Kita harus memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya untuk membinasakan Bima, kemudian adiknya Arjuna.” Sambung Citraksa

“Ah aku tahu kelemahan Bima adalah pada makanan, dia makan banyak sekali” Adiknya Citraksi menungkas.

“Apa yang engkau maksudkan Adikku Citraksi ?” tanya Suyudana penuh prhatian.

“Yang aku maksudkan adalah, Kita beri Bima makanan yang enak-enak”, tapi sebelumnya kita tambahkan racun agar dia pingsan”, Selanjutnya kita bisa tuntaskan rencana kita ” Jawab Citraksi.

“Hmmm usul yang bagus ” Sambung Suyudana, yang lain juga ikut mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian Suyudana berkata “Nah sekarang kita bagi tugas, aku sebenarnya ingin menyaksikan si Bratasena itu makan racun dihadapanku, tapi aku tidak akan pernah bisa mengajak makan si Bima itu satu Meja denganku karena sepertinya dia juga sudah merasa bahwa aku membencinya.”

“Ahh biar aku saja kakang” Dursasana menawarkan diri

“Atau kalau tidak biar Paman Arya Sakuni nanti aku mintai tolong, .. Aku yakin dia tidak pernah menolak apabila itu untuk kakang Suyudana” Ya… Ya… Ya…”

Semua yang hadir manggut-manggut.

“Citraksa dan Citraksi kamu berdua aku tugaskan untuk membuat racun dan mencampurnya pada makanan Bima”,

“Jangan sampai para ahli masak dan pegawai istana tahu akan perbuatanmu”

Kata Suyudana.

“Siap Kakang, akan kami laksanakan” Sahut Citraksi, sementara Citraksa mengangguk mengiyakan kalimat adiknya. Dalam benaknya dia telah merancang campuran bubuk dan getah pohon yang pernah dia coba pada kambing dan kambing itu langsung jatuh pingsan. Untuk Bima mungkin takarannya harus ditambah.

“Baiklah adik-adikku kita tunggu saja datangnya hari itu”

Tiba pada saat hari acara selamatan tiba, rombongan Pandawa telah hadir. Suyudana heran menyaksikan Bima yang berjalan kaki sementara saudaranya yang lain naik kereta bersama Ibu mereka Dewi Kunti. Ah sejauh itu dia kuat berjalan kaki, atau mungkin dia berlari? Memang kuat sekali Dia ini…
Tepat sebelum santapan pesta dihidangkan, Suyudana memberi tanda pada Citraksa dan Citraksi untuk mulai menjalankan rencana. Meja yang penuh dengan makanan yang disukai Bima telah disiapkan. Paman Arya Sakuni juga telah menyatakan kesanggupannya beberapa hari yang lalu. Suyudana memandang kearah pamannya itu, adik dari Ibunya Dewi Gendari. Pamannya mengedipkan mata tanda telah siap.

Suyudana segera menghampiri Puntadewa, mengajaknya berbicara dan berbasa-basi dengan orang yang akan menjadi sainganya dalam memperebutkan tahta kerajaan astina. Puntadewa yang berhati bersih menyambut saudaranya itu tanpa rasa curiga, hanya ia agak heran mengapa hari ini Suyudana mendadak menjadi ramah.

Ibu Dewi kunti berjalan berkeliling bersama Dewi Gendari.. sesaat dilihatnya Citraksa yang menggenggam sesuatu dalam sebuah wadah kecil… pikirannya menjadi tidak enak, hatinya resah.. ada sesuatu apakah yang akan terjadi ..Jiwanya yang peka semenjak masa mudanya dia gemar bertapa mengatakan ada sesuatu.

Namun karena ada Dewi Gendari disampinya Dewi Kunti menebar senyum kepada semua orang yang hadir.

Tadi dia telah menyempatkan diri untuk bertemu dengan Prabu Dastarata dan mengingatkan tentang Sabda Prabu Abyasa tentang pesannya kepada Dastarata bahwa kepemimpinannya di Astina adalah sementara, dan segera setelah Puntadewa menjadi dewasa Tahta harus diserahkan kepada Puntadewa.

Sebenarnya Dewi Kunti kurang puas karena Dastarata hanya bergumam dan manggut-manggut, yang kurang jelas artinya apakah itu iya atau tidak. Seorang pemimpin seyogyanya tidak boleh ragu-ragu dan setengah-setengah dalam bersikap.

Sesaat kemudian dilihatnya putera kesayangannya Arjuna sedang duduk makan bersama dengan Anaknya yang lain Adipati Karna yang dilahirkannya melalui lubang telinga. ” Ah mereka telah tumbuh menjadi remaja-remaja yang sehat, gagah, kuat dan berwatak satria ”

“Ibu marilah kita makan ” Panggil Karna dari kejauhan. ” Ya anakku sebentar lagi ”
Sahut Dewi Kunti sambil melanjutkan berbincang-bincang dengan Dewi Gendari.

Di tempat lain Arya Sakuni adik Dewi Gendari telah berhasil mengajak makan Bima satu meja bersama dengan Citraksa dan Citraksi. Citraksa telah memberi tanda pada piring-piring yang beracun dengan meletakkan sobekan daun pisang yang terlihat sama ukurannya. Di piring-piring yang lain tidak diberi tanda.

Bratasena melihat ke seluruh Meja.. wah makanan ini kelihatannya nikmat sekali..
Baca SelengkapnyaPenderitaan Bima-1

Suyudana Rabi

Konon prabu Jayapitana dari kerajaan Astina berkehendak akan mempersunting putri Mandraka Dewi Banowati. Datanglah di istana Astina utusan raja Mandraka, ialah raden Rukmarata, menyampaikan pesan raja, bahwasanya hajad perkimpoian prabu Kurupati, harus diwujudkan dengan persyaratan kelengkapannya ialah patah penganten berwujud lelaki yang rupawan, beserta patah wanita dua jumlahnya yang rupawan juga. Akan halnya permintaan raja Mandraka tersebut, prabu Jayapitana menyanggupinya, setelah raden Rukmarata bermohon diri, sang prabu segera memerintahkan kepada patih sakuni, untuk segera berangkat menuju pertapaan wukir Ratawu, menghadap resi Abiyasa , memohon diperkenankannya cucundanya bernama raden Janaka untuk dijadikan patah dari perkimpoian Prabu Jayapitana, demikian pula utusan diperintahkan untuk menghadap raja Mandura prabu Baladewa, memohon diperkenankannya prabu Jayapitana meminjam raden Narayana dan wara Subadra, untuk dijadikan juga kelengkapan iringan temanten, menjadi patah.

Prabu Jayapitana di dalam kraton, bertemu dengan adiknya yang bernama Dewi Dursilawati, kepadanya dijelaskan bahwa sang dewi akan dijadikan patah, berpasangan dengan wara Subadra, adapun Janaka berpasangan dengan Raden Narayana. Sang Dewi Dursilawati, tidak berkebertaan akan kehendak kakandanya prabu Jayapitana.

Tersebutlah raja raksasa bernama Garbaruci dari Sindunggarba, bermimpi mempersunting putri Mandraka. Kepada patihnya bernama Garbasangkalya dan emban raja bernama Pracima disampaikan maksud raja akan pergi sendiri ke praja Mandraka, mereka mencegahnya. Usul mereka diterima, bahwasanya raja akan mengirimkan utusan melamarnya terlebih dahulu, segera wadyabala raksasa dipanggil, dan diperintahkannya pergi ke praja Mandraka, menyampaikan surat pinangan raja, mereka segera berangkat bersama-sama. Di pertengahan jalan, bertemu dengan wadyabala dari Astina, sehingga terjadilah perselisihan pendapat, dan peperangan. Mereka berusha menghindarkan keterlibatan peperangan yang dalam, sehingga redalah peperangan antar mereka, lajulah masing-masing meneruskan perjalanannya.

Kedatangan patih Sakuni di pertapaan wukir Retawu, diterima dengan senang hati oleh resi Abiyasa. Kepada sang Begawan, patih Sakuni menguraikan maksudnya, yang tak lain diutus Prabu Jayapitana, meminjam raden Arjuna bagi kelengkapan persyaratan perlawinannya dengan putri Mandraka, akan dijadikan patah temamten. Sang Begawan merelakan , dan kepada Arjuna diperintahkan untuk mengikuti. Mundurlah patih Arya Sengkuni dari hadapan Resi Abiyasa, diikuti oleh raden Permadi dan Kyai Semar, Nalagareng dan Petruk menuju kerajaan Astina, patih Sengkuni menuju praja Mandura. Perjalanan raden Arjuna di tengah hutan bertemu dengan para wadyabala raksasaa dari Sindunggarba, terjadilah peperangan. Para yaksa dapat ditumpas olehnya, raden Arjuna melanjutkan perjalanannya.

Di kerajaan Mandura, prabu Baladewa menerima kedatangan patih Sangkuni, menyampaikan pesan raja Kurupati, bahwasanya sang raja berkehendak memohon pinjam raden Narayanaa dan Wara Subadra, kedua-duanya akan dijadikan pasangan patah, bagi raden Arjuna dan Dewi dursilawati. Prabu Baladewa meluluskan permintaan Patih Sengkuni, kepada patih Pragota diperintah memberitahukan ke Widarakandang bersama-samma patih Sengkuni.

Di Widarakandang kedatangan patih Pragota diterima oleh raden Narayana, akan halnya kehendak prabu Kurupati yang menghendakinya dijadikan patah bersama pula retna Subadra, dapat disetujui. Mundurlah patih Pragota, dan patih Sengkuni, raden Narayana mempersiapkan diri untuk berangkat.

Datanglah sudah raden Rukmarata di istana Mandraka, melapor pada prabu Salya, bahwasanya segala kehendak raja dapat dipenuhi, raden Arjuna menyanggupkan diri. Raja sangat berkenan di hati, hadir pula di istana prabu Baladewa, sri Yudistira, bupati Awangga. Segera raja memerintahkan pada narapraja untuk segera mempersiapkan segala sesuatunya.

Akan halnya raden Narayana, telah pula mempersiapkan diri untuk segera berangkat, kepada adiknya War Subadra, disarankan untuk berbusna secara gadis taani, setelah selesai berangkatlah mereka berssama-sama.

Di kerajaan Astina, kelihatan kesibukan yang luar biasa. Prabu Kurupati telah mengenakan busana penganten, demikian pula patah-patahnya. Raden Premadi dan Retn Dursilawati telah selesai berdandan. Agaknya keakraban raden Premadi dan retna Dursilawati sangat menjadikan irihati raden Jayadrata dikarenakan Jayadrata menaruh hati dengan Dursilawati.

Perjalanan raden Narayana, retna Subadra diiringkan juga dengan patih Udawa, sudah sampai alun-laun kerajaan Mandraka. Sesampai mereka di dekat pohon beringin di tengah alun-alun, datanglah bahaya mengancam Retna Subadra, yang tak lain dari raden Burisrawaa. Agaknya kecantikan Subadra mendorongnya untuk menggoda, sehingga manakalla raden Burisrawa mengganggunya, Narayana segera turun tangan mengamankan adiknya, Raden Burisrawa ditempelengnya, lari terbirit-birit. Patih Tuhayata membelanya, dilayani oleh Patih Udawa , sehingga terjadilah huru-hara di pergelaran Mandraka.

Di pasewakan, kelihatan raden Rukmarata melapor kepada raja Salya kejadian di alun-alun Mandraka, Prabu Baladewa yang hadir pada waktu itu sudah menduga, tak lain mesti aadiknya sendiri, ialah raden Narayana yang telah membikin huru-hara. Keluarlah Prabu Baladewa akan menyaksikan keadaan tersebut, dan benar juga ditemuinya adiknya kedua-duanya, beserta patih Udawa. Prabu Baladewa sangat menyayangkan tindakan adiknya, dimana tidak dapat membedakan antara watak pribadi yang keras dan suka berkelahi, dan keadaan baru berjamu di kerajaan mandraka, apapun dalih yang diajukan oleh raden Narayana.

Kepada adiknya berdua, segera dibawanya menghadap prabu salya. Kedatangan raden Narayana disambut dengan mesra oleh Prabu salya, keadaan istana menjadi suka-cita. Segala sesuatunya sudah diperintahkan siap oleh raja, upacara perkimpoian akan segera dimulai. Prabu Suyudana didampingi oleh patah lelaki Arjuna, berjajar bersanding dengan patah wanita cantik ialah retna Dursilawati, raden Arya Jayadrata ditugaskan membawa payung kebesaran temanten, sekaligus memayunginya.

Di dalam keraton, Prabu salya dengan didampingi para tamu , tampak prabu Baladewa, Yudistiram, dan para tamu-tamu lainnya bersiap-siap menyongsong kedatangan temanten laki-laki. Terdengarlah pengumuman, bahwasanya temanten laki-laki telah menginjak di halaman istana, segenap prayagung istana Mandraka menyongsongnya, prabu Baladewa menggandeng temanten laki-laki, dibawanya menuju tempat pelaminan di pendapa, dilanjutkan ke tempat upacara pertemuan temanten. Segera perkimpoian dimulai, dan bertemulah sudah prabu Suyudana dengan temanten putri, Dewi banowati. Menjelang sore hari , para tamu beristirahat di pesanggrahan masing-masing, demikian pula raden Arjuna dan raden Narayana , Retna Subadra tak jauh tempatnya dengan Dewi dursilawati. Agaknya raden Jayadrata tak dapat menerima keakraban antara Arjuna dan Dewi dursilawati, dalam hatinya timbul was-was jangan-jangan Dewi Dursilawati direbut oleh Arjuna nantinya, tak ayal lagi raden Jayadrata berkehendak akan memperdayakan aArjuna malam itu juga.

Malam itu Arjuna dan Narayana beserta Subadra sedang berbincang-bincang, Jayadrata mempergunakan kesempatan tersebut, Arjuna yang duduk di dekat pintu pesanggrahan dengan Subadra dan Narayana, diserang oleh Jayadrata. Raden Janaka yang tidak menyangka adanya serangan dari jayadrata tentu saja tercengang-cengang,sheingga menjatuhkan Aarjuna ke pangkuan Subadra. Bagi yang tidak mengetahui memang tersiar berita, bahwasanya Arjuna mati di pangkuan Wara Subadra. Bratasena menerima laporan bingung dan menanyakan hal itu kepada prabu Baladewa, dan dijawab bahwasanya Arjuna tidak mati, adapun penylesaiannya prabu Baladewa akan menanggungnya.

Di istana Mandraka, prabu Duryudana memohon pamit kepada ayah mertuanya, ialah prabu salya. Sekaligus permaisuri nya ialah Dewi Banowati akan diboyongnya pula. Selagi iring-iringan temanten dipersiapkan, datang patih Mandraka Tuhayata, melapaor pada raja bahwasanya kerajaan Mandraka diancam bahaya, musuh dari kerajaan Sindunggarba datang menyerang. Di istana tampak pada waktu itu, prabu Baladewa, Yudistira adipati Awangga Karna, kepada merekalah dibebani tugas untuk menanggulangi musuh dan mereka menyanggupkan diri.

Balatentara Ssindunggarba, yang dipimpin sendiri oleh rajanya bernama Garbaruci bertanding dengan Baladewa, patih Garbasagka tanding dengan adipati Awangga Karna, musuh dapat ditumpas nya. Arya Bima mengamuk sehingga wadyabalaaa Sindunggarba lari kocar-kacir. Kembalilah prabu Baladewa, Yudistira dipati Awangga dan Bratasena menghadap prabu Salya, raja sangat berkenan di hati. Seluruh istana merayakan kemenangan mereka bersuka-ria, amanlah sekarang kerajaan Mandraka tiada gangguan satu apapun juga.
Baca SelengkapnyaSuyudana Rabi

Batara Surya Krama

Lakon ini menceritakan yang Batara Surya yang bertempat tinggal di Kahyangan Ekacakra menerima dua bidadari kakak beradik sebagai istrinya yang bernama Dewi Ngruna dan Dewi Ngnini. Sementara putri Batara Wisnu yang bernama Dewi Kastapi dalam perkimpoiannya dengan burung Brihawan membuahkan dua telur. Kemudian atas perintah Batara Guru, dua telur itu diberikan kepada Dewi Ngruna dan Ngruni. Telur milik Dewi Ngruna setelah dierami oleh seekor ular, menetas menjadi dua ekor burung yang diberi nama Sempati dan yang muda diberi nama Jatayu. Sedangkan telur milik Dewi Ngruni menetas seekor ular besar yang diberi nama Naga Gombang, dan yang kecil diberi nama Sawer Wisa.

Anak-anak yang berupa burung dan ular itu ternyata sangat sulit untuk di awasi. Mereka semua I nakal. Kedua bidadari itu lalu mengadakan teka-teki, barangsiapa yang kalah akan menjaga anak-anak itu. Dewi Ngruni memberikan pertanyaan: Apakah yang terlihat di sana itu? Sapi jantan atau sapi betina?.
Ternyata Dewi Ngruni tidak dapat menebaknya, dan ia merasa malu karena kebodohannya. Ketika itu juga ular-ular datang dan membela ibunya dan segera menggigit kedua burung, dan sebaliknya burung-burung itu mematuk ular-ular sampai mati.

Karena marah oleh peristiwa itu, Dewi Ngruna mengutuk Ngruni. Katanya: Dinda Ngruni bertindak seperti raseksi (raksasa wanita), jika akan menolong anak-anaknya”.

Seketika itu juga Dewi Ngruni berubah ujudnya menjadi raseksi, dan setelah ia sadar apa yang terjadi ia segera lari menemui Batara Surya agar dapat mengatasi masalah yang dihadapinya itu. Atas saran suaminya, Dewi Ngruni diminta menemui Batara Wisnu yang merupakan kakeknya dari telur-telur tadi, agar dapat meruwatnya.

Setelah peristiwa itu Sempati yang disertai burung Jatayu pergi bertapa ke Gunung Windu, sedangkan ular-ular sangat terkejut melihat ibunya menjadi raseksi, mereka melarikan diri terjun ke samudera.

Sementara itu di kahyangan kehidupan para dewa tidak tentram karena menerima ancaman Prabu Sengkan Turunan dari Kerajaan Parangsari yang menginginkan Dewi Ngruna dan Ngruni untuk dijadikan permaisuri. Prabu Sengkan Turunan dengan balatentara raksasa menyerang Kahyangan Suralaya. Para dewa tidak dapat menandingi kesaktian para raksasa itu.

Batara Wisnu menyatakan kepada Dewi Ngruni bahwa ia akan meruwatnya sehingga kembali pada ujud semula tetapi Dewi Ngruni harus menculik putri Prabu Sengkan Turunan yang bernama Retna Jatawati.

Dibantu oleh garuda Jatayu, Dewi Ngruni akhirnya berhasil membawa Dewi Jatawati.

Sementara itu Jatayu juga berhasil menghancurkan para tentara raksasa. Prabu Sengkan Turunan sangat marah setelah mengetahui bahwa pasukannya hancur, segera menyerang Suralaya dengan membabi buta. Pertempuran seru terjadi dengan dahsyatnya tetapi kemudian akhirnya ia dapat dikalahkan oleh burung Jatayu.

Batara Wisnu sangat gembira atas kemenangan Jatayu itu. Sebagai pernyataan terima kasih, Batara Wisnu kemudian menganugerahkan Retna Jatawati sebagi istri Jetayu.

Sesuai dengan janjinya, Ngruni dirubah ujudnya menjadi bidadari yang cantik seperti semula dan tetap tinggal di Nguntarasegara. Setelah melihat istrinya menjadi bidadari. Batara Surya membujuk untuk kembali ke pangkuannya, tetapi Dewi Ngruni menolak. Baru setelah ada perintah dari Batara Guru, yang menjadi pemuka para dewa, akhirnya Ngruni bersedia menjadi istri Batara Surya kembali.
Baca SelengkapnyaBatara Surya Krama

Popular Posts

Contact

Nama

Email *

Pesan *