Kumbayana-2

Raden arya Gandamana, dihadap patih Trustaketu dan wadyabalanya menerima kedatangan ksatriya rupawan dari Atasangin, bernama Bambang Sucitra. Setelah diketahui bahwa kedatangannya tak lain akan memasuki sayembara prang, segera radem arya Gandamana memerintahkan kepada patih Trustaketu untuk mempersiapkan papan laga di alun-alun, di mana keduanya segera memasuki arena pertarungan. Raden arya Gandamana dan Bambang Sucutra bertarung dengan segala kekuatan, mengadu segala kesaktian, namun dengan gada sakti Bambang Sucitra, dan selanjutnya hendaknya dinobatkan menjadi raja menggantikan arya Gandamana, tak lupa segeralah dijodohkan dengan Dewi Gandawati. Jadilah sudah Bambang Sucitra menjadi raja di kerajaan Cempalareja, beristrikan Dewi Gandawati, adapun radem arya Gandamana lolos dari kerajaan pergi menurutkan kehendak hatinya, melanglang bumi.

Dalam perjalanannya, di tengah jalan bertemu dengan Bambang Kumbayana, dan setelah kedua-duanya menjelaskan nama beserta asal lagi pula maksud dan tujuannya, raden arya Gandamana bangkit kemarahannya kepada Bambang Kumbayana, dipukulnya dihajar habis-habisan Bambang Kumbayana . Kadua lengannya dibengkokan, Bambang Kumbayana mengaduh kesakitan, dan jatuh tak sadarkan diri. Bambang Kumbayana segera dilempar jauh-jauh oleh raden arya Gandamana, konon jatuh di bawah pohon Soka yang jumlahnya 5 buah. Hyang Narada dan hyang Bayu turun ke bumi, mendekati Bambang Kumbayana, dan dirinya segera ditetesi air Kamandanu, seketika bangkit dari ketidaksadarannya, akan tetapi sebagian anggota tubuhnya masih teta[ cacadm kaki hidung tangan dan lengan kesemuanya tak sempurna lagi. Bambang Kumbayana setelah menyadari bahwa para dewa mendatanginya, segera memohon kepadanya lebih baik dibunuh saja, daripada cacad diri. Akan tetapi hyang Narada dan hyang Bayu tak mengijinkan Bambang Kumbayana untuk bunuh diri, kepadanya disabdakan bahwa kelak kuasa dewa menjadikannya sebagai guru besar dari para ksatriya di seluruh bumi, lagi pula kepadanya diberi nama Durna, diperkenankan melestarikan tempat di mana dia jatuh sebagai pasramannya, dengan nama Sokalima, bergelarkan pandita, setelahnya para dewa kembali ke kahyangan. Seungkurnya para dewa, para Pandawa yang terdiri dari prabuanom Puntadewa, raden arya Bratasena, raden Pamade, Pinten dan Tangsen menghadap pandita Durna. Sang resi sangat suka hatinya, dan berkenan pula mengajarinya segala ilmu keprajuritan dan kesaktian.

Pada suatu hari, para Pandawa memaksa kepada gurunya sudilah kiranya mengambilkan cupu Madiwara yang berisi lisah Tala, yang konon milik Prabu Pandudewanata almarhum, yang masih merupakan orang tuanya sendiri, sang resi menurutinya untuk mengambilkan cupu Madiwara, mereka segera berangkat menuju sumur Jalatunda.

Dalam perjalanannya menuju sumur Jalatunda, bertemulah mereka dengan prabu Kurupati besrta para Korawa dan patih Sakuni, di mana para Korawa sesuai dengan pertunjuk ayahnya ialah prabu Destarastra, bahwa kelak kemudian hari cupu Madiwara dapat diangkat dari sumur Jalatunda oleh pandita asal dari Atasangin. Bak pucuk dicinta ualam tiba, prabu Kurupati dan adik-adiknya Korawa segera mengaku guru juga kepada pandita Durna, dan sang panditapun menerima mereka sebagai siswa-siswanya. Lajulah mereka menuju ke sumur Jalatunda, mengiringkan kepergian sang pandita Durna. Para Korawa dan Pandawa berdiri berjajar-jajar ditepian sumur Jalatunda, segera pandita Durna memuja mengeluarkan senjata saktinya, berwujud panah barawakan burung, namanya Sarutama. Resi Durna memerintahkan kepada Sarutama utnuk masuk ke dalam sumur mengambil cupu yang di dalam, segera burung Sarutama terbang meluncur ke dalam sumur masuk di air keluar paruhnya sudah memagut membawa serca cupu sakti Madiwara, diterima oleh resi Durna.

Korawa dan Pandawa keduduanya bersikeras untuk mendapatkan cupu Madiwara, resi Durna sangat repot putusannya, sehingga diperintahkan kepada mereka untuk bersabar terlebih dahulu. Pandawa mengusulkan seyoganya cupu diberikan kepada mereka , sebab para Korawa telah diberinya duluan Pandawa tak rela, mengajukan persyaratan sebaiknya sekarang mana lagi yang berat merekalah yang memilikinya Para Korawa diperintahkan oleh prabu Kurupati menyelesaikan timbangan raksasa, para Korawa menikmatinya daya upaya yang sedemikian itu, tentu saja Pandawa yang hanya berjumlah 5 orang akan kalah kalau di timbang dengan Korawa yang berjumlah 100 jumlahnya. Raden arya Bratasena yang mengetahui saudara-saudaranya susah dan menangis segera bangkit kemarahannya, dan timbangan yang telah dimuati oleh 100 orang Korawa, dan timbangannya yang diperuntukan Pandawa, segera dinaiki sendiri oleh raden arya Bratasena, entah dukarenakan apa kemungkinan raden arya Bratasena mengumpulkan segala kekuatannya timbangan yang telah memuat 100 orang Korawa, Akhirnya tak dapat mengimbangi berat badan raden Bratasena, malahan pada waktu raden arya Bratasena naik timbangan, Korawa kocar-kacir terpelanting jatuh semuanya.

Setelah kejadian tersebut. Para Korawa masih mendesakkan maksudnya hendaknya pandita Durna berkenan meluluskan permintaan Korawa memiliki cupu Madiwara, Durna menjawabnya, " Kalian anak-anakku. Korawa dan Pandawa, saya akan menyucikan diri, hendaknya kalian membuatkan sungai yang jernih airnya. Siapa yang terlebih dahulu selesai, kepadanya cupu Madiwara kuberikan," para Korawa serempak bekerja membuat sungai yang diharapkan nantinya akan segera mewadahi dan mengalirkan air guna susuci pandita Durna, malahan sungai hampir selesai dibuat oleh para Korawa. Para Pandawa, terutama prabu Yudistira, raden Pamade, Pinten dan Tangsen bertangisan, dalam hati mereka mana bisa 5 orang akan menandingi kecepatan 100 orang Korawa, tentu saja cupu Madiwara akan doperoleh orang-orang Korawa, Raden Arya Bratasena merasa dirinya dihina oelh para Korawa kepada saudara-saudaranya diseyogyakan berdiam diri jangan menangis,dia sendiri yang akan melebur para Korawa. Semar yang mengetahui kesusahan para Pandawa segera bersemadi, dipujanya seorang wanita yang sangat cantik, kepada wanita itu diperintahkan untuk berjalan kian kemari dihadapan raden arya Bratasena , seakan-akan meledeknya.

Malahan ditegaskan kepadanya, hendaknya bertingkah apa saja sehingga nantinya raden Bratasena dapat bangkit kebirahiannya. Sudah menjadi kehendak dewa, agaknya raden arya Bratasena memang terlena melihat tingkah laku wanita yang berjalan mondar-mandir dihadapannya dengan penuh membangkitkan selera napsunya. Tak disadarinya keluarlah air maninya,jatuh membasahi bumi tenggelam ke dalam , membentur sumber air yang di dalam bumi, air jernih segera tersembul mancur keluar bak banjir, terjadilah sudah bengawan yang airnya sangat jernih. Pandita Durna yang mengetahui bengawan buatan para Korawa meski sudah jadi tetapi belum mengeluarkan air, segera merendam diri menyucikan diri di bengawan buatan para Pandawa, sesudah selasai segera naik ke darat, selanjutnya bengawan tersebut dinamakan kali Sarayu. Agaknya sudah menjadi kehendak para dewa kalau Korawa selalu mengakali para Pandawa akan selalu menemui kegagalan. Kepada para Korawa dan Pandawa, begawan Durna meminta kesediaannya yang terakhir, barang siapa yang dapat mengalahkan membunuh raden Gandamana, dialah yang berhak akan cupu Madiwara. Korawa setelah menerima pernyataan tersebut segera berangkat mencari raden Gandamana, demikian pula para Pandawa mengikuti keberangkatan para Korawa.

Bertemulah sudah para Korawa dengan raden Gandamana yang sesungguhnya masih pamandanya sendiri. Kepada raden Gandamana prabu Kurupati menyampaikan maksud yang sebenarnya, demikian halnya raden Gandamana menanggapinya dengan marah, dan terjadilah peperangan, Korawa dapat dipukul mundur. Para Pandawa yang mengetahui para Korawa dapat dikalahkan oleh raden Gandamana, akhirnya mendekati raden Gandamana, dan dengan segala kerendahan hatinya mereka menyampaikan maksud kedatangan nya, tak lain diutus oleh begawan Durna untuk membunuhnya, sebab jika hal tersebut terlaksana kepada mereka akan diberikan cupu Madiwara yang berisi lisah tala, yang konon milik almarhum orang tua mereka sendiri saja Pandudewanata. Raden Gandamana dengan asyik mendengar uraian para Pandawa, dan iba hatinya kepada mereka.

Kepada arya Bratasena raden Gandamana menyarankan seyogyanya dia yang menandingi dalam adu kesaktian, jadilah sudah mereka bergelut disaksikan oelh begawan Durna. Berkatalah begawan Durna kepada arya Bratasena, " Wahai anakku Bratasena, lekas bunuhlah si Gandamana."

Arya Bratasena pura-pura membunuhnya, dengan jalan dilemparkannya jauh-jauh raden Gandamana, dan segera melapor bahwa dia telah membunuh raden Gandamana, begawan Durna senang hatinya mendengar laporan arya Bratasena.

Cupu Sarutama dihadiahkan kepada raden Pamade, kembalilah sabg begawan kepertapaan Sokalima, para Pandawa kembali pula ke tempat masing-masing. Korawa masih juga mengamuk, manakala mengetahui cupu Madiwara diberikan kepada raden arya Bratasena, namun dapat dikalahkan.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Contact

Nama

Email *

Pesan *