Tampilkan postingan dengan label Ringkasan Cerita Wayang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ringkasan Cerita Wayang. Tampilkan semua postingan

Palguna-Palgunadi

Lakon ini menceritakan tentang usaha Prabu Palguna alias Bambang Ekalaya untuk dapat berguru pada Begawan Drona. Karena Drona menampiknya sebagai murid, ia belajar sendiri. Ternyata keahliannya memanah bisa melebihi kemahiran Arjuna, sehingga Arjuna marah pada Drona.

Suatu hari ketika Ekalaya sedang berlatih memanah, seekor anjing berburu menggonggonginya. Karena dianggap mengganggu, diambilnya tujuh buah anak panah, dipasangnya pada busurnya, dan dengan sekali bidik, ketujuh anak panah itu melesat lalu menancap tepat ke moncong anjing itu.

Tidak lama kemudian, datanglah pemilik anjing itu. Ia ternyata Arjuna. Waktu itu Arjuna memang sedang berburu ditemani anjingnya. Ketika melihat anjingnya mati dengan tujuh buah anak panah menancap sekaligus di moncongnya, ia marah. Namun, selain marah Arjuna juga merasa keahliannya memanah kini tersaing oleh seseorang. Sebagai orang yang selama ini dikenal paling ahli memanah, Arjuna tidak sanggup membidik sasaran dengan sekaligus tujuh buah anak panah seperti yang dilakukan oleh pembunuh anjingnya. Karena itu dengan hati amat penasaran Arjuna mencari orang itu. Setelah berjumpa dengan orang, yang ternyata tampan, itu Arjuna mendapat keterangan bahwa si Pemanah bernama Ekalaya dari negeri Nisada. Ekalaya juga mengaku, keahliannya memanah didapat dari Begawan Drona, yang dianggap sebagai gurunya.

Hal ini membuat Arjuna kemudian menuduh, Begawan Drona telah menyalahi janjinya untuk memberikan seluruh ilmunya hanya pada Arjuna. Untuk meyakinkan Arjuna bahwa Ekalaya bukan muridnya, Drona lalu menipu putra raja Paranggelung itu. Ekalaya disuruh memotong ibu jarinya sendiri, sebagai tanda bakti seorang murid pada gurunya. Pada ibu jari tangan kanan Ekalaya sejak lahir terpasang cicin Mustika Ampal pemberian dewa. Karena Ekalaya memang ingin sekali berbakti pada Resi Drona, permintaan itu dipenuhi. Ibu jari tangan kanannya dipotong dan diserahkan pada Drona. Namun dengan demikian sejak itu Ekalaya tidak dapat lagi memanah dengan baik.

Secara kebetulan suatu saat Arjuna berjumpa dengan Dewi Anggraini, istri Prabu Palgunadi. Melihat kecantikannya, Arjuna jatuh cinta, tetapi wanita cantik itu ternyata tidak melayani rayuan Arjuna. Ketika Arjuna mengejar-ngejar Dewi Anggraini, perbuatannya dipergoki oleh Aswatama, putra Begawan Drona. Aswatama menegur Arjuna, tetapi ksatria tampan itu tidak peduli, dan mereka pun berkelahi.

Kesempatan itu digunakan Anggraini untuk lari pulang ke Kerajaan Paranggelung dan mengadukan perbuatan Arjuna terhadap dirinya. Namun, Palgunadi tidak percaya. Sepengetahuannya Arjuna adalah ksatria utama, tidak mungkin melakukan perbuatan nista seperti yang dilaporkan istrinya. Palgunadi bahkan menuduh Anggraini sengaja mengadu-adu dirinya agar bermusuhan dengan Arjuna, dan bilamana ia mati — akan ada alasan bagi Anggraini untuk bisa diperistri Arjuna. Prasangka buruk Palgunadi kepada Anggraini ini akhirnya lenyap setelah Aswatama datang dan membenarkan pengaduan istri Palgunadi itu.

Karena sudah jelas persoalannya, Palgunadi lalu mendatangi Arjuna dan menantangnya. Tantangan ini dilayani, walaupun sebenarnya hati kecil Arjuna merasa bersalah. Palgunadi alias Ekalaya akhirnya gugur dalam perang tanding itu, dan Dewi Anggraini bunuh diri sesudah mendengar berita kematian suaminya.

Sebelum gugur, Palgunadi sempat mengucapkan kutukan tertuju pada Drona, bahwa guru besar itu akan mati dalam Baratayuda.

Baca SelengkapnyaPalguna-Palgunadi

Narasoma

Syahdan putri Prabu Kuntiboja yang bernama Dewi Kunti mengadung tak berbapa, sang prabu Basuketi sanagt murung dan susah hatinya. Pada suatu hari berkatalah sang dewi kepada prabu Kuntiboja, Ayah, sebenarnya kami telah bertemu denagn seorang Begawan, Druwasa namanya, yang telah memberi aji wekasing tunggal kepada saya, tetapi karena larangan sang Begawan saya langgar, kejadian inilah yang menimpa diri saya. 

Dengan melalui aji dupa papanggil Begawan Druwasa didatangkan Dewi Kunti, berkatalah sang Begawan, Sang prabu, hamba bernama Druwasa dari padepokan Jagadwetan. Perihal kandungan Dewi Kunti janganlah sang prabu kawatir, akan hamba usahakan mengeluarkannya. 

Dengan batang bawang lanang, telinga sebelah kiri Dewi Kunti dimasukinya, dan keluarlah melalui lobang telinga sang dewi, seorang bayi laki-laki, diberi nama Raden Karna. Begawan Druwasa berpesan kepada sang prabu Kuntiboja, bahwa kelak Dewi Kunti akan menjadi wadah menurunkan raja-raja, tetapi kepada siapapun sang dewi kelak akan diperistrikan, ia tak akan dapat melahirkan anak lagi. Bayi yang bernama raden Karna dibawa oleh Begawan Druwasa, diletakkan di suatu tempat di atas sebuah batu, dengan diberi secarik kertas bertuliskan namanya raden Karna.

Prabu Radeya dari negara Petapralaya menemukan raden Karna, diserahkan kepada istrinya yang sangat merindukan anak, berbahagialah prabu Radeya beserta istrinya.

Syahdan, terlaksanalah impian Dewi Pujawati untuk bertemu dengan raden Narasoma. Atas jasa-jasa ayahandanya, Begawan Bagsaspati dari pertapaan Argabelah. Jadilah merekan suami istri dengan bergati nama Raden Narasoma menjadi Salya, Dewi Pujawati menjadi Setyawati. Berkatalah pada suatu saat raden Narasoma kepada Dewi Pujawati,

Duhai, dinda Pujawati, sampaikanlah kepada ayahanda Begawan Bagaspati, kanda mempunyai teka-teki, jika kanda melihat ke arah Timur terang tampaknya, tetapi sebaliknya gelap yang terlihat di sebelah Barat. Menghadaplah Dewi Pujawati. 

Oleh ayahandanya diperintahkanlah, hendaknya raden Narasoma dating, dan dimulailah jawaban teka-teki oleh bagawan Bagaspati, raden, apa yang raden kandung dalam hati, sebenarnya kami mengetahuinya, baiklah raden, hanya kami memohon kepada raden hendaknya berganti nama Salya, demikian pula Pujawati, kami beri nama Setyawati.

Begawan Bagaspati rela mati di tangan menantunya sendiri Narasoma, karena raden Narasoma malu mengaku sang Begawan sebagai menantunya. Sulitlah matinya bagawan Bagaspati oleh raden Narasoma, tetapi setelah melepas aji Candhabirawa, akhirnya matilah bagawan Bagaspati. Lalu tercetuslah kata-katanya, 

Wahai raden Narasoma, kelak pembalasanku akan terlaksana dalam perang Baratayuda. Raden Narasoma yang telah memiliki Dewi Pujawat, juga memiliki aji Candhabirawa, keduanya langsung menuju kerajaan ayahanda raden, di Mandraka. Dihadapan ayahandanya prabu Mandrapati, raden Narasoma menyatakan bahwa tak berayah dan berbunda, sehingga hal tersebut menimbulkan kemurkaan ayahandanya, sang prabu Mandrapati, katanya, 

Hai Narasoma, jika kau merasa diperanakkan, sudah selayaknya Pujawati tentu berayah dan berbunda, tetapi kau telah menipu aku, tak mempunyai rasa malu, enyahlah dari pandanganku. Pergilah raden Narasoma, atas Semar ke Mandura, untuk memasuki sayembara. Kata orang putrid raja yang bernama Dewi Kunti akan dikimpoikan. Adik raden Narasoma, yang bernama Dewi Madrim turut mengikuti kepergian kakandanya ke Mandura. Setibanya di Mandura, banyak sudah raja-raja yang juga memasuki sayembara, tak seorangpun berkenan di hati sang Dewi Kunti. 

Tibalah giliran raden Narasoma, sayembara akhirnya dimenangkan oleh raden Narasoma, selanjutnya sang prabu Kuntiboja berkenan mempertemukannya. Di tepi Begawan Silugangga, raden Narasoma yang tengah akan melakukan niat mandi sesuci diri, bertemu dengan Prabu Abiyasa beserta putra beliau raden Pandu, dan berkatalah raden Narasoma,

Sayembara pilih di negara Mandura telah selesai, sayalah pemenangnya, tetapi jika putra sang prabu bisa mengalahkan saya, relalah Dewi Kunti akan saya serahkan kepadanya, selanjutnya terjadilah peperangan. Prabu Abiyasa berakta kepada raden Pandu,

Jika kau berhadapan dengan raden Narasoma, janganlah kau lawan, berdirilah tegak dan tenanglah. Raden Narasoma memasang Aji Candhabirawa, kali ini aji tak dapat menguasai raden Pandu, akhirnya peperangan dimenangkan oleh raden Pandu. Kecuali Dewi Kunti, Dewi Madrim adik raden Narasoma juga diserahkan kepada raden Pandu. Sekembalinya dari memenangkan sayembara, dipertengahan jalan, raden Pandu bertemu dengan raden Hanggendara, yang berkata,

Hai, Pandu, jika kenyatannya kau memenagkan sayembara pilih dari negara Mandura, dengan ini Dewi Kunti kuminta, jika engkau menolak permintanku, akan kubunuh kau, terjaldilan peperangan. 

Dewi Hanggendari menangis tersedu-sedu memintakan ampun kepada raden Pandhu, hendaknya kakandanya raden Hanggendara jangan dibunuh, untuk itu relalah Dewi Hanggendari menyerahkan diri kepada raden Pandhu, arya Dhastharastra dipersilahkan memilih satu diantara tiga putri boyongan, pilihan jatuh pada Dewi Hanggendari, seraya berkata,Inilah yang kupilih, wanita yang kelak akan mempunyai banyak anak. 

Kepada raden Pandhu Dewi Madrim memohon, dapat diwujudkannya kerbau Handini, konon milik hyang bathara Guru, dan disanggupi.

Baca SelengkapnyaNarasoma

Batara Guru Krama

Dikisahkan, Seorang saudagar bernama Omar an (Umaran), yang tidak punya tempat tinggal tetap karena selalu berkeliling dari kerajaan yang satu ke kerajaan lainnya. Istrinya yang bernama Dewi Nurweni adalah anak raja Gandarwa (jin). Mereka mempunyai anak bernama Uma.

Saat Uma Jahir dari rahim ibunya, ia bukan berupa bayi biasa, melainkan perujud segumpal cahaya merah yang segera melesat ke angkasa. Cahaya itu melayang ke sana kemari. Sang Ayah segera mengejar dan mencoba menangkapnya, tetapi selalu gagal.

Karenanya Umaran hanya bisa mengikutinya tanpa berhasil menangkapnya.

Akhirnya cahaya itu hinggap di puncak Gunung Tengguru, suatu tempat yang dikuasai para gandarwa. Di tempat itu saudagar Umaran lalu bersamadi, mohon pada Yang Maha Kuasa agar anaknya yang berujud cahaya itu dapat diujudkan menjadi bayi biasa. Namun, karena waktu itu ia tidak tahu, apakah anaknya yang berujud cahaya itu seorang lelaki atau perempuan, Umaran hanya memohon pengubahan ujud menjadi manusia, tidak peduli apakah lelaki atau perempuan. Do’anya terkabul. Cahaya ajaib itu menjelma menjadi bayi, tetapi memiliki kelainan. Bayi itu berkelamin ganda. Setelah berujud bayi. Saudagar Umaran membawanya ke Kerajaan Merut dan diberi nama Umayi — yang artinya anak ibu. Meskipun prihatin dengan kelainan yang diderita anaknya, Umaran dan istrinya memelihara anaknya dengan penuh kasih sayang.

Umayi ternyata tumbuh menjadi seorang gadis yang amat cantik, walaupun ia tetap berkelamin ganda. Sejak gadis remaja. Dewi Umayi yang dalam DEWI UMA, istri Batara, lebih sering disebut Dewi Uma, gemar menuntut berbagai ilmu, gemar pula bertapa, sehingga akhirnya ia memiliki kesaktian yang sulit dicari tandingnya. Karena kesaktian yang dimiliki inilah maka Dewi Uma kemudian ingin menjadi penguasa dunia.

Berita dan cerita mengenai kesaktian dan kecantikan Dewi. Uma akhirnya terdengar oleh Batara Gum, penguasa kahyangan. Pemuka dewa itu mendatanginya, untuk menyaksikan sendiri gadis cantik yang telah didengar melalui berita orang itu. Namun, kedatangan Batara Guru telah diketahui sebelumnya oleh Uma.

Untuk menguji kesaktian Batara Guru, gadis itu mengubah ujudnya menjadi seekor ikan turbah dan terjun ke dasar samudra. Pada awalnya Batara Guru bingung karena tidak dapat segera menemukan gadis yang dicarinya. Namun setelah mengamalkan kesaktiannya, ia tahu bahwa Dewi Uma mempermainkan dirinya dengan mengubah ujud menjadi ikan di daiam samudra.

Batara Guru segera memburu ikan jelmaan Dewi Uma itu di lautan. Waktu nyaris tertangkap, ikan itu menjelma kembali menjadi gadis cantik yang melesat terbang ke angkasa. Batara Guru menyusulnya. Teijadi kejar-mengejar di angkasa. Namun, setiap kali hendak tertangkap. Dewi Uma selalu saja dapat meloloskan diri karena kulit tubuhnya yang halus itu amat licin bagaikan belut. Dengan begitu, usaha Batara Guru meringkus gadis cantik yang lincah dan sakti itu selalu gagal.

Karena kesal dan penasaran, Batara Gum lalu mohon pada kakeknya, Sang Hyang Wenang, agar ia diberi tambahan sepasang tangan supaya dapat menangkap Dewi Uma. Permohonannya terkabul. Seketika itu juga tumbuh dua tangan baru di bahu Batara Gum, sehingga sejak itu dewa itu bertangan empat. Setelah bertangan empat, barulah Dewi Uma dapat ditangkap.

Sebagai hukuman, karena merasa kesal Batara Guru mencabut semua kesaktian yang dimiliki Dewi Uma. Batara Guru lalu meruwat gadis itu sehingga alat kelamin prianya hilang, dan hanya tersisa alat kelamin wanitanya saja.

Sesudah menjadi wanita yang sempurna, Batara Guru kemudian memperistrinya.

Baca SelengkapnyaBatara Guru Krama

Bremana-Bremani

 Kisahnya mengenai perka winan putra Batara Brama, yakni Bramana dan Bramani dengan Dewi Sri Unon, putri Batara Wisnu.

Pada mulanya Dewi Srihunon diperistri oleh Bambang Bremani, salah seorang putra Batara Brama. Dari perkimpoian itu Dewi Srihunon melahirkan putra tunggal bernama Bambang Parikenan, nenek moyang Pandawa dan Kurawa.

Setelah melahirkan Bambang Parikenan, Dewi Srihunon dikembalikan pada Batara Wisnu (mungkin, dalam istilah masa kini diceraikan), dan kemudian diperistri oleh Bambang Bremana, abang Bremani.

Ketika Dewi Srihunon hendak diperistri Bremana, mulanya wanita itu menolak. Namun, setelah dibujuk oleh bekas suaminya, yaitu Bremani, akhirnya Dewi Srihunon bersedia menjadi istri Bremana.

Dari perkimpoiannya dengan Prabu Bramana beberapa tahun kemudian Dewi Sri Unon melahirkan seorang putri cantik, Dewi Bremanawati, yang kemudian diperistri oleh Prabu Banjaranjali, raja Alengka.

Baca SelengkapnyaBremana-Bremani

Danumaya

Prabu Setiwijaya dari Kerajaan Paranggumiwang mengutus Patih Mandanasraya untuk menculik Dewi Subadra. Saat itu, Arjuna memang sedang pergi meninggalkan Kasatrian Madukara.

Dengan cara menyamar sebagai Kresna, Patih Mandanasraya berhasil menculik Dewi Subadra. Dewi Srikandi gagal menghalangi penculikan ini, tetapi ia tetap mengejar sang Penculik. Di perjalanan Srikandi berjumpa dengan Bambang Madukusuma yang hendak mencari Arjuna, ayah kandungnya. Srikandi berjanji akan mempertemukan dengan Arjuna asal saja ksatria muda itu bisa merebut kembali Dewi Subadra.

Sementara itu di Kerajaan Jongparang, Prabu Danumaya mengatur rencana untuk membunuh Arjuna. Ia tahu, Arjuna yang pergi dari Madukara sebenarnya sedang menjadi raja di Kerajaan Tasikmadu. Bersama emban raseksi Ranjasa, Prabu Danumaya pergi ke Tasikmadu. Perang segara terjadi, Danumaya akhirnya tewas. Istri Arjuna yang bernama Dewi Gandawati berhasil dilarikan Emban Ranjasa. Un-tunglah Dewi Gandawati kemudian dapat dibebaskan oleh Bambang Madukusuma.

Sesudah Arjuna diberitahu Srikandi bahwa Dewi Subadra diculik raja Paranggumiwang, Arjuna menyusul ke negeri itu. Diam-diam ia berhasil me-nyusup ke istana dan membawa pulang Arjuna.

Sesudah tahu bahwa Dewi Subadra hilang dari istana, Prabu Setiwijaya memimpin bala tentaranya menyerbu Madukara. Namun serbuan ini dapat dipukul mundur, dan Prabu Setiwijaya akhirnya mati di tangan Bima.


Baca SelengkapnyaDanumaya

Bomantaka

Prabu Kresna raja Dwarawati, menerima kedatangannya prabu Baladewa raja Mandura, menghadap pula raden Setyaka dan raden Setyaki. Sri Kresna membicarakan, kehendak putra mahkota Dwarawati, raden arya Samba, untuk dijodohkan dengan Dewi Hagnyanawati. Datanglah utusan prabu Boma raja Trajutrisna, raksasa bernama Mahudara menghaturkan surat yang isinya prabu Boma sangat merindukan putra mahkota raden arya Samba, untuk memenuhinya putra mahkota diundangnya kekerajaan Trajutrisna. Sri Kresna mengijinkan, demikian raden arya Samba tidak berkeberatan, berangkatlah mereka bersam-sama menuju kerajaan Trajutrisna.

Akan halnya keberangkatan raden arya Samba, sri Kresna di kraton memberitakan pula kepada para permaisurinya, Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma.

Setelah keberangkatan Mahudara beserta raden arya Samba, di paseban luar Dwarawati, tampak prabu Baladewa memerintahkan kepada patih Pragota,Prabawa beserta segenap waduabalanya, untuk berjaga-jaga, mengadakan pengamatan keamanan batas kerajaan Dwarawati. Mereka segera berangkat, menunaikan tugasnya.

Konon, raksasa Mahudara yang menjadi utusan prabu Boma Trajutrisna,setelah sampai di tengah hutan, raden arya Samba tak luput dari naksud semulanya, dihajar, disakiti. Sangat
sedihlah raden arya Samba tak mengira bahwa kedaan dirinya akan menemui keruwetan.

Patih Udawa yang diberi tugas khusus oleh prabu Baladewa, telah menghadap raden Janaka di praja Madukara, disampaikan pesan prabu Baladewa, bahwa raden arya Samba diundang ke kerajaan Trajutrisna oleh prabu Boma, telah berangkat dengan dutanya raksasa bernama Mahudara. Raden Janaka merasa bahwa ada gelagat yang tidak baik, segera mnyusul kepergian raden arya Samba. Di tengah hutan, bertemulah raden Janaka dengan raksasa Nahudara, kepadanya dititipkan surat tantangan dari raden Janaka kepada Prabu Boma, akan halnya raden arya Samba diajklah kembali menghadap ke kerajaan Dwarawati.

Kedatangan raksasa Mahudara, datang melapor kepada prabu Bomanarakasura, bahwasanya tugas selesai, di tengah hutan raden Janaka memaksanya raden arya Samba, bahkan kepadanya dititipi surat tantangan dari raden Janaka,untuk dihaturkan kepada prabu Bomanarakasura. Seisi kerajaan Trajutrisna, tampak hadir para narapraja, patih Pancadnyana, raksasa Yayahgriwa, Ancakugra, dan Winisuda, mereka kesemuanya kelihatan meluap amarahnya, setelah mendengar isi surat tantangan raden Janaka. Prabu Boma meledak amarahnya, segera mengutus raksasa wadyabalanya, untuk pergi meminta bantuan ke kerajaan Astina, pula utusan dikirimkan lagi ke karajaan Awu-awu, raja Durbala diminta kesediaanya membantu Trajutrisna, menghadapi tantangan raden Janaka.

Di kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna dan Prabu Baladewa, menerima kedatangan raden Janaka, yang membawa serta raden samba, Sri Kresna setelah mendengar laporan raden
Janaka segera mengutus r ad en Arya Setyaki untuk memberikan kabar kepada raja Kumbina dan diharapkan kedatangannya di kerajaan Dwarawati., demikian pula raden Setyaka diutus ke kerajaan Amarta, untuk menyampaikan pesan sri Kresna, memohon kehadirannya prabu Puntadwa di Dwarawati . Berangkatlah mereka menunaikan tugasnya masing-masing.

Prabu Duryudana raja Astina, dihadap oleh pandita praja Dahyang Durna, path sakuni, dipati Karna, para Korawa raden arya Dursasana, raden arya Kartamarma, raden arya Citraksa, citraksi, menerima utusan dari kerajaan Trajutrisna, raksasa-raksasa bernama Yayahgriwa dan Ancakugra. Surat raja Bomanarakasura disampaikan, Prabu Duryudana telah memahaminya, bahwasanya bantuannya sangat diharapkan oleh raja Trajutrisna, dalam rencana menyerang kerajaan Dwarawati. Seundurnya utusan Trajutrisna, Prabu Duryudana segera memerintahkan kepada dipati Karna sebagai panglima perangnya beserta Kurawa, untuk membantu kepada kerajaan Trajutrisna, dan berangkatlah bala bantuan Astina.

Raden Arya Setyaki, berdatang sembah kepada raja Kumbina, prabu Bismaka, menyampaikan harapan sri Kresna untuk dimnta kehadiran di kerajaan Dwarawati. Berangkatlah prabu Bismaka beserta adiknya prabu Setiajid raja Lesanpura menuju kerajaan Dwarawati, diringkan oleh raden Arya Setyaki.

Konon, prabu Bomanarakasura telah mengerahkan wadyabalanya, beserta bala bantuan dari astina, dan kerajaan awu-awulangit, segera berangkatlah menuju kerajaan dwarawati.

Prabu kresna, telah berembug dengan Baladewa disamping tampak pula Bismaka, Prabu setyajid. Datanglah melapor wadya dwarawati, bahwasanya Trajutrisna telah datang menyerang, wadyabala kerajaan dwarawati menyongsongnya, mereka terlibat dalam kancah peperangan yang rame dan seru.

Agaknya Prabu Boma denagn naik kendaraan perangnya, bernama garuda Wilmuna, datang mengamuk dalam peperangan. Raden Gunadewa disambarnya mati demikian pula raden Samba dan raden Janaka. Prabu Kresna meluap amarahnya melihat kebuasan tindakan prabu Boma, segera dilepasinya denagn senjata sakti cakra, matilah Prabu Boma, akan tetapi memang sudah takdir dwa, selama Boma masih disangga bumi, hidup lagi. Segera prabu Kresna memerintahkan wadyabala untuk mempersiapkan penyangga, Boma dicakra lagi, sekarang matilah Boma tidak mencium bumi, sebab disangga oleh anjang-anjang. Raden werkudara mengamuk sisa wadyabala Trajutrisna dikalahkan semua
Baca SelengkapnyaBomantaka

Bogadenta Gugur

Bogadenta salah seorang raja taklukan Astina yang memihak keluarga Kurawa dalam Baratayuda. Ia adalah raja muda dari Kerajaan Pragnyatisa.

Sebagai salah seorang senapati Korawa, Bogadenta tampil di gelanggang Kurusetra dengan menunggang Gajah Murdaningkung diiringi srati (pawang) Murdaningrum, yang berwajah cantik dan bertubuh molek.

Setelah membunuh banyak prajurit Pandawa, Bogadenta berteriak-teriak menantang Arjuna. Karena panas hatinya Arjuna langsung melayani tantangan itu. Namun setiap kali Arjuna hendak melepaskan panah, srati Murdaningrum melempar senyum sehingga konsentrasi Arjuna terganggu. Kelengahan Arjuna memberi kesempatan bagi Bogadenta untuk melepaskan anak panah pusakanya, Wastrasewu. Untuk meng-hindari serangan itu, Arjuna terpaksa melompat jauh ke luar gelanggang perang.

Kini, sadarlah Arjuna bahwa Murdaningrum sengaja membuatnya lengah. Segera ia melepaskan anak panah pada srati cantik itu, tepat mengenai dadanya. Murdaningrum tewas seketika.

Gajah Murdaningkung, setelah mengetahui sratinya tewas segera menghampiri mayatnya dan menangis. Air matanya menetes ke tubuh wanita cantik itu, dan seketika itu Dewi Murdaningrum bangkit hidup kembali.

Arjuna lalu melepaskan anak panah ke arah Gajah Murdaningkung, dan matilah binatang itu. Namun ketika Bogadenta menangisinya, gajah itu hidup kembali. Begitu pula waktu Bogadenta mati, ia hidup kembali berkat air mata Murdaningrum. Begitu halnya silih berganti.

Arjuna bingung.

Atas nasihat Ki Lurah Semar, Arjuna lalu melepaskan anak panah Trisula yang bermata tiga. Maka, dengan anak panah sakti itu ketiga lawannya tewas seketika.

Baca SelengkapnyaBogadenta Gugur

Baladewa - Balarama

 Lakon ini menceritakan tentang usaha Pandawa untuk mengadakan pemilihan senapati dalam menghadapi Batarayuda. Di antara orang-orang yang akan menentukan senapati tersebut adalah Prabu Baladewa, Prabu Matswapati.

Tiba-tiba muncullah tiga orang yang semuanya mengaku sebagai Setyaki, yang secara bergantian menghadap Prabu Baladewa. Mereka semua mengaku Setyaki asli, dan semua minta dukungan kepada Baladewa supaya dapat dipilih menjadi senapatri Pandawa dalam perang Baratayuda. Maka dengan tanpa curiga Baladewa memberikan dukungan agar mepengaruhi Prabu Matswapati. Semuanya bertujuan agar dapat dipilih menjadi senapati.

Ahirnya, karena merasa bingung Prabu Baladewa akan mengkonsultasikan permasalahan ini kepada adiknya yakni Prabu Kresna. Namun betapa terkejutnya Baladewa karena begitu tiba di Dwarawati, ternyata di Dwarawati sudah ada Baladewa lain. Kedua Baladewa yang semuanya mengaku asli itu akhirnya berperang tanding.

Namun justru Prabu Baladewa yang asli dari Mandura kalah dan terpental jatuh di batu gilang. Baladewa kemudian ditolong Arjuna. Akhirnya berkat bantuan Semar semua misteri itu dapat terungkap bahwa sesungguhnya Baladewa yang ada di Dwarawati adalah penjelmaan Batara Kala, sedangkan ketiga Setyaki adalah anak-anak Batari Durga yang semua ini bertujuan ingin menjebak Prabu Kresna.

Sebagai titisan Wisnu, Prabu Kresna oleh Batari Durga dianggap sering berbuat tidak adil, karena terlalu berpihak pada Pandawa.

Baca SelengkapnyaBaladewa - Balarama

Srimahapunggung

 Raden Sadana, di Dukuh Medhangagung, dengan dihadap oleh pengasuhnya: kyai buyut Tuwa, kyai empu Cukat, dan kyai Wayungyang, sedang menerima kedatangan kakandanya, Dewi Sri. Berkatalah Dewi Sri, “ Duhai, dinda Srisadana, istana Medhangkamulan kutinggalkan, sebab ayahanda Srimahapunggung murka kepadaku, karena menolak kehendak beliau akan mengawinkan aku dengan dengan prabu Pulagra dari kerajaan Medhangkumuwung. Memang sudah menjadi tekadku, tidak akan melayani priya, jika sekiranya tidak sebanding dengan keadaan dinda sendiri”. Selanjutnya juga diberitahukan bahwa prajurit-prajurit dari Medhangkumuwung masih mengejarnya, untuk itu kepada Srisadana diperintahkan untuk bersiap-siap menghadapinya. Musuh yang mengejar Dewi Sri, sesampai di dukuh Medhangagung, dapat dikalahkan oleh Raden Sadana. Dewi Sri juga menyejui kehendak adiknya untuk bertempat tingal di hutan Medhangagung. Untuk itu Raden Sadana perlu pergi menemui buyut Sondang di dhukuh Medhanggowong. Pergilah Raden Srisadana diikuti oleh ketiga abdinya, kyai buyut Tuwa, kyai empu Cukat, dan kyai Wayungyang.

Sesampainya di dhukuh Medhanggowong, pesan Dewi Sri disampaikan kepada buyut Sondang. Ki buyut diharap datang di Medhangagung dengan membawa bekal benih palawija, bibit kelapa, lombok dan terong. Kepada buyut Sondhang, Raden Srisadana mengatakan akan melanjutkan perjalanannya menuju ke Medhangtamtu, ke tempat kyai buyut Wangkeng.

Setelah siap semuanya buyut Sondhang berangkat dengan isteri dan segenap buyut-buyut Medhanggowong, menuju ke Medhangagung. Dewi Sri menerima kedatangan Raden Sadana, yang melaporkan tugas untuk membebaskan ki Wangkeng telah diselesaikan. Buyut Wangkeng dan isterinya pun telah bersama-sama menghadap sang Dewi Sri. Juga buyut Sondhang, istrinya, dan lain-lainnya telah berada di Medhangagung. Para prajurit yang dikalahkan oleh raden Sadana kembali lagi di bawah pimpinan rajanya sendiri, ialah prabu Plagra. 

Buyut Wangkeng, buyut Sondhang, dan semua warga dhukuh Medhangagung berusaha mengalahkannya, perang terjadi sangat ramainya. Hyang Narada, memerintahkan kepada Hyang Bayu untuk membunuh Prabu Pulagra. Terbunuhlah raja Medhangkumuwung. Kepada Dewi Sri, Hyang Narada bersabda,” Hai, puteraku Dewi Sri, atas kehendak Hyang Girinata, jika kau menyetujuinya, maukah kau dikimpoikan dengan adikmu raden Sadana?, 

Oleh Dewi Sri saran Hyang Narada tersebut dengan rendah hati ditolak. Kembalilah para dewa ke kahyangan, bersukacitalah Dewi Sri.

Baca SelengkapnyaSrimahapunggung

Yudhistira Lambang Manusia Sabar dan Adil

 Orangnya pendiam tidak banyak bicara. Kalaupun berbicara tidak banyak direkayasa supaya menarik perhatian orang. Ia sabar, jujur dan adil serta pasrah dalam menghadapi cobaan hidup. Dialah yudhistira.

Karena jujur dan sabar harus disertai kesumerahan, maka ia mampu memenjarakan nafsu. kesabaran tanpa kesumerahan belum dapat dikatan sabar. Untuk melukiskan sejauh mana kesabaran dan kesumerahannya, dijelaskan dalam kisah sebagai berikut:

ketika itu Pandawa sedang berada di hutan Kamiaka. Merek sedang menjalani hukuman buang selama 13 tahun akibat tipudaya kaum Kurawa. Lapar dan dahaga serta bahaya yang setiap saat mengancam merupakan derita yang amat sangat. Tetapi berkat keteguhan dan ketabahan serta tak putus-putus berdoa kepada Hyang Maha Tunggal kesemua itu dapat diatasi.

"Hemm, sampai kapan derita ini akan berakhir, si Duryudana keparat itu semakin besar kepala," geram Bima, "Baru tujuh tahun Sena. Tinggal enam tahun lagi, sabarlah dik," Yudhistira menghibur. "Kalau saja aku diberi ijin kakang Yudhis, sekarang juga aku gedor si laknat itu," kata Bima penuh nafsu.

"Tulisan neraca Maha Agung tak dapat diubah lagi. Andaipun kita bertindak, tetapi tidak akan merubah nasib, dik. Malapetaka ini harus kita jadikan pelajaran untuk memperkuat jiwa dan pikiran agar siap menghadapi segala tantangan hidup," ujar Yudhistira. Sabar dan kesumerahan Yudhistira membuat adik-adiknya tunduk tak berani membantah.

Pada suatu hari terjadi musibah menimpa keluarga Pandawa. Arjuna, Nalu dan Sadeewa ditemukan ajal setelah minum air kolam di tengah hutan itu. Rupa-rupanya kolam itu ada penunggunya. Dengan perasaan sedih Yudhistira berkata: "Duh, dewta, siapa yang tega mencabut nyawa adik-adikku. habislah harapanku untuk merebut negeri Astina. Dinda Arjuna, kaulah andalan kami, tapi kini kau telah pergi untuk selama-lamanya. Apa dayaku," ratapnya.

Tak lama kemudian terdengar suara tanpa rupa: "Mereka mati karena minum air kolam. Peringatanku tak dihiraukan." "Oh, siapakah tuan?" tanya Yudhistira. "Aku penunggu kolam. Saudaramu tak menghiraukan peringatanku untuk tidak minum air itu," jawabnya.

"Hamba mohon maaf atas kelancangan adik-adik hamba. Jika memang kematiannya sudah kehendak Hyang Pinasti, hama relakan. Tetapi jika kematiannya belum waktunya, sudi kiranya tuan menolong menghidupkannya kembali," pintanya. "Aku bersedia menghidupkan salah seorang diantara mereka, asal kau bersedia menjawab beberapa pertanyaanku," kata suara itu.

"Hamba akan menurut kehendak tuan, Silahkan tuan bertanya barangkali hamba dapat menjawabnya," "Baik, dengarkan. Pertanyaan pertama: Siapa musuh yang paling gagah suka membunuh tapi sukar dilawan?"

Menurut hamba musuh yang paling gagah adalah hawa nafsu yang bersemayam di dalam diri sendiri. Ia suka membunuh apabila diperturutkan keinginannya. Ia sukar dilawan jika iman ikta lemah," jawab Yudhistira.

"Jawabanmu benar. Sekarang pertanyaan kedua: Yang bagaimana orang yang baik itu dan bagaimana orang yang buruk itu?"

"Menurut hamba orang yang baik adalah orang yang berbudi luhur mau menolong yang susah dan kasih sayang terhadap sesama. Sedangkan orang yang buruk adalah orang yang tak menaruh belas kasih dan tak berperikemanusiaan."

"Benar, sekarang apakah yang tinggi ilmu itu orang yang pandai membaca kitab atau ngaji, atau orang alim atau karena keturunan?"

"Menurut hamba orang yang berilmu tinggi bukan karena ia pintar ngaji. Sebab meskipun pintar ngaji, ilmunya tinggi tetapi kalau pikirannya takabur suka ingkar janji, dia bukan orang alim dan bukan pula orang baik," jawabnya.

"Jawabanmu semua benar. Sekarang pilih salah seorang mana yang harus aku hidupkan kembali," kata suara itu. Yudhistira tampak bingung siapa yang harus ia pilih. Menurut kata hati Arjunalah pilihannya. Selain satu ibu. dia merupakan andalan jika ada kerusuhan. Tapi pilihan itu segera hilang dari ingatannya, manakala pertimbangan rasa tertuju kepada si kembar yang sudah tidak beribu. Jikawa memilih Arjuna. selain akan sedih arwahnya, juga sangat tak adil. Maka akhirnya pilihan jatuh kepada Nakula yang segera ia sampaikan kepada si penunggu kolam. "Hamba memilih Nakula, tuan." "Mengapa engkau memilih Nakula. Bukankah Arjuna lebih penting untuk tenaga andalanmu, lagi pula seibu?" tanya suara itu.

"Bagi hamba bukan soal penting atau tidaknya, tetapi keadilannya. Dengan memilih Nakula, maka kedua ibu hamba akan sama-sama merasa senang. Dari ibu Kunti kehilangan Arjuna, sedangkan dari ibu Madrim kehilangan Sadewa. Bukankah pilihan itu cukup adil," jawab Yudhistira.

"Benar-benar engkau kekasih Yang Manon. Kau manusia berbudi luhur, sabar dan cinta keadilan. Tapi mengapa engkau lebih berat kepada adil dari pada kasih sayang?" tanyanya lagi.

"Sebab adil harus jauh dari sifat serakah. Jika hanya kasih atau sayang saja, maka ia akan menyalahkan yang benar membenarkan yang salah. Yang buruk seperti bagus, yang kotor seperti bersih, yang dilihat hanya bagusnya saja. Wataknya masih suka menghilangkan kebenaran mengaburkan penglihatan," Yudhistira menegaskan pendiriannya. Suara itu tak menjawab lagi, sebagai gantinya Batara Darma, dewa keadilan, telah berdiri di hadapan Yudhistira seraya bersabda: "Anakku, engkau benar benar mustikaning manusia. Sebagai imbalannya ketiga saudaramu akan kuhidupkan kembali," tukasnya, yang tak lain adalah suara yang tanpa rupa tadi.

Betapa gembirannya Yudhistira dapat berkumpul kembali dengan adik-adiknya. Kemudian mereka melanjutkan pengembaraannya menyusuri hutan-hutan belantara dengan tabah dan tawakal.

Baca SelengkapnyaYudhistira Lambang Manusia Sabar dan Adil

Prasetya Basukarna

 [Ketika mendekati Setyaki yang tengah duduk bersila di tempat kusir kereta Kyai Jaladara, Sri Kresna melihat Raja Awangga lewat. Maka ia segera mengejarnya sampai ke tepi bengawan Yamuna.]

"Adik Basukarna, saya yang datang, Dik."

"Wah, silakan Kakak Prabu, hamba menghaturkan selamat Paduka telah berhasil menyebabkan para Kurawa gemetar ketakutan, Kakak Prabu. Hamba menghaturkan takzim..."

"Wee lha, belum-belum diriku ini sudah disindir oleh Raja Ngawangga... hehehe... tidak, Adik hendak pergi ke mana?"

"Kakak Prabu, karena pengabdian hamba sudah tidak diperlukan, hamba akan mengheningkan cipta di tepi Bengawan Yamuna, Kakak Prabu. Seperti yang sudah-sudah. Hamba akan bersamadi di tempat dahulu Ibunda Rada mengangkat kotak mulia yang berisi jabang bayi bernama Suryatmaja, Kakak Prabu."

"O, begitu... ya sudah, silakan... Tapi boleh 'kan saya mengiringkan Adik Prabu, sambil berbicara mewakili adik-adikku para Pandawa?"

"Pembicaraan yang bagaimana lagi? Bukankah yang jelas adik-adik hamba para Pandawa nanti akan memperoleh kemuliaan kembali dalam bentuk negara Ngastina Separuh?"

"Ya, sekehendakmulah... mari saya temani naik kereta Kyai Jaladara ini...."

[Kedua orang besar itu pergi ke tepi sungai Yamuna, dikusiri oleh Harya Setyaki. Di tempat yang biasa, Prabu Basukarna segera duduk ditemani oleh Sri Kresna.]

"Mohon maaf, adik-adik hamba Pandawa ingin berbicara bagaimana, Kakak Prabu? Apakah ingin memberikan kehormatan kepada diri hamba dengan bersemayam di salah satu kasatriyan atau wilayah perdikan Ngastina Separuh nanti, Kakak Prabu?"

"Lho, 'kan nekat saja. Yang mau membelah dua Ngastina itu siapa?"

"Lha, tadi tentu Adik Kurupati gemetar ketakutan menyaksikan Raksasa Kesawa, lalu bersedia menandatangani Surat Pernyataan, begitu 'kan, Kakak Prabu?"

"Wee lha, Adik ini kebablasan menghujat orang tua. Tidak ada Surat Pernyataan, Dik.... Ternyata Perang Barata akan segera berkecamuk. Oleh karena itu kakak ini mendapat pesan titipan dari Adik Darmakusuma, apabila tugasku sebagai duta gagal, agar Adik bersedia hijrah ke Wirata. Bersatu dengan adik-adik dari ibu yang sama, Dik. Adik Aji tidak tega dan tidak bersedia berperang melawan saudara tua."

"Wah, hmmm... namanya sudah terlanjur, jadi seperti ini nasib Basukarna. Harus tega memutuskan persaudaraan secara lahiriah ... Duh, Kakak Prabu, izinkan hamba menyampaikan ... juga ini sebagai pesan bagi Adik Samiaji dan adik-adik hamba para Pandawa... Hamba tidak dapat memenuhi kehendak Adik Puntadewa, Kakak Prabu."

"Lho, apa sebabnya, Dik?"

"Kakak Prabu, bila saya bersatu dengan Pandawa, saya percaya Kurupati akan membatalkan Bharatayuda. Karena, terus terang, keberanian Kurupati itu justru saya yang mengobori ..."

"Lho, alasannya?"

"Hamba hanya ingin menepati janji hamba kepada yang dapat mengangkat saya ke dalam golongan kesatria. Oleh karena dulu hamba ini cuma dianggap 'anak kusir'. Memang, hamba tidak bisa menyalahkan siapa pun; mungkin ini adalah karma yang harus hamba sandang, Kakak Prabu."

"Oh, janji? Janji yang bagaimana, Dik?"

"Hamba ingin menepati janji dan membayar semua hutang budi hamba. Hamba bisa menjadi adipati di Ngawangga oleh karena diangkat sebagai saudara oleh Kurupati. Jadi hamba harus menjaga orang yang sudah memberi budi kepada hamba, Kakak Prabu. Juga hamba harus menepati darma ksatria untuk membasmi angkara murka ..."

"Weelah .... nanti dulu. Adik ingin membalas hutang budi itu memang benar, tapi prasetyamu untuk membasmi angkara murka yang menyatu dengan Kurawa itu penalarannya bagaimana, Dik?"

[Basukarna tersenyum ... merasa dipojokkan oleh Sri Kresna. Maka ucapnya ...]

"Kakak Prabu, Kurawa itu gudangnya angkara, hampir setiap orang tahu. Sampai hamba sendiri terseret-seret dianggap pelindung angkara; ya tidak dapat hamba pungkiri, karena kenyataannya hamba ini orang Kurawa, dan juga melindungi mereka...."

"Lha, mengapa begitu?"

"Terus terang saja, Kakak Prabu ... Hamba ini sudah tidak mampu mengalahkan angkara murkanya Kurawa. Tetapi hamba ini orang dalam. Yang dapat hamba lakukan tiada lain ialah mengharapkan pecahnya Baratayuda...."

"Wee lha, kalau begitu Adik tega terhadap adik-adikmu? Apa karena niatmu memang ingin perang tanding melawan Permadi?"

"Kakak Prabu, kalau perang tanding tadi mewujudkan sarana bagi janji hamba menepati ksatria hamba, di mana salahnya?"

"Apakah Adik tidak menyadari dan tahu bahwa Pandawa itu tidak berani cperang tanding melawan Adik?"

"Seribu maaf ... Derajat Basukarna itu apa dibandingkan Sang Mahatma Bisma.... Padahal apabila Baratayuda pecah, mau tidak mau Mahatma Bisma, Guru Drona, Kripa, juga akan berhadap-hadapan dengan para Pandawa, Kakak Prabu.... Apakah Kakak Prabu mengkhawatirkan bahwa Pandawa akan kalah perang melawan hamba?"

"Ah, siapa yang tidak tahu akan kesaktianmu, Dik.... Apa ada senjata yang mampu menembus tubuhmu?"

"Yah, berkat kewaskitaan Kakak Prabu dalam hal Aji Tirai Baja [kere waja] ini yang menyebabkan hamba mengharap-harap pecahnya Baratayuda.... Yah, oleh karena Kakak Prabu menjagoi Pandawa, hamba memastikan bahwa Baratayuda ini menjadi sarana bagi hamba mencapai swarga.... Melalui tangan Permadi itulah hamba dapat menemukan swarga, Kakak Prabu. Coba Paduka lihat, tubuh hamba ini memakai perlindungan apa?"

"Aaah ... Adikku, Adikku .... Basukarna...! Begitu luhur budimu terhadap adik-adikmu pribadi yang sayangnya tidak memahami dirimu.... Duh, Dik....sungguh berat karmamu .... Saya hanya turut memohonkan kasih sayang dewata agar terlaksana prasetyamu, Dik.... Kakak mohon pamit...."

[Berlinang air mata Sri Batara Kresta ketika melihat Basukarna sudah tidak mengenakan busana 'Tirai Baja'.]

Baca SelengkapnyaPrasetya Basukarna

Wisanggeni Lahir

Di kisahkan,Tersebutlah dewi dresnala dewi cantik yang dihadiahkan pada ahrjuna beserta keenam dewi lainya karena arjuna berhasil membunuh raja raksasa yang meminta dewi supraba sebagai istrinya. rupanya anak betari durga dewa srani menginginkan juga dewi cantik dresnala ini. tapi apa lacur?sang dewi beserta 7 dewi laninya telah mengandung bibit benih arjuna. dan kayaknya arjuna sayang juga terhadap sang dewi, arjuna sering menyambangi dewi cantik ini di kayangan.

tersebutlah sang dewa srani mengadu kepada ibunya betari durga, ibunya kemudian berkata, menghadaplah kepada betara guru aku akan mencoba untuk membantumu, maka berangkatlah dewa srani diiringi oleh sang ibu betari durga ke paseban agung tempat bhetara guru dan para dewa bertemu.

Di paseban agung ahdir dewa dewa dan terutama bhatara guru sebagai rajanya para dewa, lalu bhatara narada sebagai patihnya para dewa, dan bhetara penyarikan, bhetara indra, bhetara kamajaya dan bermacam macam dewa hadir dalam pertemuan agung itu. nah saat itu menghadaplah dewa srani, mengutarakan maksudnya untuk "mengawini" dewi dresnala, dengan didampingi betari durga yang juga ikut melobi kepada bhatara guru.

Seperti biasa bhetara guru termakan omongan betari durga dan dewa srani, maka betara guru mengeluarkan titah untuk mengusir arjuna dan kayangan (kebetulan arjuna sedang di kayanan mengunjungi dewi dresnala), menggugurkan semua kandungan bidadari yg brsal dari benih harjuna, dan mengawinkan dresnala dengan dewa srani.

Bhatara narada dan kamajaya berusaha mencegah, tapi malah diberi pidana dengan dilepas pangkat dan kedudukanya sebagai dewa, bhatara narada marah dan turun ke bumi bersama kamajaya. sementara itu pasukan dewa dibawah pimpinan betara penyarikan dan batara indra segera diutus untuk menjalankan perintah, menggugurkan semua kandungan bidadari, mengusir harjuna dari kayangan dan membawa paksa.

Terkisahkan pasukan dewa sampai di kediaman dewi dresnala, harjuna diusir dengan kasar dan kembali ke ngarcapada dengan sedih. dewi dresnala dipaksa untuk ikut ke kediaman dewa srani, sangking sedihnya dewi dresnala berteriak nyaring, lalu lahirlah jabang bayi dari perutnya bersamaan dengan teriakan itu.

Sementara di ngarcapada semar dilapori harjuna kejadian yang terjadi, apalagi pasukan baju barat dari sentra gandamayit kediaman dewi durga sempet menghambat langkah arjuna, untung bisa dimusnahkan. semar naik darah dan pergi ke khayangan untuk melihat apa yang terjadi.

bayi yg masih orok itu anak dresnala seharusnya dilihat dengan penuh kasih sayang, tapi tidak dengan pasukan dewa. mereka justru memukuli bayi merah itu. anehnya bukanya mati, justru bayi merah itu jadi bisa merangkak. bahatara indra dan bhatara penyarikan bingung, maka disiapkanlah pusaka. dihantamkanya ke bayi merangkak tadi. keajaiban kembali terjadi, bayi itu berubah jadi anak kecil yang bisa berjalan. kehilangan akal sehatnya bayi itu dimasukan kedalam kawah candradimuka.

Semar melihatnya dengan penuh gregetan, dia dah gak sabar pengen manampar dewa dewa tanpa rasa kasihan itu, lalu semar turun dan berdiri di samping kawah candradimuka. tiba tiba keluarlah anak muda dari dalam kawah dengan tubuh berwarna merah api. dia kemudian menghampiri semar dan bertanya siapa dirinya dan siapa ayah ibunya.

Semar memberi nama wisanggeni kepadanya. begitu diberi nama wisanggeni si pemuda ini menjadi sehat badanya, segar dan penuh dengan kekuatan. dia berterimakasih kepada semar. lalu olehs emar disuruh untuk bertanya kepada pasukan dewa siapa ayah ibunya. bagaimana kalo tak dijawab?kata si wisanggeni, gebuki aja kata semar.

Wisanggeni menghadang pasukan dewa, dan seperti disinyalir, pasukan dewa gak tau siapa ayah ibu anak ini, maka wisanggeni mengamuk dan dihajarlah pasukan dewa sampai kocar kacir, dan alri menghadap ke bhatara guru. wisanggeni mengikuti ke hadapan bhatara guru diiringi oleh semar dari jauh.

Batara guru marah, semar menyuruh wisanggeni berbuat sama pada bhatara guru, bertanya siapa ayah ibunya kalo gak dijawab gebuki. dan bhatara guru bertanding melawan wisanggeni, dan kalah. cis di tangan kanan kirinya tak mampu menembus kulit wisanggeni. bhatara guru melarikan diri ke dunia....

Wisanggeni mengikuti larinya bhatara guru ke dunia. di dunia bhatara guru menemui arjuna yang lagi bersedih bersama werkudoro. dia dibarengi oleh 2 orang petapa yang membimbing arjuna. bhatara guru datang dan meminta bantuan. bahwa ada anak setan yang mengacak acak khayangan. walo arjuna sedih akrena diperlakukan buruk oleh para dewa, dia siap maju. tapi werkudoro mencegah dan maju terlebih dahulu.

Wisanggeni melihat ada satria tinggi besar bertanya pada semar, siapa itu?dijawab ole semar, satria yodipati werkudoro. ketika akan dihajar oleh wisanggeni, semar melarang dan menyuruh wisanggeni menghantam kuku pancanaka werkudoro, akrena itu kelemahanya. dan benar, setelah tantang menantang terjadilah perkelahian antara wisanggeni dan werkudoro. werkudoro mundur ketika wisanggeni menghantam kukunya. sambil menahan sakit werkudoro menyuruh arjuna maju.

Melihat ada satria bagus maju bertanya wisanggeni siapa dia?maka dijawab oleh semar itu ayahmu, janganlah melawanya. dan wisanggeni pun berkelahi tanpa kekuatan, dia hampir dikeris oleh arjuna, tapi dihalangi semar. semar berkata lebih baik bunuh saya,karena dia itu anakmu, dan berangkulanlah dua orang ayah anak itu sambil menangis.

Bima ngamuk ngamuk setelah tau bhatara guru salah, dia berkata pantas saja aku kalah, la aku mbela orang yg salah. 2 pertapa berubah jadi kamajaya dan narada setelah gak kuat berhadapan dengan semar.bhatara guru minta maaf pada semar, bhatara narada dan juga arjuna wisanggeni. dan ebrjanji gak akan mengulangi.

Wisanggeni melabrak tempat kediaman dewa srani, dewa srani digebuki oleh wisnaggeni, dewi dresnala diajak pulang, sementara ibunya bhetari durga di hadapi semar, maka lunglailah sang betari, dia gak ebrani melawan semar.pasukan baju barat yg tadinya mengacau dibawa balik setelahs emar meaafkan si betari durga. ahirnya berkumpulah, dresnala, arjuna, wisanggeni.

Baca SelengkapnyaWisanggeni Lahir

Pertemuan Agung

Pandawa tidak lagi hidup dalam pengasingan dan persembunyian. Tigabelas tahun telah mereka lewatkan dengan penuh penderitaan. Tigabelas tahun yang memberi mereka banyak pengalaman berharga. Mereka meninggalkan ibu kota Negeri Matsya dan tinggal di suatu tempat yang bernama Upaplawya, yang masih terletak di wilayah Negeri Matsya. Dari sana mereka mengirim utusan untuk menemui sanak dan kerabat mereka.

Dari Dwaraka datang Balarama, Kresna, dan Subadra, istri Arjuna, serta Abimanyu, putra mereka. Mereka diiringkan oleh para ksatria keturunan bangsa Yadawa, antara lain Setyaki.

Selain itu, datang pula Raja Kasi dan Raja Saibya, dengan diiringkan oleh panglima masing-masing.

Begitu pula Drupada, Raja Pancala, ayah Drupadi. Ia datang dengan membawa tiga pasukan perang yang masing-masing dipimpin oleh Srikandi, Drestadyumna dan anak-anak Drupadi.

Banyak raja dan putra mahkota yang datang ke Upaplawya untuk menyatakan persahabatan dan simpati kepada Pandawa.

Dalam pertemuan maha besar itu, pernikahan Abimanyu dengan Dewi Uttari dilangsungkan. Upacara pernikahan dilangsungkan di balairung istana Raja Wirata. Kresna duduk di samping Yudhistira dan Wirata, sementara Balarama dan Setyaki duduk dekat Drupada.

Di samping upacara pernikahan Abimanyu dan Dewi Uttari, pertemuan agung itu juga merupakan pertemuan para Penasehat Agung untuk merundingkan penyelesaian yang bisa mendamaikan Pandawa dan Kurawa.

Setelah upacara pernikahan selesai, para Penasehat Agung bersidang di bawah pimpinan Kresna. Semua mata memandang dengan penuh khidmat ketika Kresna bangkit untuk memulai perundingan.

"Saudara-saudara semua pasti tahu", kata Kresna dengan suara lantang dan berwibawa. "Yudhistira telah ditipu dalam permainan dadu. Yudhistira kalah dan kerajaannya dirampas. Dia, saudara-saudaranya, dan Drupadi harus menjalani pembuangan di hutan belantara. Selama tigabelas tahun putra-putra Pandu dengan sabar memikul segala penderitaan demi memenuhi sumpah mereka. Dharmaputra tidak menginginkan sesuatu yang tidak patut dituntut. Ia tidak menginginkan apapun, kecuali kebaikan dan kedamaian. Ia tidak mendendam meskipun putra-putra Drestarastra telah menipunya dan membuatnya sengsara. Kita belum mengetahui apa keputusan Duryodhana. Kita berharap Duryodhana mau mengembalikan separo kerajaan kepada Yudhistira. Menurutku, kita harus mengirimkan utusan yang tegas dan jujur serta mampu mendorong Duryodhana untuk berkemauan baik demi selesainya masalah ini secara damai".

Setelah Kresna berbicara, Balarama berdiri dan menyampaikan pendapatnya. "Saudara-saudara, aku setuju dengan pendapat Kresna, karena itu baik bagi kedua pihak, baik Duryodhana maupun Dharmaputra. Jika putra-putra Kunti bisa memperoleh kembali kerajaan mereka secara damai, tak ada yang lebih baik bagi mereka dan bagi Kurawa. Yudhistira, yang mengetahui resiko bertaruh dalam permainan dadu telah mempertaruhkan kerajaannya. Meskipun tahu tak akan mungkin mengalahkan Sakuni yang ahli bermain dadu, Yudhistira terus bermain. Karena itu, sekarang ia tidak boleh menuntut. Ia hanya boleh meminta kembali apa yang menjadi haknya. Saudara-saudara, aku ingin kalian mengadakan pendekatan dan berdamai dengan Duryodhana. Dengan segenap kemampuan kita, kita hindari pertentangan dan adu senjata. Peperangan hanya menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyat. Utusan yang akan kita kirim, hendaknya jangan orang yang haus perang. Ia harus sanggup berdiri tegak, bagaimanapun sulitnya, untuk mencapai penyelesaian secara damai".

Setyaki tersinggung setelah mendengar pendapat Balarama. Ia bangkit berdiri dan berkata lantang, "Menurutku pendapatku, Balarama sama sekali tidak bicara sedikitpun tentang keadilan. Dengan kecerdikannya, seseorang bisa memenangkan suatu perkara. Tetapi kecerdikan tidak selalu bisa mengubah kejahatan menjadi kebajikan atau ketidakadilan menjadi keadilan. Aku hanya menegaskan bahwa Kurawa memang sengaja berbuat demikian dan telah merencanakan semuanya. Mereka tahu, Yudhistira tidak ahli bermain dadu. Karena terus dibujuk dan didesak, akhirnya Yudhistira tidak bisa menolak untuk menghadapi Sakuni, si penjudi licik. Akibatnya, ia menyeret saudara-saudaranya ke dalam kehancuran. Kenapa sekarang ia harus menundukkan kepala dan meminta-minta di hadapan Duryodhana ? Yudhistira bukan pengemis. Dia tidak perlu meminta-minta. Ia telah memenuhi janjinya. Duabelas tahun dalam pengasingan di hutan dan duabelas bulan dalam persembunyian. Tetapi, Duryodhana dan sekutu-sekutunya tanpa malu dan dengan hina tidak mau menerima kenyataan bahwa Pandawa berhasil menjalankan sumpah mereka".

Dengan berapi-api, Setyaki melanjutkan, "Akan aku tundukkan manusia-manusia angkuh itu dalam pertempuran. Mereka harus memilih, minta maaf kepada Yudhistira atau menemui kemusnahan. Jika tidak bisa dihindari, perang berdasarkan kebenaran tidaklah salah, begitu pula membunuh musuh yang jahat. Meminta-minta kepada musuh berarti mempermalukan diri sendiri. Duryodhana tidak akan membiarkan pembagian wilayah tanpa peperangan. Jika Duryodhana menginginkan perang, ia akan memperolehnya. Kita akan sungguh-sungguh mempersiapkan diri ".

Akhirnya Satyaki berhenti bicara karena napasnya tersengal-sengal akibat terlalu bersemangat.

Drupada senang mendengar kata-kata Setyaki yang tegas. Ia berdiri dan berkata, "Setyaki benar. Kata-kata lembut tidak akan membuat Duryodhana menyerah pada penyelesaian yang wajar. Mari kita lakukan persiapan. Kita susun kekuatan untuk menghadapi perang. Jangan buang-buang waktu. Segera kita kumpulkan sahabat-sahabat kita. Kirimkan segera berita kepada Salya, Drestaketu, Jayatsena dan Kekaya. Kita juga harus mengirim utusan yang tepat dan cakap kepada Drestarastra. Kita utus Brahmana, pendita istana Negeri Pancala yang terpercaya, pergi ke Hastinapura untuk menyampaikan maksud kita kepada Duryodhana. Dia juga harus menyampaikan pesan kita kepada Bhisma, Drestarastra, Kripa dan Drona".

Setelah semua selesai menyampaikan pendapatnya, Kresna alias Basudewa berkata, "Saudara-saudara, apa yang dikatakan Drupada sungguh tepat dan sesuai dengan aturan. Baladewa dan aku, punya ikatan kasih, persahabatan dan kekeluargaan yang sama terhadap Kurawa maupun Pandawa. Kami datang untuk menghadiri pernikahan Abimanyu dan sidang agung ini. Sekarang kami mohon diri untuk kembali ke negeri kami. Saudara-saudara adalah raja-raja yang besar dan terhormat. Drestarastra juga menghormati saudara-saudara sekalian. Drona dan Kripa adalah sahabat sepermainan Drupada di masa kanak-kanak. Pantaslah kita mengutus Brahmana yang kita percaya untuk menjadi utusan kita. Apabila utusan kita gagal dalam usahanya meyakinkan Duryodhana, kita harus siap menghadapi perang yang tak dapat dihindari ".

Sidang agung itu lalu ditutup. Kresna kembali ke Dwaraka bersama kerabat dan pengiringnya. Begitu pula Baladewa, kakaknya.

Sepeninggal mereka, Pandawa mulai mengirim utusan-utusan kepada sanak saudara dan sahabat-sahabat mereka. Mereka juga mempersiapkan pasukan perang dengan sebaik-baiknya.

Sekembali dari pertemuan agung itu, Raja Drupada memanggil pendita Negeri Pancala dan berkata kepadanya, "Engkau mengetahui jalan pikiran Duryodhana dan sikap Pandawa. Pergilah menghadap Duryodhana sebagai utusan Pandawa. Kurawa telah menipu Pandawa dengan sepengetahuan ayah mereka, Raja Drestarastra yang tidak mau mengindahkan nasehat Resi Widura. Tunjukkan kepada raja tua yang lemah itu, bahwa ia telah diseret anak-anaknya ke jalan yang salah. Engkau bisa bekerja sama dengan Resi Widura. Mungkin dalam tugasmu engkau akan berbeda pandangan dengan para tetua di sana, yaitu Bhisma, Drona dan Kripa. Begitu pula dengan para panglima perang mereka. Andaikata itu yang terjadi, maka dibutuhkan waktu lama untuk mempertemukan berbagai pendapat yang berbeda. Dengan demikian, Pandawa mendapat kesempatan baik untuk mempersiapkan diri. Sementara engkau berada di Hastinapura untuk merundingkan perdamaian, persiapan Kurawa akan tertunda. Syukur kalau Pendita bisa kembali dengan penyelesaian yang memuaskan kedua pihak. Tetapi menurutku, Duryodhana tidak dapat diharapkan akan mau menyetujui penyelesaian seperti itu. Namun demikian, mengirim utusan merupakan suatu keharusan".

Demikianlah, Raja Drupada mengirim Brahmana kepercayaannya ke Hastinapura untuk menjadi utusan yang mewakili Pandawa dalam mencari penyelesaian secara damai dengan Kurawa.

Baca SelengkapnyaPertemuan Agung

Rajamala

 Dikisahkan , Diam-diam Permadi telah sampai di Kerajaan Wirata dan menyaksikan pertempuran antara Rajamala dan Kakaknya Bratasena. Dia sengaja tidak menampakkan diri kepada kakaknya Bratasena atau pada Puntadewa atau si Pinten dan Tangsen dahulu agar hal ini juga tidak diketahui oleh musuh kakaknya yaitu ketiga ksatria sakti yang sombong itu. Demikian juga ia berpesan pada para punakawan agar menyamar menjadi rakyat biasa.

Pada suatu ketika setelah kakaknya mengalahkan Rajamala untuk yang kesekian kali Jagabilawa merobek perut Jagabilawa dan ususnya dihamburkan keluar. Permadi diam-diam mengamati mayat Rajamala yang ternyata oleh Raden Rupakenca dan Raden Kencakarupa dikumpulkan lagi semua usus dan jeroan yang sudah terburai itu dan dibawa lari ke suatu tempat pada saat hari sudah mulai gelap.

Permadi melesat mengikuti mereka, dan berhenti pada saat kedua orang itu sampai pada sebuah rumah. Mereka berdua menuju halaman belakang rumah. Permadi berlari memutar dan pergi kearah belakang rumah itu. Permadi menemui ada sebuah kolam kecil dibalik rerimbunan daun. Sesaat dilihatnya Kencakarupa dan Rupakenca bersama-sama menggotong tubuh Rajamala. Kemudian perlahan-lahan mereka meletakkan tubuh itu kedalam kolam.

Permadi terkejut ketika dilihatnya bahwa tubuh Rajamala dengan isi yang telah terurai keluar itu menyatu lagi dan sembuh seperti semual. Nampak Rupakenca dan Kencakarupa sedang menunggu proses penyembuhan dan penghidupan kembali sekutu mereka Rajamala sambil duduk bersemadi.

Setelah itu Permadi menjadi paham bahwa yang menghidupkan kembali Rajamala dari kematiannya adalah Kolam itu. Apa yang harus dilakukannya untuk membantu kakaknya.

Dia harus bertemu dengan kakak-kakaknya dan mengatakan hal itu.

Permadi bertemu dengan kakaknya, Puntadewa, Bratasena dan adik-adiknya Pinten dan Tangsen. Permadi dan Punakawan diperkenalkan dengan Raja Prabu Matswapati dan anggota keluarganya.

Pandawa membuka samaran mereka, Kemudian akhirnya Puntadewa mengaku bahwa mereka sebenarnya adalah Pandawa dari Astina putra Prabu Pandudewanata.

Prabu Matswapati yang terkejut memohon maaf karena tidak begitu kenal dan meminta maaf apabila selama ini ia kurang sopan kepada Pendawa lima pewaris kerajaan Astina itu.

Permadi kemudian menjelaskan tentang Kolam yang mampu menghidupkan kembali si Rajamala itu.

Puntadewa meminta diri untuk bersemadi memohon petunjuk kepada Dewa. Dewa Hyang Brama yang pernah menyebabkan kematian Pandawa di sebuah sendang berkenan memberi petunjuk. Puntadewa diberi petunjuk agar setelah Rajamala mati oleh Bratasena, Permadi harus memasukkan panah sakti Bramastra yang pernah diberikan Dewa Hyang Brahma kepadanya, ke dalam kolam keramat milik Rajamala.

Puntadewa menjelaskan petunjuk yang diterima dari Dewa itu kepada adik-adiknya.

Kemudian terjadilah lagi pertempuran yang sengit. Sebenarnya Bratasena sudah hampir kehilangan keberanian menghadapi orang yang tidak bisa mati, karena sebenarnya mereka seimbang dalam hal kesaktian, namun karena Bratasena lebih kuat maka dia selalu dapat mengalahkan Rajamala. Namun bukannya tidak mungkin suatu ketika dia tidak dalam keaadan sekuat biasanya dan Rajamala bisa saja mengalahkannya maka dia sendiri yang nanti bakal menemui ajal.

Hari itu Bratasena bertarung sangat gigih apalagi setelah mendengar petunjuk dari Dewa Brama, maka dia meyakinkan diri bahwa setelah kemenangan ini dia akan menang seterusnya. Dan benar setelah bertarung dari siang hingga sore hari maka akhirnya Rajamala dapat dikalahkan, kemudian lagi-lagi perut Rajamala dirobek robek habis dengan kuku Pancanaka sehingga benar-benar menyeramkan apa yang dilihat oleh orang-orang yang sedang menyaksikan perkelahian itu.

Setelah Rajamala tewas, diam-diam Bratasena dan Permadi mundur dari arena perkelahian dan memberi kesempatan Kencakarupa dan Rupakenca untuk mengumpulkan ceceran tubuh Rajamala. Kemudian mereka mendahului kedua orang itu ke kolam keramat milik Rajamala.

Tepat pada saat kedua orang itu merendam tubuh Rajamala kedalam kolam, Permadi dari jauh memanah kolam itu dengan panah Bramastra pemberian Hyang Brahma si Dewa api dan saat itu juga kolam menjadi mendidih sangat panas. Rupakenca dan Kencakarupa terkejut bukan kepalang menyaksikan hal itu, apa lagi saat mereka melihat tubuh Rajamala bukannya menyatu dan sembuh namun semakin hancur luluh dan akhirnya tubuh itu sudah tidak berbentuk lagi. Mereka saling memandang berpikir tentang hal yang sama, ini berarti tamat sudah riwayat Rajamala andalan mereka. Mereka termenung dan tepekur apa yang harus dilakukan. Mereka berdua jelas tidak berani menghadapi Jagabilawa yang sangat kuat itu.

Dalam keadaan masih termangu di kegelapan malam itu tiba-tiba muncul si Jagabilawa yang berteriak-teriak memanggil mereka. Si Jagabilawa ditemani oleh seorang satria yang memegang senjata panah. Dengan hati galau dan marah, mau tidak mau mereka harus menghadapi dua orang itu. Kemudian terjadilah pertarungan yang sengit. Tidak berapa lama Bratasena telah berhasil mengalahkan Rupakenca sedang Permadi masih berkejar-kejaran dengan Kencakarupa, namun tidak lama kemudian terdengarlah teriakkan nyaring Kencakarupa yang terkena panah Permadi. Dua orang itu akhirnya menemui ajal di hari yang sama dengan Rajamala.

Rajamala yang tewas oleh Bratasena atau Jagabilawa itu sebenarnya adalah anak Begawan Palasara dengan Dewi Watari. Sedang Rupakenca dan Kencakarupa dua saudara kembar sebenarnya adalah saudara Rajamala, walaupun wajahnya berbeda mereka adalah putera Begawan Palasara juga namun dari Dewi Kekayi putri Prabu Kekaya di Kencakarupa.

Dalam pertandingan antara Jagabilawa melawan Rajamala, Raden Seta putera sulung Prabu Matswapati tidak hentinya mendukung Jagabilawa sedangkan Rupakenca dan Kencakarupa selalu menyemangati Kakaknya Rajamala.

Mendiang Rajamala, Rupakenca dan Kencakarupa memang berhati jahat, mempunyai keinginan yang jahat terhadap Prabu Matswapati, mungkin ingin menguasai tahta kerajaan Wirata, dan merasa tidak ada yang mampu menghadapi mereka.


Oleh sebab itu kematian Rajamala dan kedua adiknya itu membuat hatinya lega dan senang, juga membuat semua rakyat senang.

Baca SelengkapnyaRajamala

Sena Rodra

 Di kisahkan Sri Batara Kresna yang bergelar Sang Padmanaba dari Dwarawati membicarakan Werkudara yang sedang menyebarkan ajaran yang didapatnya dari Barat, dan yang berganti nama menjadi Bagawan Senarodra. Ia menyebarkan ajarannya di Unggul Pawenang, dan banyak orang berguru kepadanya, termasuk Satyaka. Para dewa merasa tidak senang karena merasa disamai dan menganggap Senarodra akan memberontak terhadap para dewa. Menurut Batara Kresna Senarodra hanya ingin agar manusia itu berpandangan luas, mendapat kesempurnaan hidup, dan jangan mendapat kepapaan. Sri Kresna ingin mengunjungi dan melihat sendiri keadaannya, dan menyuruh Setyaki berangkat mendahuluinya.

Di Tunggulmalaya Batari Durga dihadap oleh para makhluk halus dan juga Dewasrani, anaknya. Dewasrani melaporkan bahwa banyam orang mengikuti ajaran Sena rodra sehingga tidak menghaormati para Dewa lagi. Batari Durga lalu pergi ketempat Bahgawan Senarodra dan memerintahkan agar para makhluk halus itu mengganggu orang-orang yangh sedang berguru. Di tengah jalan ia bertemu dengan Batara Kresna. Ketika ditanya keperluannya Batari Durga mengatakan akan menyadarkan Senarodra karena telah mengajarkan agar orang-orang membelakangi para dewa. Batara Kresna tidak sependapat, oleh karenanya minta agar Batari Durga mengurungkan niatnya. Namu ia tidak mau, karenanya terjadi pergulatan antara keduanya. Ketika Batari Durga hampir dikalahkan, ia marah sekali dan memperlihatkan taringnya. Hal ini diimbangi oleh Batara Kresna yang lalu tiwikrama menjadi raksasa sebesar gunung. Batari Durga ketakutan dan karenanya akan memenuhi kemauan Sri Kresna.Mereka lalu berpisah. Namun Batari Durga ternyata masih melanjutkan usahanya dengan cara menyuruh anak buahnya yang berupa makhluk halus untuk mengganggu mereka dengan pergi ke Zjodipati, karena disitulah sumber dari perkumpulan orang-orang Jawa. Batari Durga sendiri pergi ke Suranadi untuk melaporkan tindakan Senarodra ke Hyang Pramesti Guru.

Di Jodipati Bagawan Senarodra dikelilingi oleh anak-anaknya dan orang-orang Jawa yang ingin mendapatkan ilmu dari Barat tersebut, berupa Ilmu Kesempurnaan Hidup. Dengan mempelajari ilmu itu hilanglah sifat angkara murka. Mareka hidup layak dan tenteram, di pekarangannya dibangun masjid kecil yang di bawahnya terdapat tempat berwudhu. Setyaki yanga datang menyatakan leinginnannya mendapat ajaran baru itu.Dikatakan oleh Begawan Senarodra bahwa ada empat hal yang penting,yaitu : syarat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Syariat adalah bagian dari Rukun Islam, yaitu : syahadat, solat, puasa, memberi zakat, dan naik haji. Syariat adalah ' tindakan badaniah', tarekat'tindakan batiniah'. Sifat-sifat manusia dilambangkan oleh empat warna, yaitu hitam, merah, kuning. Melawan yang putih; aluamah, amarah, supiyah melawan mutmainah. Aluamah berarti nafsu angkara murka, amarah berarti hati yang mudah berang, supiah keinginan barang yang bagus-bagus, sedangkan mutmainah berterimakasih atas apa yang didapat. Hakekat artinya mengetahui adanya Tuhan yang mempunyai sifat dua puluh. Sedangkan makrifat artinya mengetahui adanya dua hal yang menyatu, yaitu persatuan antara kawula dan Gusti, sehingga orang yang telah sampai makrifat dapat mengatahui hal-hal yang jasmaniah maupun yang rohaniah, baik yang kasar maupun yang halus.

Atas pertanyaan Setyaki begaimana cara mendapatkannya, karena ia merasa bodoh sekali. Bagawan Senarodra menjawab ia tak usah memaksakan diri, lebih baik berada di di tengah-tengah. Sebagai seorang satriya secara lahiriah ia harus menjalankan tugas sebagai menjaga negara, secara batiniah ia harus dapat menguasai nafsunya.

Batara Guru yang mendengar bahwa Bagawan Senarodra mengajarkan ilmu kesempurnaan Hidup merasa khawatir kekuasaan para dewa akan berkurang. Karenanya ia memerintahkan Yamadipati untuk mengambil Senarodra, tetapi karena belum waktunya mati maka agar Senarodra dimasukkan ke dalam cupu Retna Dumilah yang berisi gambar sorga. Sena rodra patuh ketika diminta memasuki Retna Dumilah, saudara-saudaranya mengikutinya, juga Batara Kresna, semar, Gareng dan Petruk.

Di Nusakambangan, raja raja raksasa Kala Srenggi memerintahkan patih Kala Srenggini dan Kala Srenggana bersiap-siap untuk menyerang Suralaya dengan maksud meminta semua bidadari agar menjadi isterinya. Ia juga meminta raja Astina tunduk kepadanya dan ikut menyerang Suralaya. Dalam pertempuran semua dewa-dewa dikalahkan oleh pasukan Kala Srenggi. Atas pertanyaan Hyang Pramesti siapa yang kiranya dapat melawan raksasa tersebut. Narada mengusulkan agar para Pandawa yang dikurung dalam Retna Dumilah dikeluarkan dan diminta melawan perusuh yang datang. Hyang Pramesti menyetujui namun masih minta jaminan bahwa Senarodra tidak akan mengajarkan ilmunya yang dapat menurunkan wibawa para dewa. Maka Hyang Narada membuka Retna Dumilah dan minta agar Pandawa melawan para penyerang Suralaya itu. Mereka segera berangkat meskipun mereka mengatakan bahwa sebenarnya sudah merasa nikmat berada di dalam Retna Dumilah, karena tidak merasakan lapar dan haus atau pun susah.

Katika para raja Jawa mengetahui bahwa lawannya adalah para Pandawa, mereka mengundurkan diri dan kembali ke negara masing-masing; tinggallah para raksasa dan pemimpinnya.

Danaraja maju ke medan perang dengan naik kereta, Senarpdra hanya berjalan kaki dengan membawa gadanya Rujakpolo. Kala Srenggini dan Kala Srenggana dapat dipanah oleh Dananjaya, dan seketika berubah menjadi Batara Kamajaya dan Batari Kamaratih, sedangkan Kala Srenggi berubah menjadi Sanghyang Tunggal. Melihat hal itu para Pandawa segera bersujud di hadapan mereka. Sanghyang Tunggal menyampaikan bahwa perbuatannya itu karena tindakan para dewa sudah dianggap melanggar aturan yang berlaku.Setelah menyampaikan nasehat kepada Hyang Pramesti dan minta agar Senarodra diijinkan tetap mengajarkan ilmunya, maka Sanghyang Tunggal menghilang. selanjutnya para dewa menyampaikan terimaksih kepada para Pandawa yang telah berhasil mengatasi keributan di Suralaya.

Baca SelengkapnyaSena Rodra

Telaga Ajaib

Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang melakukan perjalanan menjelajahi hutan dalam masa-masa akhir pengasingannya, mereka bertemu dengan seorang brahmana. Brahmana tersebut lalu meminta bantuan kepada Pandawa untuk menangkap seekor kijang yang telah melarikan tempat pedupaannya. "Wahai Pandawa, kijang itu membawa lari pedupaanku. Tolonglah aku, aku tidak mampu mengejar binatang itu", kata brahmana itu.

Pandawa kemudian memburu kijang itu beramai-ramai dan mengepungnya dari berbagai arah. Tetapi, rupanya itu bukanlah seekor kijang biasa. Ia berhasil menghindar dari kejaran Pandawa dan terus berlari menjauh. Ia selalu berhasil lolos dari kepungan Pandawa. Hingga tanpa sadar Pandawa telah jauh masuk ke dalam hutan dan seakan kijang itu hilang ditelan rimba raya. Pandawa yang lelah, menghentikan pengejaran dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang besar dan rindang.

Nakula mengeluh, "Alangkah merosotnya kekuatan kita sekarang. Menolong seorang brahmana dalam kesulitan sekecil ini saja kita tidak bisa. Bagaimana dengan kesulitan yang lebih besar ?"

"Engkau benar. Ketika Drupadi dipermalukan di depan orang banyak, seharusnya kita bunuh saja manusia-manusia kurang ajar itu. Tetapi, kita tidak berbuat apa-apa. Dan sekarang inilah akibatnya." kata Bhima sambil memandang Arjuna.

Dengan sikap membenarkan, Arjuna berkata, "Ya, benar. Aku juga tidak berbuat apa-apa ketika dihina oleh anak sais kereta itu. Inilah upahnya sekarang".

Yudhistira merasakan kesedihan hati saudara-saudaranya. Mereka kehilangan semangat juang mereka. Untuk mengalihkan pikiran, ia berkata kepada Nakula, "Adikku, panjatlah pohon itu. Lihatlah baik-baik, barangkali di dekat-dekat sini ada sungai atau telaga. Aku haus sekali".

Nakula lalu naik ke pohon yang tinggi. Setelah melihat sekelilingnya, ia berteriak, "Di kejauhan kulihat ada air tergenang dan burung-burung bangau. Mungkin itu telaga".

Yudhistira menyuruhnya turun dan pergi untuk mengambil air.

Nakulapun pergi dan memang menemukan sebuah telaga. Karena sangat haus, ia berpikir untuk minum dulu sebelum membawakan air untuk saudara-saudaranya. Baru saja ia hendak mencelupkan tangannya ke dalam air, tiba-tiba terdengar suara, "Janganlah engkau tergesa-gesa. Telaga ini milikku, hai anak Dewi Madrim. Jawablah dulu pertanyaanku. Jika kau bisa menjawab, barulah kau boleh minum". Nakula sangat terkejut mendengar suara itu, tetapi karena sangat haus, ia tidak memperdulikannya. Ia langsung mencedokkan tangannya, mengambil air dan meminumnya. Seketika itu juga ia jatuh tidak sadarkan diri.

Setelah lama menunggu dan Nakula tidak juga kembali, Yudhistira menyuruh Sadewa mencarinya. Setelah mencari-cari beberapa lama, Sadewa terkejut melihat Nakula yang terbaring tak sadarkan diri di tepi telaga. Tetapi karena merasa sangat haus, ia memutuskan untuk minum dulu. Tiba-tiba suara tadi terdengar lagi, "Wahai Sadewa, telaga ini telagaku. Jawab dulu pertanyaanku, baru engkau boleh menghilangkan dahagamu". Sadewa tidak peduli. Ia mencedokkan tangannya mengambil air yang jernih dan segar itu. Begitu minum seteguk, ia jatuh tersungkur tak sadarkan diri.

Bingung memikirkan kedua saudaranya yang belum kembali, Yudhistira menyuruh Arjuna mencari Nakula dan Sadewa. "Tetapi jangan lupa untuk kembali membawa air", katanya kepada Arjuna.

Arjuna pergi berlari dan menemukan kedua saudaranya terbaring tak sadarkan diri. Ia sangat terkejut dan mengira mereka tewas dianiaya musuh. Ia marah dan ingin menghancurkan siapapun yang telah membunuh saudara-saudaranya. Tetapi karena haus, Arjuna memutuskan untuk minum dulu. Tiba-tiba suara itu terdengar lagi, "Jawab dulu pertanyaanku, sebelum engkau minum air telaga ini. Telaga ini punyaku. Kalau engkau tidak mau menurut, engkau akan mengalami nasib yang sama dengan kedua saudaramu itu".

Arjuna sangat marah mendengar suara itu dan berteriak, "Hai, siapa engkau ? Tunjukkan dirimu !. Jangan pengecut ! Kubunuh kau !". Sambil berkata demikian, Arjuna membidikan panahnya ke arah datangnya suara itu. Suara itu tertawa mengejek, "Panahmu hanya akan melukai angin. Jawab pertanyaanku dulu, baru kau boleh memuaskan dahagamu. Bila engkau minum tanpa menjawab pertanyaanku, engkau akan mati".

Arjuna senang karena bisa berhadapan dengan pembunuh adik-adiknya. Tetapi ia tak kuasa menahan rasa hausnya. Iapun minum seteguk air telaga itu. Seketika itu iapun jatuh tak sadarkan diri.

Setelah lama menunggu dan Arjuna tak kunjung kembali, Yudhistira berkata kepada Bhima, "Arjuna belum juga datang. Sesuatu yang aneh mungkin saja terjadi. Carilah mereka dan bawakan air untukku. Aku haus sekali".

Begitu mendapat perintah dari Yudhistira, Bhima segera berangkat. Sampai di tepi telaga, ia sedih melihat ketiga saudaranya terbaring tak bergerak. "Ini pasti perbuatan para jin dan raksasa jahat", pikirnya. "Akan kumusnahkan mereka ! Tetapi aku sangat haus. Setelah minum, akan kutamatkan pembunuh itu". Lalu ia turun ke tepi telaga.

Suara gaib itu terdengar lagi, "Hati-hatilah, hai Bhima. Engkau boleh minum setelah menjawab pertanyaanku. Engkau juga akan mati jika tidak mau mendengar kata-kataku".

Mendengar itu Bhima berteriak, "Siapa engkau ? Berani benar memerintah aku !".

Lalu ia minum air telaga itu. Seketika itu juga otot dan tulang Bhima yang liat bagai kawat baja dan keras bagai besi menjadi lemas. Seperti saudara-saudaranya, ia jatuh tak sadarkan diri.

Yudhistira menunggu dengan cemas. Dahaganya serasa tak tertahankan. Terbayang dalam pikirannya, "Apakah mereka terkena kutukan ? Apakah mereka lenyap ditelan rimba dan tak tahu jalan kembali ? Apakah mereka mati karena kehausan ?". Kemudian Yudhistira bangkit dan berjalan mengikuti jejak-jejak kaki saudara-saudaranya. Ia memperhatikan setiap semak yang dilaluinya dengan teliti. Ia melihat jejak kijang dan babi hutan, semuanya menuju arah yang sama. Ia menengadah melihat burung-burung bangau beterbangan, pertanda ada bentang air di dekat situ.

Setelah berjalan beberapa lama, ia sampai ke tanah terbuka. Di depannya terbentang telaga. Airnya berkilau jernih bagaikan cermin cemerlang. Dan di tepi telaga itu ia melihat keempat saudaranya tergeletak tak bergerak. Dihampirinya satu persatu, dirabanya kaki, tangan, dahi dan denyut jantung mereka. Yudhistira berkata dalam hati, "Apakah ini berarti akhir dari sumpah yang harus kita jalani ? Hanya beberapa hari sebelum berakhirnya masa pengasingan kita, kalian mati mendahului aku. Rupanya para dewata hendak membebaskan kita dari kesengsaraan".

Menatap wajah Nakula dan Sadewa, pemuda-pemuda yang di masa hidupnya periang dan perkasa tapi kini terbujur dingin tak bergerak, hati Yudhistira sedih. "Haruskah hatiku terbuat dari baja agar aku tidak menangisi kematian saudara-saudaraku ? Apakah hidupku masih ada gunanya setelah keempat saudaraku mati ? Untuk apa aku hidup ? Aku yakin ini bukan peristiwa biasa", pikir Yudhistira. Ia tahu, tak seorang ksatriapun akan mampu membunuh Bhima dan Arjuna tanpa melewati pertarungan hebat. "Tak ada luka di badan mereka. Wajah mereka tidak seperti wajah orang kesakitan. Mereka kelihatan tenang, seperti sedang tidur dalam damai". Hatinya terus bertanya-tanya. "Sama sekali tak ada jejak kaki, apalagi bekas tanah atau rumput yang terinjak-injak dalam perkelahian. Ini pasti peristiwa gaib. Mungkinkah ini tipu muslihat Duryodhana ? Mungkinkah Duryodhana telah meracuni air telaga ini ?". 

Baca SelengkapnyaTelaga Ajaib

Parikesit Grogol

 Di kisahkan Parikesit setelah naik takhta di negara Astina bergelar Prabu Kresnadipayana menggantikan Yudistira. Pada suatu hari sang Raja memutuskan untuk menyaksikan dari dekat bagaimana cara berburu babi hutan dan ia juga ingin turut berburu. Oleh karena itu memerintahkan abdinya agar membuat rumah sementara (pesanggrahan) di tengah hutan guna melihat dari dekat para abdinya yang menangkap hewan tanpa senjata.

Patih Dwara, Patih Danurweda, Sukarta, Sumarma, Suhtrasta dan Subala berangkat ke hutan untuk membuat persiapan serta pesanggrahan untuk raja. Di dalam hutan Dwara bertemu dengan anak perempuan yang keluar dari semak belukar serta mengaku bernama Rara Suyati, maka anak tersebut diangkat sebagai anaknya dan dibawa pulang ke rumahnya. Setelah pesanggrahan selesai maka Prabu Parikesit yang diikuti Semar, Nala Gareng dan Petruk masuk ke dalam bangunan rumah yang telah disediakan dan melihat para abdinya melawan binatang buas yang digiring kehadapan sang Raja.

Pada suatu malam hari Prabu Parikesit ke luar dari kamarnya tanpa sepengetahuan siapapun ia masuk ke dalam hutan. Kepergian sang Raja itu diketahui oleh Semar dan dilaporkan kepada Patih Dwara maka sang Patih berusaha mencarinya ke dalam hutan. Ia tersesat masuk ke taman sari Manikmaya di mana Begawan Sidiwacana dalam keadaan cemas karena kehilangan putrinya Rara Suyati. Semar dan anak-anaknya juga mencari ke dalam hutan dan dapat menemukan Prabu Parikesit, tetapi sang Raja enggan kembali ke pesanggrahan dan terus melanjutkan perjalanannya yang diikuti abdi setia Semar, Gareng dan Petruk.

Dipayana tiba di puncak Gunung Lodra melihat seorang pertapa keras, berdiri tegak tanpa bergerak dan berbicara juga tidak menjawab pertanyaan sang Raja, maka hilang kesabaran raja, pertapa itu ditusuk dengan senjata. Setelah jenazahnya hilang muncullah Batara Basuki yang mendidik Sang Raja serta memberi pengalaman baru dan memberi nama Dipayana atau Yudiswara.

Selanjutnya sang Raja melanjutkan perjalanannya, ia bertemu orang naik sapi liar dan memberi isyarat kepadanya, maka sang Raja marah dengan melepaskan anak panahnya, dan berubahlah menjadi Batara Gana yang memberikan pengalaman tentang keberanian serta memberi nama baru Mahabrata. Setelah Gana menghilang datanglah burung garuda yang besar dihadapkan sang Raja. Dibunuhlah burung itu dan tampak Batara Sambu, yang memberikan pendidikan tentang keberanian serta memberi nama baru Darmasarana. Dalam meneruskan perjalanan Prabu Parikesit menyelamatkan orang yang dikejar ular besar, orang itu adalah Prabu Praswati dari Gilingwesi, yang mempunyai putri bernama Dewi Sritatayi. Putri ini bermimpi kimpoi dengan Dipayana. Setelah Praswati mengutarakan maksudnya maka sang Raja menerima. Selanjutnya bertemu dengan Sritatayi dan dikimpoii.

Pertemuan dan bulan madu dengan istrinya, Dewi Sritatayi telah berlangsung lama, sang Raja segera meninggalkan istana dan masuk ke hutan dan ia bertemu Prabu Yasakesti dari Mukabumi yang mempunyai putri Dewi Niyata. Putri itu jatuh cinta dengan Parikesit. Semula sang Raja menolak untuk diajak Yasakesti tetapi akhirnya Parikesit mengawini Dewi Niyata. Juga disini Dipayana dengan cepat meninggalkan istrinya yang muda, mengembara di hutan lagi. Pada suatu hari ia bertemu dengan raksasa Srubisana dari Manimantaka yang diutus Prabu Niradakawaca untuk membalas dendam pada Parikesit atas kematian ayahnya Niwatakawaca yang terbunuh oleh Arjuna.

Maka terjadi peperangan tetapi Parikesit dapat dilempar ke udara dan jatuh di Pertapaan Manikmaya ditemukan oleh Begawan Sidiwacana serta putrinya yang bernama Rara Setapi. Prabu Parikesit tertarik panah milik Rara Setapi dan menginginkannya dan oleh yang punya dijawab bahwa barang siapa mengambil panah itu harus harus juga mengambil yang empunya.

Karena putri itu jelek maka Parikesit menolak tetapi sang Putri dapat dirubah wajahnya menjadi cantik oleh ayahnya, maka sang Raja tidak keberatan mengambilnya. Setelah lama berada di pertapaan akhirnya Parikesit kembali ke Astina.

Dalam perjalanannya ia bertemu raksasa Begawan Sukanda yang mempunyai putri, sukandi dan Sukanda mengatakan bahwa putrinya mimpi bertemu Prabu Parikesit. Namun usul itu tidak diperhatikan oleh sang Raja. Tiba-tiba datang dihadapannya musuh yang ditakuti yakni Srubisana, ia terkejut dan tidak senang mengulangi peperangan lagi, maka Parikesit mene-mukan akal, ia berjanji kepada Begawan Sukanda bahwa akan mengambil putrinya asalkan sang Begawan dapat membunuh Srubisana.

Dalam tempo yang singkat Sukanda dapat dibunuhnya, tetapi sekarang Dipayana menyesal pada janji yang telah diucapkan dan menolak turut serta dengan Begawan Sukanda. Dengan mantranya Parikesit tertidur dan segera dibawanya dan dipertemukan dengan putrinya. Setelah melihat kecantikan Dewi Sukandi, maka rasa berat Parikesit hilang seketika dan mengawininya.

Pada hari berikutnya Dipayana melanjutkan perjalanannya kembali ke Astina dan negeri tersebut mendapat serangan dari Manimantaka Prabu Ni-radakawaca. Prabu Baladewa memimpin pertempuran itu tetapi tidak kuat menahan kesaktian raja raksasa, sehingga negara Astina porak poranda.

Tiba-tiba Dipayana datang dan menghadapi musuh yang menyerang Astina, akhirnya raja raksasa itu dapat dibunuh oleh Prabu Kresna Dipayana.

Baca SelengkapnyaParikesit Grogol

Pandawa Puter Puja

 Syahdan Raja Astina Parbu Suyudana hadir di pasewakan dihadap oelh putra mahkota Raden Lesmana Mandrakumara, pendita praja Astina Dhahyang Drona, Patih Sakuni, Adpati Awangga Karna dan segenap para Korawa, Raden Arya Dursasana, Raden Kartamarma, Raden Durmagati, Raden Citraksa, dan Raden Citraksi. Pokok perembugan raja berkisar pada sabda jawata yang diterimanya, bahwasanya sang Raja diperintahkan untuk mengadakan semadi di laladan luar istana Astina, jika akan mencapai terlabulnya cita-cita. Raja berkebulatan hati untuk melaksanakan puter puja, kepada Pandita Durna diperintahkan turut serta. Adapun Patih Arya Sakuni, dan para Korawa ditugaskan tinggal di istana menjaga tata-tirtib keamanan selama raja melaksanakan hajatnya.

Permaisuri raja Dewi Banowati tak ketinggalan diberitahu juga oleh raja, demikian pula putri raja yang bernama Dewi Lesmanawati. Seluruh istana Astina berharap semoga puter puja yang dilaksanakan oleh raja akan lulus selesai tak ada aral yang merintanginya. Setelah segala sesuatu persiapan selesai, berangkatlah raja diiringi Pandita Praja Dhahyang Drona menuju hutan Krendawahana, suatu tempat terkenal keganasannya dikarenakankahyangannya Batari Dirga.

Di kerajaan Nungsakambang, Prabu Jayabirawa dihadap oleh Patih Siwanda dan beberapa wadyabala yaksa. Raja Nungsakambang berkenan mengutarakan isi hatinya, bahwasanya tersiar berita pada waktu ini ratu-ratu di tanah Jawa sedang tekun mengadakan puter puja bertempat di hutan Krendayana, Kepada Patih Siwanda dijelaskan pula, usaha raja-raja tanah Jawa mengadakan puter puja itu harus dihalangi jangan sampai terlaksana, sebab akan berbahaya bagi raja Nungsakambang. Wadyabala raja yang berujud siluman si Jaramaya, Sadumiya, dan Doramiya diperintahkan oleh raja untuk segera berangkat ke hutan Krendayana mencari raja yang sedang puter puja, tugas utamanya mengoda dan menghalangi terlaksananya usaha tersebut. Lengkaplah sudah wadyabala Nungsakambang yang akan melaksanakan tugas, dalam perjalanannya menuju ke hutan Krendayana bertemu dengan prajurit-prajurit dari Astina. Ternyata kedua-duanya tak dapat menghindarkan diri dari peperangan, namun tak sampailah peperangan itu meluas. Sehingga kedua pasukan merasa perlu untuk melanjutkan tugasnya masing-masing.

Di pertapaan Retawu Resi Abyasa dihadap oleh cantrik, tan jauh dari sang Resi kelihatan pula cucu sang Begawan ialah Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca, yang selalu diikuti oleh Kyai Semar, Nalagareng, dan Petruk. Masalah pokok yang dibicarakan mengenai permohonan mengenai permohonan doa restu kepada para pepunden Pandawa yang sedang mengadakan puter puja. Resi Abyasa setelah memberikan restunya, Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca segera diseyogyakan untuk kembali. Lajulah kedua satriya tadi dalam perjalanannya diikuti oleh ketiga panakawan, Kyai Semar, Nalagareng, dan Petruk. Sekembalinya para satriya sanga Bagawan segera masuk ke dalam sanggar pamujan, memohon kepada dewata semoga cucundanya Pandawa yang sedang mengadakan puter puja dalam keadaan selamat.

Tersebutlah dtya seluman utusan dari Prabu Jayabirawa Nungsakambang dalam tugasnya menuju ke hutan Krendayana, dipertengahan perjalanannya bertemu dengan Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca. Kedua ksatriya setelah mengetahui bahwasanya mereka itu tak lain pra-aditya yang akan mengganggu lulusnya para Pandawa mengadakan puter puja, terlihat dalam percecokan akhirnya memuncak menjadi peperangan. Kadua-duanya bertempur dengan segala akal dan kekuatan, namun kedua ksatriya tersebut tak kuasa menandinginya. Meski para dtya tadi tidak dapat mati, namun dirasakan juga berlaga menghadapi kedua kesatriya ini pun tak semudah apa yang diduga. Sehingga ajhirnya kemarahan mereka timbul, segeralah mereka mempergunakan aji panglimunannya, serta melepaskan aji kemayan dan lisah(minyak) Muksala. Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca setelah kedua-duanya terkena aji kemayan, barulah mereka menjadi arca. Kyai Semar, Nalagareng dan Petruk yang mengetahui kedua Gusti mereka berubah wujudnya menjadi arca segera meninggalkan medan laga untuk segera melapor ke praja Madukara.

Konon Parabu Suyudana yang menjalankan hajat mengadakan puter puja telah sampai di hutan Krendayana, dengan ditemani oleh Pendita Astina Dhahyang Drona. Para Korawa yang mengantarkan telah diperintahkan untuk segera kembali ke Astina. 

Prabu Suyudana dan Dhahyang Drona di dalam hutan Krendayana bertemu dengan seorang pertapa yang menjalankan tapanya dengan cara membisu. Sang Raja bertanya kepada Begawan Lanowa, " Hai sang Begawan, apakah kiranya tapa anda itu mempunyai maksud-maksud tertentu. Jika anda tidak berkeberatan, sudilah kiranya kepada kami diberitakannya ", namun sang Begawan Lanowa tetap membisu, tak sepatah kata pun terucap. 

Pandita Drona yang telah mengetahui keadaan sang Begawan Lanowa, segera menghimbaunya dan menerangkannya panjang-lebar kepada Begawan Lanowa. Bahwasanya kedatangannya di hutan Krendayana, tak lain mengantarkan Raja Suyudana melaksanakan pesan jawata mengadakan puter puja. Kepada Begawan yang membisu, pertanyaan terucap dari Dhahyang Drona, " Sang Begawan, apakah gerangan yang menjadi tujuan anda bertapa di dalam hutan Krendayana yang sangat berbahaya dan gawat ini ?" Begawan Lanowatertegun sejenak, dan sudi menjawabnya," Wahai para pendatang, ketahuilah bahwasanya yang menjadi tujuan bertapa di dalam hutan Krendayana ini, bukanlah semata-mata bertapa untuk keperluanku pribadi. Melainkan aku menggentur tapa ini, untuk anak menantu saya yang bernama Raden Arjuna." Prabu Suyudana yang mendengarkan jawaban dan keterangan Begawan Lanowa teramat marahnya, akhirnya Begawan Lanowa dibunuh. Namun Prabu Suyudana, " Hai Prabu Suyudana, apalah salahnya orang tua yang sangat mengasihi anak menantunya, menapakannya. Kathuilah, kematianku ini akan kutuntut balas kepadamu, besuk kelak jika sekiranya waktu telah datang mengskala Baratayuda terjadi." Setelah bersuara muksalah badan sang Begawan Lanowa, Raja Suyudana dan Pandita Durna tertegun sejenak mendengarkan ancaman Begawan Lanowa, namun tiada berapa lama segeralah Raja Suyudana melanjutkan hajatnya menunaikan puter-puja dengan didampingi oleh Pandita Durna.

Dipraja Madukara Raden Arjuna dihadap oleh para istrinya, Dewi Subadra dan Dewi Srikandi. Selagi mereka berbincang-bincang masuklah Kyai Semar sambil menangis, tersendat-sendat ucapnya melapor kepada Raden Arjuna, " Raden, ketahuilah putramu Raden Angkawijaya sekembalinya dalam perjalanannya pulang, dengan putramu Raden Arya Gatutkaca telah disergap oleh raksasa-raksasa yang sangat tangguh dan ampuh. Terbukti dalam peperangan itu, putra-putramu telah dikalahkan dan kesemuanya telah berubah ujud menadi arca. Raden akan hal ini terserah Raden saja bagaimana jalan sebaiknya untuk mengatasi keadaan yang gawat ini." Raden Arjuna yang dengan tekun mendengarkan laporan panakawannya Kyai Semar, tak terkendalikan lagi amarahnya.Kepada kedua istrinya berpamit akan menyelesaikan masalah Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca. Kadua istrinya sangat bersyukur, dan memanjatkan doa semoga apa yang dilakukan suaminya dapat berhasil, dijauhkan dari aral yang melintang. Raden Arjuna segera laju mencari putra-putranya diiringkan oleh Semar,Nalagareng, dan Petruk.

Namun dalam perjalanannya menuju ke hutan Krendayana, belum lagi sampai baru menginjak di hutan tarataban, bertemulah sang Arjuna dengan Hyang Batari Durga yang telah merubah wajahnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik wajahnya, bernama Dewi Talimendang. Pada pandangannya yang pertama Raden Arjuna sudah sangat tertarik dengan Dewi Talimendang, tidaklah mengherankan cita-citanya harus tercapai. Namun ketika Dewi Talimendang dikejar-kejar oleh Raden Arjuna, berubahlah Dewi Talimendang menjadi ujud semula ialah Hyang Batari Durga. Raden Arjuna diumpatinya disumpah-sumpah, " Hai anaku Arjuna, tingkah-lakumu tidak senonoh, ksatriya bagaikan seekor banteng." Abda Hyang Batari kepada Raden Arjuna merubah keadaan Raden Arjuna dari seorang satriya menjadi wujud binatang banteng. 

Manakala berubah wujudnya menjadi seekor banteng Hyang Batari Durga masih diburunya, namun manakala pula tampak olehnya wajahnya berubah wujudnya menjadi wujud binatang banteng, Raden Arjuna sangat sedih hati dan menghentikan pemburuannya terhadap Hyang Batari Durga. Kyai Semar Nalagareng, dan Petruk yang merasa ketinggalan oleh kepergiaannya Raden Arjuna segera kembali, adapun si banteng sendiri laju menuju ke kerajaan Dwarawati.

Baca SelengkapnyaPandawa Puter Puja

Jaladara Rabi

Di kisahkan raja Mandraka prabu Salya, berkehendak akan menjodohkan putrinya yang bernama Dewi Erawati dengan prabu anom Kakrasana atau wasi Jaladara. Pada suatu waktu, di praja Mandraka prabu Salya menerima kedatangan Prabu Kurupati dari kerajaan Astina, beserta patih Sakuni, tak lain yang dibicarakan juga masalah perkimpoian Dewi Erawati. Prabu Kurupati menyarankan kepada raja Mandraka prabu Salya, hendaknya dalam perkimpoian sang Dewi, kepada ca;on penganten laki, ditetapkan adanya upeti, syarat-syarat perkimpoian, adanya perlengkapan putri-putri remaja berjumlah 40, pengiring temanten hendaknya diiringi tetabuhan gamelan Lokananta, sepasang kembar-mayang yang berasal dari swargaloka. Prabu Mandraka sangat sedih hatinya mendengar usulan prabu Kurupati, namun dengan penuh kebijaksanaannya, diutusnyalah raden Rukmarata, untuk menyampaikan kelengkapan persyaratan perkimpoian temanten laki, ke praja Mandura, dan berangkatlah dengan diiringi raden Burisrawa, patih Tuhayata menunaikan tugas tersebut.

Prabu Kurupati beserta patih Sakuni, kembali ke praja Astina, raja Salya masuk ke dalam kraton, kepada permaisuri raja bercerita pula bahwasanya putranya, raden Rukmarata ke praja Mandura, menyampaikan usulan kelengkapan persyaratan temanten laki. Dewi Setyawati, dengan putri-putrinya Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, dan Dewi Banowati segera mengiringkan raja Salya masuk ke ruangan bersantap di istana .

Konon, ada orang raja di kerajaan Giridasar, namanya prabu Rudradarimuka, jatuh cinta kepada putri Mandraka, Dewi Erawati. Diputuskannyalah oleh raja, mengutus menyampaikan surat peminangan kepada sang raja. Dan wadya yaksa yang diduta setelah menerima surat tersebut segera berangkat menuju praja Mandraka. Di pertengahan jalan wadyabala Giridasar bertemu dengan wadyabala dari Mandraka. Terjadilah perselisihan pendapat, dan peperangan. Untunglah bagi mereka tidak terlalu dalam melibatkan dalam pertempuran, sehingga kedua-duanya berusaha menghindarkan diri dari keterlibatan yang lebih dalam, sehingga kedua-duanya berusaha untuk melanjutkan perjalanannya masing-masing.

Di praja Mandura, prabu anom Kakarsana menerima kedatangan raden Rukmarata, yang menyampaikan titah raja Salya, bahwasanya kepada calon temanten laki, dibebani untuk kelengkapan perkimpoiannya, pengiring temanten nantinya para remaja putri berjumlah 40, diiringi dengan tetabuhan gamelan Lokananta, beserta sepasang kembar mayang yang berasal dari swargaloka. Prabu anom menyanggupkan diri, raden Rukmarata mengundurkan diri, kembali ke praja Mandraka. Kepada adiknya yang bernama raden Narayana, dan pula kepada patih Pragota diperintahkan untuk mencarikannya. Mereka bermohon diri, berangkat menuju Gandamadana.

Di tengah hutan, raden Pamade sedang duduk bersusah hati, merenungkan nasibnya. Raden Pamade sangat bersedih hati, manakala maksudnya akan memperistri rara Ireng, belum terlaksana juga,panakawan kayia Semar, Nalagareng dan Petruk berusaha melipur raden Pamade.

Setelah agak terhibur hatinya, raden Pamade segera meneruskan perjalanannua diikuti oleh para panakawan, ditengah-tengah hutan mereka berjumpa dengan wadyabala yaksa dari praja Giridasar, dan terlibatlah dalam peperangan, wadyabala raksasa dari Giridasar dapat ditumpas oleh raden Pamade. Dalam kelanjutan perjalanannya, sampailah di hutan yang sangat berbahaya, namanya Krendawahana. Agaknya penunggu hutan, yang menjadi wadyabala batari Pramuni, menggodanya. Raden Pamade tak kuasa digoda, akhirnya hyang Pramuni menemuinya, dan bertanya apa sebab susah hatinya. Raden Pamade menguraikan isi hatinya dari awal sampai akhir, hyang Pramuni sangat berkenan dalam hati, segera raden Pamade didandani menjadi seorang putri, dengan nama Endang Wrediningsih. Kyai Lurah Semar, Nalagareng dan Petruk dibusanani pula secara wanita, dengan berganti nama nyai Melik, Melok dan nyai Jagaplok. Kepada mereka diperintahkan untuk menuju ke praja Mandura, di mana hyang Pramuni menegaskan, itulah sarana yang harus ditempuh untuk bertemu dengan rara Ireng, mereka bermohon diri, melanjutkan perjalanannya. Di tengah jalan, Endang Wrediningsih beserta pengiring-pengiringnya bertemu dengan patih Pragota, kepada mereka dijalaskan maksud untuk dijadikan pengiring temanten, dan Endang Wrediningsih menyanggupkan diri, segera mereka berangkat menuju praja Mandura.

Di pertapaan Gandamadana, Kapijembawan beserta iatrinya Dewi Trijata,dihadap oleh putrinya bernama Dewi Jembawati, menerima tamu dari Mandura, raden Narayana beserta patih Udawa. Kepada Kapijembawan, raden Narayana menyampaikan maksud kedatangannya, yang tak lain mohon diperkenankan membawa Dewi Jembawati, utnuk dijadikan kelengkapan persyaratan perkimpoian kakanya wasi Jaladara, dijadikan patah pengiring temanten, dan Kapijembawan meluluskan permintaan raden Kakarsana, kepada raden Narayana Dewi Jembawati diserahkan, segera mereka bermohon diri, untuk kembali ke praja Mandura.

Raden Rukamarata setelah sampai di praja Mandraka, melapor keayahandanya prabu Salya, bahwasanya prabuanom Kakarsana menyanggupkan diri, untuk memenuhi segala persyaratan perkimpoian. Raja Salya sangat berkenan dihati, namun prabu Kurupati yang sudah hadir pula seakan-akan tidak mempercayainya, kalau prabu Mandura Baladewa kuasa mengadakan sarana-sarana perkimpoiannya. Sang raja Salya segera bertitah kepada anandanya raden Rukmarata, untuk segera mempersiapkan segala sesuatunya, khususnya terhadap diri Dewi Erawati sudah dimasukkan dalam pengawasan yang ketat, dalam menjelang perkimpoiannya.

Oleh raja Salya, yang telah berembug pula dengan permaisuri Dewi Setyawati, putrinya Dewi Erawati dimasukkan dalam sengkeran, disimpan ke dalam cincin saktinya, untuk menjaga keselamatan sanga putri menjelang hari-hari perkawainannya.

Baca SelengkapnyaJaladara Rabi

Durna Tapa - Bagian dua

 Dalam perjalanan bertemu dengan hyang Kuwera, para Pandawa dipersilahkan kembali, menolak. Hyang Kuwera segera mengeluarkan kesaktiannya, batu sebesar gunung-gunung dan angin ribut keluar memalang menghalang para Pandawa, hanya kyai Petruk saja yang dapat lolos dari amukan ajinya hyang Kuwera, diikutinya hyang Yamadipati.

Di kahyangan Jonggringsalaka hyang Guru dihadap oleh hyang Endra, hyang Brama, hyang Panyarikan, hyang Kuwera, hyang Patuk dan hyang Temboro. Datanglah menghadap hyang Bayu dengan membawa serta pandita Durna yang sudah kembali sehat walafiat, kepadanya ditanyakan gerangan apakah yang menjadikan menggentur tapa di hutan pagedangan. Durna melapor bahwasanya dia menginginkan matinya kyai Semar, sebab selama kyai lurah Semar tidak mati terlebih dahulu, para Korawa dalam prang Baratayuda tak akan dapat mengalahkan para Pandawa, apalagi para Korawa hanya dijagoi oleh seorang saja ialah pandita Durna.

Kepada pandita Durna, ditanyakan akan bersedia bertanding dengan hyang Asmarasanta, dan disanggupinya. Datanglah hyang Yamadipati membawa kyai lurah Semar, demikian pula keadaannya sudah kembali sehat, kepadanya segera ditanyakan apakah bersedia diadu dengan pandita Durna, yang menyebabkan sakitnya Semar tadi, disanggupinya.

Demikian pula wasi Aswatama mendukung akan kelangsungannya, apalagi Petruk menjagoi pula bapaknya, kyai Semar. Bertandinglah kyai Semar dengan pandita Durna, Petruk dengan wasi Aswatama, sangat seru dan rame. Kedua pasangan serba bertanding dengan aji kesaktiannya, bergelut bergumul berguling-guling sehingga mereka lupa bahwasanya sudah terbenam di kawah siksaan Yomani, musnahlah mereka kesemuanya ditelan lumpur Yomani. Tak lama muncullah sepasang ksatriya rupawan dari kawah Yomani,agaknya ksatriya yang berjalan dahulu kelihatan lebih wibawa diiringkan ksatriya yang kemudian sedikit takut-takutan, wasi Aswatama dan Petruk mengiringkan pula kedua ksatriya tadi dari belakang, wasi Aswatama kelihatan pucat dan sangat takut.

Mereka segaera menghadap hyang Girinata, ksatriya yang satu bernama Cahyandadari dan dibelakangnya tak lain Kumbayana, kepada hyang Girinata Kumbayana berjanji tak berani lagi kepada kyai Semar, mundurlah sudah mereka dari hadapan hyang Girinata, kembali turun ke bumi.

Di praja Amarta, prabu Puntadewa dan Sri Kresna membicarakan sirnanya kyai lurah Semar, mereka yang mendengarkan termasuk arya Wrekodara, raden Janaka, raden Nakula dan Sadewa sangat sedih hatinya.

Tak lama berita terdengarm bahwasanya diluaran ada tampak ksatriya mengamuk, para Pandawa yang bertugas menghadapinya kalah, raden Janaka maju melayaninya. Ksatriya rupawan yang bernama Cahyandadari dipanah,babar kyai Semar.Adapun ksatriya Kumbayana ketika dipanah, babar pandita Durna. Dihadapan para Pandawa, kyai Semar bercerita dari awal sampai akhir perihal keadaannya, demikian pula Petruk yang turut hilang dengan kyai Semar, telah melapor pula. Keadaan pendita Durna meski sudah sehat, kelihatan kurus kering. Para Pandawa sangat iba hatinya, kepada Raden Janaka dan raden arya Wrekodara ditugaskan untuk mengawal mengantarkan kembali pandita Durna kekediamannya. Wasi Aswatama yang selalu setia kepada ayahandanya, tak turut ketinggalan, segera bermohon diri.

Di kerajaan Astina, prabu Suyudana dihadap oleh patih arya Sakuni dan adipati Wangga Karna. Kepada raja mreka melapor bahwasanya pandita Durna dibawa serta ke kahyangan oleh hyang Bayu, meski para Korawa telah berusaha untuk mencegahnya dan membawanya kembali, namun di pintu utama selamatangkep, mereka diubdurkan oleh hyang Cingkarabala. Selagi berbincang-bincang datanglah pandita Durna, diantar oleh raden arya Wrekodara dan raden Janaka.

Pendita Durna dihadap raja Suyudana, dan para Korawa menceritakan dari awal sampai akhir segala lelakonnya, manakala dewa telah bersabda kepadanya, jangan sampai memberanikan diri lagi mengusik kyai Semar, dan Sri Kresna. Selanjutnya jalan kerukunan sajalah yang harus ditempuh oleh para Korawa terhadap para Pandawa. Selagi mereka dengan asyiknya mendengarkan laporan pandita Durna, tersiarlah berita musuh dari Jurangparang datang, Janaka keluar memapakan raja yaksa Kalakalpika, terjadilah peperangan yang sangat rame. Prabu Kalakalpika dilepasi panah oleh raden Janaka, mati. Arya Wrekodara mengamuk, seluruh wadyabala Jurangparang dapat dimusnahkannya.

Di pendapa Astina, diadakan pesta pora memperingati kembalinya pandita Durna, dan tersingkirnya sudah marabahaya yang mengancam kerajaan Astina, disaksikan oleh prabu Suyudana, dipati Karna, arya Sakuni, raden Wrekodara, raden Janaka, dan segenap keluarga Korawa.

Baca SelengkapnyaDurna Tapa - Bagian dua

Popular Posts

Contact

Nama

Email *

Pesan *